LOGINAriel mengikuti langkah Putri Elara menembus lorong-lorong istana yang tak berpenghuni. Kegelapan malam menyelimuti permadani mewah, dan hanya cahaya rembulan yang memecah keheningan melalui jendela-jendela tinggi berbingkai emas. Jantung Ariel berdebar kencang, menabuh irama bahaya. Jika ada penjaga yang melihat mereka, tidak peduli seberapa mulia niat Tuan Putri, nasib Ariel akan berakhir tragis.
Elara membawanya bukan ke kamar tidurnya yang mewah, melainkan ke sebuah observatorium kecil yang terlupakan di menara barat, sebuah ruangan yang jarang digunakan sejak kakek buyutnya meninggal. Udara di sana dingin, berbau debu tua dan kertas-kertas usang. Putri itu menyalakan lilin dari meja sudut dengan gerak cepat yang menunjukkan keputusasaan. Cahaya oranye yang hangat segera memenuhi ruangan, membuat bayangan Ariel memanjang dan menari di dinding batu. “Tuan Putri, ini berbahaya,” bisik Ariel, suaranya tercekat. “Jika Yang Mulia Raja—” Elara berbalik, matanya yang biru jernih kini menatap langsung ke Ariel. Ini adalah pertama kalinya ia menatap mata Ariel tanpa adanya batasan sosial, dan Ariel merasa seperti terhenti napasnya. Mata itu bukan mata Tuan Putri Astaria; itu adalah mata seorang wanita muda yang takut. “Saya tidak peduli,” potong Elara, suaranya bergetar. “Saya tidak peduli dengan aturan, dengan etiket, dengan takdir yang mereka ukirkan untuk saya. Semua orang di istana ini melihat saya sebagai investasi. Ayah melihat tahta. Ibunda melihat aliansi. Para dayang melihat kekuasaan yang bisa mereka gunakan.” Elara berjalan ke arah teleskop tua yang menghadap ke langit Astaria yang bertabur bintang, tetapi ia tidak melihat bintang-bintang. “Hanya Anda. Anda, Ariel, yang hanya bertugas membersihkan porselen dan mengganti bunga… hanya Anda yang melihat saya sebagai sesuatu yang sederhana. Anda melihat saya, dan Anda tidak meminta imbalan apa pun.” Ariel berdiri tegak, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia ingin memegang bahu Elara, meredakan bebannya, tetapi ia tahu sentuhan sekecil apa pun akan merusak keheningan dan garis batas yang memisahkan mereka. “Saya hanya seorang pelayan, Tuan Putri. Tugas saya adalah melayani. Saya... mendengarkan,” kata Ariel. “Itu sudah cukup,” Elara tersenyum samar, senyum pertama yang benar-benar jujur yang pernah dilihat Ariel di wajahnya. “Dengarkan saya, Ariel. Mereka memaksa saya untuk menikah dengan Pangeran Varen. Dia tua, kejam, dan matanya hanya dipenuhi keserakahan. Saya lebih suka mati di bawah teleskop tua ini daripada menikahinya.” Elara terisak pelan, air mata mengalir di pipinya. Ariel, yang selama ini dilatih untuk tidak bereaksi, merasakan sakit tajam di dadanya. Perintah "pergi" sudah tidak berlaku lagi. Ia melangkah maju, tetapi berhenti tiga langkah dari Elara. Ia tidak menyentuh Tuan Putri, tetapi ia melakukan hal yang jauh lebih berani: ia berbicara dari hati. “Tuan Putri,” katanya dengan suara tegas namun lembut. “Anda adalah Astaria. Anda memiliki kekuatan. Jangan biarkan mereka mengambilnya. Pangeran Varen hanyalah pria fana. Takdir Astaria ada di tangan Anda.” Elara mengangkat pandangannya, terkejut. Pelayan rendahan itu tidak hanya berani mengkritik keputusannya, tetapi juga mengingatkannya akan kekuatannya. “Saya akan pergi sekarang, Tuan Putri,” kata Ariel, membungkuk dalam-dalam. “Jika ada yang bertanya, Anda meminta saya memperbaiki