Share

PERMINTAAN GILA KAKAKKU
PERMINTAAN GILA KAKAKKU
Penulis: Nendia

PGK 1

“Ayo dong, Ris!”

“Ih, kagak.”

Please ....”

“Ogah!”

“Sekali aja.”

“Sekali gue bilang kagak. Berarti kagak. Paham!”

Kakakku memutar kursi kerjanya. Merogoh sesuatu dari kantong celana jeans dengan sedikit kesusahan.

“Padahal gue mau kasih duit!” serunya sambil menghitung lembaran-lembaran merah.

Wah. Duit itu? Lumayan banyak juga. Mata ini jadi terasa berbinar melihat kecerahannya.

Bedak, lipstik, skincare, sabun lulur, baju baru, dan benda-benda yang ingin kubeli melayang-layang di depan mata. Oohhh, sungguh menggiurkan.

Tunggu Klarisa! Jangan mata duitan. Inget kerjaan apa di balik uang itu? Lebih baik enggak, deh. Enggak!

“Em ... berapa itu?” Aku mengintip di belakang Kak Mandala, mengesampingkan benak yang sedang perang.

“Lumayan lah. Buat lo shopping.” Pria jomlo ini memutar kembali kursinya. “Tapi kalo lo gak mau, ya, gue tinggal cari yang lain.”

“Tambahin, lah. Lima juta.” Aku mengedipkan sebelah mata.”

“Gila lu. PSK aja kagak segitu.”

“Sialan!” Aku memukul tangan Kak Mandala yang sedang menggenggam uang.

“Lagian lo gak tau diri. Gitu doang minta lima juta. Udah kek mau jual diri aja.”

“Gitu doang, gitu doang. Mulutmu itu gitu doang. Yang udah-udah juga gak ada sejarahnya gitu doang. Selalu ada embel-embel tragedi di belakangnya.”

“Kali ini kagak. Lo cuma nemenin Daffa makan malam. Sumpah!”

“Udah kagak percaya gue sama sumpah lo.”

“Elah. Gak percaya banget.”

Ingin rasanya segera pergi dari hadapan Kak Mandala. Sayangnya lembaran-lembaran merah itu membuat kaki ini bagai terpaku.

Andai pekerjaan ini tidak berat, mungkin sudah kuiyakan saja. Sayangnya urusan dengan kakakku tidak pernah sederhana.

Kak Mandala dan Kak Daffa bersahabat sejak zaman sekolah dulu. Bisa dibilang mereka cowok idaman wanita. Katanya, sih, selain ganteng, dua cowok ini cool dan keren. Entah dilihat dari mana. Menurutku, sih, biasa saja. Ketampanan mereka itu gak sebanding dengan kelakuannya yang gak banget.

Dua cowok ini sering dikejar-kejar wanita. Dan untuk menghindarinya aku selalu menjadi tameng. Masih ingat jelas bagaimana kerjaan terberat dari Kak Mandala. Saat itu ada seorang cewek yang ngejar-ngejar dia sampai datang ke rumah. Lalu aku disuruh buat jadi adik yang menyebalkan.

Parah banget, sih, apa yang aku lakukan hari itu. Aku duduk deketin temen ceweknya Kak Mandala. Lalu SKSD. Aku bikin sesebel mungkin dia dengan perbincangan kami.

Ngupil. Terus colekin ke lengannya. Abis itu ngambil makanan, terus sodorin ke dia.

Usahaku berhasil. Temennya Kak Mandala bertahan hanya sepuluh menit.

Apa cerita selesai sampai situ aja? Aku pikir awalnya begitu. Sayangnya kagak. Cewek itu ternyata jadi seniorku di kampus. Apes!

Aku harus melewati masa-masa berat selama ospek. Parah banget, sih.

Selain itu aku juga pernah nyamar. Pura-pura jadi mama. Pura-pura sakit parah, sakit jiwa, pura-pura jadi bodyguard, dan banyak lagi. Dari semua peran itu gak ada yang mengangkat harga diri, semua menjatuhkan.

Yang baru ini, aku diminta pura-pura jadi pacarnya Kak Daffa. Katanya, sih, dia mau dijodohin gitu, terus aku harus bikin cewek pilihan ibunya ini mundur. Caranya gimana? Itu yang belum jelas. Kak Mandala sih jelasinnya simple. Cukup datang temani Kak Daffa, tapi jangan percaya! Aku sudah khatam sama modus mereka. Jelasin A. Fakta di lapangan Z.

“Gimana?” Dua alis Kak Mandala naik.

“Nemenin doang?” Irisku fokus pada uang. Lembaran merah itu menghapus segala logika.

“Hm ....” Kak Mandala memejam dalam.

“Emm ....” Aku menggaruk pelipis. “Tapi bener nemenin doang?”

