"sayang, anak Bunda." Hella mengulurkan tangan meraih Hamdan yang duduk menangis sesegukan."Kita berobat sekarang ya," lirihnya sambil mengambil gendongan, lalu meraih dompet berwarna pink yang ada diatas kursi, lalu memasukkannya kedalam tas kecil.Hela bertekad akan mencari keberadaan, Rissa. Tapi sebelumnya dia akan kerumah orangtua Rudi, untuk meminta sedikit uang.Yah, memalukan memang. Tapi dia tak punya pilihan. Dari pada anak sakit dan kelaparan, itu jauh lebih menakutkan.Meski baru dua kali menginjakkan kaki dirumah Hanum, Hella dapat mengingat jalan untuk kembali kerumah itu. Hella sudah menguatkan mental, berjaga-jaga jika nanti Hanum akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar."Pak, beli obat panas untuk anak dua tahun." ujar Hella didepan apotek. Kebetulan didepan gang kontrakan ada ruko apotek, berjejer dengan toko sembako dan perabotan."Merek apa, Mbak?" tanya laki-laki setengah baya dibelakang etalase."Adanya apa, Pak? Yang murah tapi bagus?" Hella balik bertanya."
"Kembaliannya jangan diambil. Itu buat beli sayuran besok," pesan Hanum. Jaya mengangguk senang, lalu meraih uang itu dan berjalan keluar rumah.Hatinya berbunga-bunga, tak sabar ingin menengok wanita cantik yang sedang menunggunya dikontrakan.Jaya menepikan motor dihalaman kontrakan, suasana cukup sepi karna langit mendung dan rintikan hujan mulai membasahi tanah. Jaya berlari kecil kearah kontrakan Hella, sambil menenteng beberapa plastik berisi makanan yang dibelinya dipinggir jalan.Mengibaskan pundak yang terkena cipratan air hujan, merapihkan kemeja agar terlihat semakin rapih. Sungging senyum tak lepas dari bibirnya.Jaya mengucap salam sambil mengetuk pintu, menoleh kejendela sambil merapihkan rambut yang sedikit basah berantakan."Eh, Bapak. Masuk, Pak." ucap Hella saat membuka pintu, kakinya melangkah mundur memberi jarak agak Jaya bisa masuk kedalam rumah.Pintu dibiarkan terbuka oleh Hella, agar terlihat lebih tenang dan sejuk, karna didalam kontrakan hanya ada kipas angi
Hella masih bergeming ditempat, matanya menyorot nanar memandang kepergian laki-laki berusia 60 tahun tersebut.Menutup pintu dengan tergesa, tubuhnya bergidik jijik dengan tangan mengibas-ngibas kasar bokong sintalnya.Mata Hella memanas, jantungnya masih berdebar-debar dengan cepat."Astagfirulloh ..." kalimat Tuhan, akhirnya keluar dari bibir. Hella terguncang dengan air mata mengalir sambil mendekap erat tubuh Hamdan."Huhu ..." tangisan Hella, terdengar menyayat hati. Fikirannya langsung tertuju pada, Rudi.Aah ... mengapa sehina ini?Dalam hidup, tidak pernah Hella dilecehkan dan direndahkan. Persendiannya begitu lemas, dengan hati yang teramat sakit."Mas ... ya Tuhan."Tubuh Hella menggigil kuat, tanpa sadar kuku tangan mencakar pundak hingga kelengan. Hella teramat marah, kesal, jijik dan sakit hati.Tak menyangka, laki-laki yang dianggapnya orangtua. Akan berlaku hina pada dirinya."Aaarghhhh!"***Ofd."Mana buburnya, Ika mau makan?" Hanum menadahkan tangan saat Jaya masuk k
Nafas Hella terhenti, tubuhnya membeku, saat melihat sorot mata Jaya yang menghujam penuh nafsu lalu menyeret masuk tubuhnya kedalam toilet."Pa--kk ..." Hella meronta, matanya sudah dipenuhi oleh genangan air. Kedua tangan Jaya, menahan erat gerakan Hella. Menatapnya dengan mata berbinar penuh cinta.Seluruh persendian Hella begitu lemas, jantung semakin bertalu-talu saat Jaya tersenyum menyerigai didepan wajahnya."Ssstt ... jangan berisik." bisik Jaya penuh nafsu. Nafasnya memburu, tak sabar ingin mencicipi manisnya madu yang ada didepannya.Tubuh Hella menggigil, kepalanya menggeleng lemas berusaha menghindar saat bibir Jaya mendekat di wajahnya."Jangan, P-ak." lirih Hella ketakutan sambil menjauhkan kepalanya. Hella teramat jijik, melihat bibir tebal yang berusaha melumat bibir ranumnya.Jaya tak menggubris, semakin didekapnya tubuh sintal Hella kedalam pelukkannya. Satu tangannya memegang erat kepala, satunya lagi menahan tangan Hella. Gairahnya benar-benar tak terkendali. Laki