engsel pintu yang berderit. Saya tidak akan pernah mengatakan sepatah kata pun tentang ini.” Ia menunggu sejenak. Elara mengangguk dalam keheningan yang penuh arti. Saat Ariel meninggalkan observatorium, ia tidak lagi merasa seperti bayangan. Malam itu, ia telah melihat jiwanya Tuan Putri yang telanjang dan rapuh, dan ia telah menanggapi panggilannya. Ia kini membawa beban rahasia yang jauh lebih berat daripada seluruh porselen di istana: beban penderitaan Elara. Dia duduk di sudut istana termenung dengan apa yang akan terjadi dengan masalah yang baru dia hadapi. Tetapi dirinya merasa tidak terlalu bersalah, hanya kesilafan katanya dalam hati. Dirinya di temani angin sepoi-sepoi basah memikirkan yang terus mengganggu, tiba tiba suara di belakangnya menyadarkan dirinya dari lamunannya yang berkecambukEra "Masa Redup" seharusnya menjadi masa ketenangan, namun bagi mereka yang terobsesi dengan kekuasaan masa lalu, keheningan ini adalah penghinaan. Di kedalaman Benteng Bayangan, Kravos telah menemukan cara untuk memeras sisa-sisa energi dari garis waktu yang telah mati. Ia tidak lagi mencari "Aliran Harmoni" atau "Keteraturan Absolut"; ia mencari Entropi.Kumparan Merah KravosKravos dan pengikutnya berhasil mengubah "Dead Coils" (Kumparan Mati) menjadi senjata yang mengerikan. Dengan menggunakan darah dan kemarahan sebagai katalis, mereka menyalakan kristal-kristal tersebut hingga memancarkan cahaya merah darah. Energi ini disebut sebagai Resonansi Merah—sebuah energi temporal yang korosif yang tidak mengalirkan waktu, melainkan menghancurkannya."Jika kita tidak bisa memiliki Nadi Waktu," geram Kravos saat jeruji selnya mulai meleleh di bawah pengaruh panas merah, "maka tidak ada yang boleh memiliki masa depan."Pelarian dari Benteng Bayangan berlangsung cepat dan brutal. Para
Dunia setelah kunjungan The Watchers of the Void tidak lagi sama. Langit Kael yang biasanya bergetar dengan cahaya kebiruan dari Nadi Waktu kini tampak biru pucat yang tenang, statis, dan bisu. Fenomena "The Great Desync" telah meninggalkan luka permanen: energi temporal yang dulu melimpah seperti air di sungai, kini kering hingga menyisakan genangan-genangan kecil yang tak lagi mampu menggerakkan mesin-mesin besar atau memberikan penglihatan masa depan yang jernih.Kael dan Obsidian kini memasuki era yang disebut "The Dimming" (Masa Redup).Matinya Nadi WaktuRatu Lyra I terbangun dengan perasaan hampa yang menyesakkan. Selama hidupnya, Flow of Harmony adalah kompas yang menuntun setiap langkahnya. Kini, ketika ia mencoba menjangkau aliran waktu, ia hanya menemukan kegelapan yang tenang. Kemampuannya untuk melihat jalur-jalur masa depan telah hilang sepenuhnya."Aku buta, Zephyr," bisik Lyra saat mereka berdiri di balkon istana, memandang kota yang mulai berdenyut tanpa bantuan
Kedamaian yang baru ditemukan setelah pengorbanan Pangeran Kaelen-Zephyrus di Lembah Keheningan ternyata hanyalah ketenangan sesaat sebelum badai kosmik melanda. Selama berabad-abad, Kael menganggap bahwa waktu adalah milik mereka untuk diatur, dilindungi, atau diadaptasi. Namun, mereka lupa bahwa aliran waktu yang mereka manipulasi adalah bagian dari samudra yang jauh lebih luas, yang memiliki penjaganya sendiri: The Watchers of the Void (Para Penjaga Kehampaan).Sinyal yang Tak TerbendungSemuanya dimulai dengan fenomena yang disebut "The Great Desync" (Desinkronisasi Besar). Di seluruh Kael dan Obsidian, instrumen temporal mulai berperilaku aneh. Jam mekanis di Obsidian berdetak dengan ritme yang tidak konsisten, sementara Nadi Waktu para peramal di Akademi Nadi mulai memancarkan warna abu-abu yang mati, bukan cahaya kebiruan yang biasanya.Ratu Lyra I merasakan getaran ini di dalam tulang-tulangnya. Flow of Harmony yang biasanya membimbingnya kini terasa seperti radio yang pe
