Mengendarai mobil dengan hati was-was, dan kecepatan tinggi. Mulutku merapal, tak henti berdoa untuk keselamatan, Dila.Mata memanas, dada bergemuruh hebat tanpa terasa butiran bening mengalir hangat dipipiku.Jiwa dan raga begitu lelah, hati menjerit-jerit pilu. Namun aku seolah dipaksa untuk tidak boleh beristirahat.Cccccciiittttttt!!Deritan aspal dan ban berbunyi kencang, seirama dengan tubuh yang terdorong kuat kedepan stir mobil.Braaak!!"Arghhh, sssss." aku meringis, repleks memegangi kening yang berdenyut perih."Heh! gila lu. Bisa nyetir ga!!" teriak seorang laki-laki berkendara roda dua, sambil memukul wajah mobilku.Tangan yang masih bergetar bergegas membuka jendela mobil, menyembulkan kepala dengan kedua tangan menelekup didada."Ma-af, Mas." lirihku bersuara. Laki-laki itu mendengkus, memeriksa ban motornya lalu melaju begitu saja dengan wajah tak bersahabat.Akibat terlalu panik, aku jadi tidak memperhatikan jalan yang mulai dipadati pengendara. Menepikan mobil, tubuh
"Maksudmu?" Mas Rudi balik bertanya, matanya sudah memerah dipenuhi genangan air.Aku tidak menjawab, namun mata ini menyorotnya dengan tatapan tajam mengintimidasi."Kau menuduhku?" ucapnya sambil menunjuk diri sendiri.Aku terdiam, semakin yakin dengan prasangka ini."Aku tidak mengatakan itu," jawabku cepat. Mas Rudi mengusap kasar wajah tegangnya, berdecis sinis, mencoba menutupi kegugupannya."Jangan berpikir macam-macam, Larissa. Aku sedang terkurung disini, mana mungkin aku melakukan hal gila seperti itu." ucapnya bernada sinis."Aku hanya berselingkuh, tidak dengan menyakiti darah dagingku." bantahnya lagi."Itu tidak mungkin!" tegasnya menatap lurus.Ya. Secara fisik, memang benar dia tidak menyakiti Dila. Tapi secara psikolog tentu saja dia sudah melakukannya."Ya," aku menganggukan kepala. "Ragamu memang terkurung di penjara ini, namun tidak dengan isi kepalamu!" ucapku tenang.Menghadapi makhluk astral sepertinya memang dibutuhkan ketenangan. Aku tidak ingin lepas kendali,
"Ck! Mau apa lagi sih, dedemit itu!" rutukku kesal sambil membuka pintu mobil."Ini dia orangnya!" keningku mengkerut, menatap heran, saat melihat tetangga depan rumah berkacak pinggang sambil menyorotku dengan tatapan sinis."Ada apa ini?" tanyaku sambil menutup pintu mobil. Jujur saja, aku merasa ada hal janggal saat melihat wajah nyinyir Hella dengan senyum mengejek kearahku.Hella seolah memamerkan, bahwa dia mempunyai banyak pembela saat ini."Mbak Rissa, saya kasih tau yah. Sama Adik itu jangan dzolim. Kasihan tuh, bawa-bawa anak kecil bolak-balik kerumah ini, tapi tidak pernah dikasih masuk, malah diusir terus!" ketus Mbak Wulan, sambil bersedakap dada. Wajahnya begitu sinis, seolah aku ini adalah musuhnya.Aku bergeming, menatap satu demi satu lima perempuan yang ada di depanku."Iya ... kalau ada masalah tuh, bok ya di bicarakan baik-baik. Saya sebagai tetangga saja tidak tega melihatnya. Dia dari kemarin siang datang kesini loh, panas-panasan. Anaknya sampai nangis menjerit-
"Karna Hella ... sudah BERZINA dengan suami saya." ucapku tegas, penuh penekanan."Astagfirulloh ...."Kompak semua orang terperangah, mereka semua saling pandang, lalu menatap tak percaya kearah Hella yang wajahnya sudah berubah sepucat mayat.Mata Hella mengejrap berulang kali, mulutnya celengap-celengap seperti ikan emas yang kesulitan untuk bernafas.Sesak?Aah ... ini belum seberapa. Kartu matimu masih banyak ditanganku, La.Aku memamerkan senyum puas, saat sorot mata Hella bersibobrok dengan netraku."Benar begitu, Mbak?" tanya Mbak Rena."Beneran, Mbak?" Ibu muda menatap intens, menunggu jawaban, Hella.Hella tergagap, matanya mendelik kekiri dan kanan dengan seulas senyum yang dipaksakan."Ti--" belum sempat Hella bersuara, kalimatnya sudah terpotong oleh ucapan ketus Ibu gendut."Ya ampun! Pelakor ternyata ..." timpal Ibu gendut."Dih, pelakor!" sahut Ibu muda dengan ekpresi jijik."Dia yang jahat dong. Ketipu kita," sambung Ibu muda kesal.Hella semakin panik, keringat dingi