Pov Rissa.Pandangan tertuju pada gadis kecil, yang sibuk mencorat-coret buku gambar. Sesekali mata melirik kearah televisi, yang menyiarkan gosip tentang selebritis.Bibirku mungkin masih bisa berhias senyum, namun hati terasa kosong, penuh luka yang sedang berusaha di obati.Perpisahan, tentu saja menyisakan luka. Dan jujur saja, saat ini aku tengah berusaha menepis semua kenangan yang pernah kami lalui.Sidang tuntutan sudah didepan mata, kadang aku bertanya pada diri sendiri, benarkah langkah yang sudah aku lakukan?Haruskah, aku benar-benar memenjarakan laki-laki yang dulu menjadi bagian hidupku. Mengisi ruang didalam sepi juga ditengah kebahagiaan. Lalu bagaimana dengan, Dila?Bisa mengertikah dia?Sejauh ini, mungkin aku masih memberinya jawaban yang sama. Berbohong, berkata bahawa Ayahnya sedang mengais rezeki agar Dila tidak mencemaskan, Mas Rudi.Namun bagaimana nanti jika Dila terus mendesak, ingin tahu keberadaan Ayahnya?Apa yang harus aku jawab, jika hari itu sudah tiba
Ya. Sedikit puas, tentu saja. Melihat kehidupannya yang kini terlihat menyedihkan.Berharap bahagia setelah merebut suamiku, tapi nyatanya ... malah kesusahan yang dia dapat.***Ofd.Diatas ranjang, Dila masih berceloteh tentang Hamdan. Mulutnya terus saja bergerak, menceritakan tentang gemasnya bocah laki-laki itu. Dengan semangat Dila turun dari ranjang merapihkan mainannya yang berserak dilantai, lalu menaruhnya ditempat keranjang mainan.Dila terlihat antusias, seolah tak sabar ingin bertemu dengan, Hamdan.Hhh ... andai kamu mengerti, Nak. Tante dan Adik Hamdanmu, sudah merusak kebahagiaan kita."Dila ... sini sayang?" aku melambai kearahnya. Mencoba ingin berbicara dari hati, secara perlahan.Dila mengambil boneka dinosaurus milik, Hamdan. Memeluknya erat, lalu melangkah kearahku."Lucu ya, Mah. Boneka ini Ayah yang beli. Buat Adek Hamdan. Ayah tuh sayang sekali sama Adek, aku sempat iri, karna tidak dibelikan boneka." jelas Dila. "Tapi Ayah janji mau beliin, tapi sampai sekaran
"Dila sayang, ini Tante. Buka pintunya!"mataku membulat, mendengar suara teriakan perempuan yang begitu aku kenal."Dila ... ini Tante Hella, sayang." lagi, suara demit itu kembali terdengar.Pelan ... kepala menoleh kearah, Dila yang sibuk membuka bungkus makanan dengan mata fokus menatap layar televisi. Langkah kupercepat, menghampiri Bik Narti yang wajahnya sudah menegang.Teriakkan Hella kembali terdengar, membuat gigiku mengerat saking kesalnya."Bik, bawa Dila kekamar belakang. Biar ular ini, aku yang urus!" titahku tegas. Bik Narti mengangguk patuh, dengan langkah cepat dia menuju kearah, Dila."Cantik, bawa makanannya kekamar ya. Diluar ada penyemprotan nyamuk banyak asap," ucap Bik Narti seraya mengambil plastik makanan, lalu menuntun Dila masuk kekamar belakang.Aku bernafas lega, setidaknya Dila langsung menurut tidak banyak bertanya.Aku atur nafas sebelum keluar dari pintu, mencoba bersikap biasa saja. Karna dilingkungan baru ini, tidak ada yang tahu masalahku sama sekal
Aku tersenyum tipis, dalam hati sedikit senang melihat Ibu-Ibu yang mulai membicarakan sinis tentang, Mbak Rissa."Sabar ya, Mbak. Biarkan saja. Saudara seperti itu, nanti juga kena batunya." cibir Ibu gendut. Aku hanya mengangguk, tersenyum miris mendengarnya."Mbak nya sudah makan?" tanya Wulan. Aku menggeleng pelan."Ya ampun," Wulan menghela nafas panjang. Sepertinya mereka benar-benar iba melihatku."Kasihan ya?""Ih, Mamah Dila. Aku jadi gemes sendiri." Ibu gendut mencebik, menimang Hamdan dengan tatapan sendu."Saya ambilkan makan ya?" tawar Wulan."Tidak usah, Mbak. Saya tidak mau merepotkan." balasku."Tidak apa, kasihan anakmu." sahutnya. Akhirnya aku mengangguk, Wulan menatap prihatin lalu masuk kedalam rumahnya. Pun aku tak bisa menolak, karna perut sudah mulai keroncongan."Memang ada masalah apa, Mbak sebelumnya. Maaf jika pertanyaan saya kurang berkenan." tanya Ibu muda yang sejak tadi hanya diam."Hanya salah paham, Mbak. Saya kesini juga mau minta maaf. Tapi malah diu