Dua belas tahun telah berlalu sejak serangan Faksi Purist yang gagal. Pangeran Kaelen-Zephyrus, yang kini menginjak usia remaja, telah tumbuh menjadi sosok yang tenang, namun kehadirannya membawa gravitasi yang tak tertandingi di Istana Kael. Jika kakeknya, Elias I, adalah "Echo of the Void" yang mendengarkan waktu, maka Kaelen-Zephyrus adalah "The Decree's Voice" suara yang menetapkan kenyataan.Kekuatan Kedaulatan TemporalBagi Kaelen, dunia tidak pernah terasa tidak pasti. Masalahnya bukan karena ia tahu apa yang akan terjadi, melainkan karena apa yang ia inginkan cenderung menjadi kenyataan. Jika ia merasa hari itu harus cerah, awan akan menyingkir. Jika ia merasa seorang pelayan harus jujur, pelayan itu tidak akan bisa berbohong. Kekuatan ini, yang disebut Lyra sebagai Kedaulatan Temporal, adalah gabungan dari ketetapan Obsidian dan kehendak bebas Kael.Namun, kekuatan ini adalah penjara bagi orang-orang di sekitarnya."Ibu," kata Kaelen suatu pagi di taman istana. Ia sedang
Tiga tahun telah berlalu sejak Ratu Lyra I dan Pangeran Zephyr menyatukan Kael dan Obsidian dalam sebuah ikatan yang secara teknis sah menurut Dekrit Kronos namun secara emosional revolusioner. Kael tetap menjadi pusat fleksibilitas, sementara Obsidian mulai belajar bernapas dalam ketidakpastian yang terukur. Namun, kedamaian ini segera diuji oleh peristiwa yang paling ditakuti oleh para ahli teori waktu: lahirnya seorang pewaris yang membawa dua frekuensi temporal yang bertentangan.Kelahiran Pangeran Kaelen-ZephyrusIstana Kael diselimuti oleh aura elektrik yang aneh saat Ratu Lyra I melahirkan putra pertamanya. Berbeda dengan kelahiran Elias yang membawa Keheningan, atau Lyra yang membawa Kejelasan, kelahiran bayi ini memicu fenomena yang disebut Resonansi Paradoks.Di dalam ruang persalinan, jarum jam bergerak mundur setiap kali sang bayi menangis, namun di saat yang sama, semua peristiwa di dalam ruangan itu terasa seperti pengulangan yang sempurna, seolah-
Pernikahan Ratu Lyra I dari Kael dan Pangeran Zephyr dari Obsidian bukanlah perayaan romantis; itu adalah konferensi diplomatik yang rumit, disamarkan sebagai ritual kuno. Ini adalah perpaduan dua filosofi yang bertentangan: Kael, yang dibangun di atas pilihan bebas dan adaptasi, dan Obsidian, yang didirikan di atas keyakinan teguh pada Takdir Absolut yang tertulis dalam Dekrit Kronos.Setelah Lyra berhasil menggenapi Pasal K.9.1. Dekrit Kronos dengan tarian konyol di Batu Pilihan , Zephyr dan delegasinya berada dalam kondisi kebingungan yang konstan, suatu keadaan yang dianggap sebagai anomali terbesar dalam sejarah Obsidian.Seremoni: Menguji Batasan KeteraturanUpacara pernikahan diadakan di halaman utama Istana Kael. Delegasi Obsidian mengenakan jubah abu-abu dan hitam yang kaku, bergerak dalam barisan yang dihitung dan teratur, dipandu oleh jam tangan mekanis yang presisi. Mereka tampak seperti potongan-potongan catur di tengah pesta kebun Kael yang berwarna-warni.Kaelan, d