"Sudah beres, Neng?" tanya Bik Narti saat aku memasuki rumah."Sudah," jawabku lega."Bibik geregetan sekali sama, Hella. Benar-benar tidak tahu malu. Masih saja mengusik kehidupan, Neng Rissa. Maunya apa sih!" gerutu Bik Narti."Entahlah, yang jelas dia ingin aku memungutnya kembali." jawabku sambil menjatuhkan bobot diatas sofa.Hhh ... rasanya lelah sekali."Dasar pelakor. Pak Rudi dipenjara. Bingung dia, Neng. Mau numpang hidup sama siapa," balas Bik Narti dengan wajah kesal. Aku hanya tersenyum, dalam hati membenarkan ucapan Bik Narti."Dila aman, Bik?" tanyaku."Aman, Neng. Tadi pas lagi ramai didepan, Bibik kunci pintu kamar terus nonton film kartun kesukaan, Non Dila." jawab Bik Narti.Aku manggut-manggut, mendengar ucapan Bibik."Oh ... iya. Kemasi semua barang-barang, Bik. Kita akan pindah besok pagi." ucapku setelah menyesap teh hangat buatan Bik Narti."Pindah, Neng?" aku menganggukkan kepala."Oke, Neng." jawab Bik Narti penuh semangat.***Ofd."Loh, pamit kemana?" ucap M
"Maaf, Riss. Si Bagas ini, kalau bicara memang ceplas-ceplos." Ryan terkekeh malu.Aku hanya menarik nafas, mengeleng kepala melihat kekonyolan mereka. Sepertinya mereka sangat dekat."Oke ..." Bagas menarik nafas, tubuhnya menegak, berwajah serius."Bisa kita lebih serius? Tolong kerja samanya. Saat ini aku sedang berada di dekat client." Bagas menatap lekat netra, Ryan."Hoo, oke!" ujar Ryan sambil mengangkat tangan, menyatukan jari telunjuk dan jempolnya."Ehm ... bisa kamu jelaskan masalah ini dengan jelas. Meski aku sudah mendengar berita ini dari, Ryan. Tapi aku ingin mendengar semuanya dari clientku sendiri." pinta Bagas, kali ini wajahnya lebih antusias dari sebelumnya.Mata itu menyorot tajam, aku menghela nafas menyungging senyum kecut mengingat harus membahas tentang kedua musang itu."Astaga ...." Mendengar kisahku, Bagas tak henti menggelengkan kepala. Wajah yang tadi serius kini berubah mendung dengan tatapan iba."Lalu Hella, dia berada dimana sekarang?" tanya Bagas. A
Adam menatap lurus, seolah melihat kesungguhanku. Samar aku lihat Adam tersenyum miring, lalu menganggukkan kepalanya."Lu yakin?""Hmm!" aku mengangguk tegas."Oke," gumam, Adam seraya mengangguk pelan. "Tapi ..." kepala Adam celingukan, sebelum akhirnya mencondong agar lebih dekat denganku."Semua engga gratis," bisiknya pelan."Ini beresiko, kalau gagal ... bisa saja, gua ikut masuk ke penjara." sambungnya."Lu tenang aja. Motor gua, jadi milik lu. Kalau lu berhasil menjalankan tugas ini."Adam menyematkan senyum, kembali duduk ketempat semula."Kapan sidang kedua?" tanyanya."Tiga hari lagi," jawabku. Adam tak menjawab, namun senyum miring dibibirnya sudah mengatakan bahwa dia menyetujui rancana."Waktu besuk sudah habis!" suara petugas menggema didalam ruangan. Tatapan mata sinis selalu melekat padaku, tiap kali petugas sombong itu melihat keberadaan ini."Mau berbuat jahat apa lagi lu?" tanya petugas bernama Ryan dengan tatapan menyelidik.Aku tak menggubris, meneruskan langkah
Belum sempat aku menekan remote yang melekat dikunci mobil, pandanganku terhenti pada sosok laki-laki yang begitu familiar sedang berjongkok tepat disamping mobilku."A-dam ..." gumamku pelan, sambil mengamati gerak-geriknya yang sangat mencurigakan.Adam terlihat sibuk dibawah kolong mobil, mataku mengedar mencari keberadaan kamera pengawas, setahuku diarea parkir ada satu cctv."Hhh ... cctv menghadap arah lain. Itu berarti, tidak ada yang mengawasi kegiatannya." gumamku pelan sambil terus mengamatinya."Selesai juga," suara Adam terdengar sumringah, dia menepuk baju dan celana yang berdebu secara bergantian.Jarak antara aku dan dia hanya 10 meter, mata terus mengawasi gerak gerik dan sekitar. Waspada jika ada orang lain yang menemaninya."Tinn!"Suara klakson mobil terdengar saat aku menekan remot kontrol. Adam terlonjak kaget, sambil menepuk dadanya."Astaga, Ris-sa!" Mata itu terbelalak, Adam kembali memegangi dada saat sorotnya melihat keberadaanku.Aku tersenyum tipis, kaki me