“Suer!” Kak Mandala mengacungkan dua jari V. Masih duduk dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya melingkar di perut sambil mengepal uang.

“Oke ... gue mau datang ke sana, tapi cuma sebatas nemenin. Gue gak akan ikut perintah kalian yang aneh-aneh. Berhasil atau kagak gue lepas tangan. Gimana?”

“Oke.” Kak Mandala menunjukkan kepalan tangan. Aku menjotosnya sebagai tanda sepakat.

“Duitnya!”

“Entar dong kalau lo udah kerja.” Kak Mandala memasukkan kembali uangnya ke dalam kantong celana. “Malam minggu jam sembilan jangan lupa!”

Aku berdecak sambil berlalu pergi.

***

Malam Minggu tiba. Dress hitam selutut sudah membalut tubuh. Tak lupa heels dan tas kecil warna senada. Kupoles make up secantik mungkin. Rambut sepundak kubiarkan tergerai rapi.

Kak Daffa ini anak orang kaya. Jadi, harus perfect kalau mau pura-pura jadi pacarnya. Setidaknya terlihat pantas, tak urak-urakan. Kalau jelek kan pasti tidak dipercaya.

“De ... Daffa sudah di depan.” Suara Kak Mandala diiringi ketukan pintu.

“Ya!” Aku berseru. Memakai heels dan langsung buka pintu.

“Mau pergi?” tanya Mama. Beliau melihat penampilanku dari atas sampai bawah. Sudah bisa kuprediksi apa yang Mama pikirkan, pasti bingung, heran, dan merasa aneh.

“Dia mau pergi sama Daffa, Ma. Ada acara di kantor, Mandala lagi males pergi. Jadi, diwakilkan Risa.”

“Hm ....” Mama mengangguk. “Ya, udah hati-hati. Sama Daffa, ‘kan?”

“Iya, sama Daffa,” ulang Kak Mandala.

“Ya, sudah. Tapi pulangnya juga harus sama Daffa.”

Aku menghampiri Mama dan mencium tangannya. “Pamit, ya, Ma.”

“Iya, hati-hati.”

Suara heels bertemu ubin mengiringi langkahku. Mama mengekor. Di halaman rumah, Audi biru menyambut. Kak Daffa berdiri di sisi pintu kemudi.

“Tan, Risa Daffa bawa dulu, ya.”

“Iya, Daffa. Hati-hati ... anterin lagi nanti. Jangan kemalaman!”

“Siap, Tan.”

Pria dengan jas hitam itu membukakan pintu samping, aku melambaikan tangan pada Mama lalu masuk mobil. Kak Daffa memutari kendaraan dan dia langsung bersiap pergi.

“Tumben kamu cantik, Ris.” Kak Daffa melirik sambil menggerakkan tuas perseneling.

“Iya, lah.” Aku mengibas rambut sisi kanan.

“Bagus ... bagus.” Dia mengangguk. Tatapan fokus ke depan.

Baru aku mengerti kenapa Kak Daffa memintaku pakai dress hitam. Ternyata tujuannya agar senada. Lihatlah. Dia pun pakai kemeja hitam, jas, dan celana warna senada. Dasi merah berbentuk pita menghiasi kerah bajunya. Ada sapu tangan merah juga di salah satu kantong jasnya. Rapi bener, dah.

“Ini acaranya formal banget, Kak?”

“Jelas, di hotel bintang lima.”

“Malu-maluin enggak gue?”

“Kagak.”

Suer?”

“Hmm.”

“Terus tugas gue apa? Bener, ya, cuma nemenin doang.”

Yaps.”

“Serius?”

“Lo iyain aja apa kata gue.”

“Gitu doang?”

Yes.

“Ah, gue sangsi.” Aku melempar pandang ke sisi kiri. Melihat kaca kendaraan. Perasaan kok jadi enggak enak gini ya.

“Eh, di sana panggilan kita sayang, beb. Jadi, gak ada lo gue.”

“Serah lo, ah. Perasaan gue gak bener ini.”

Bukannya menenangkan, Kak Daffa malah tertawa.

***

Setengah jam berlalu, kami sudah berada di sebuah restoran hotel bintang lima. Aku melingkarkan tangan di lengan Kak Daffa. Berjalan dibawah lampu-lampu kristal super besar.

Kak Daffa membawaku pada salah satu meja bundar. Tempat seorang wanita bergaun merah duduk manis.

Aku menghela napas penuh sesal. Lagi-lagi harus merusak harapan para perempuan.

“Selamat malam, Tamara,” sapa Kak Daffa di belakang kursi wanita itu.

Tamara langsung menengok. Pada awalnya, tatapan itu berbinar. Namun, berubah dengan sekejap.

“Kamu sama ...?”

“Ini cewek gue. Klarisa.”

Aku segera menyodorkan tangan.

“Hai ... Klarisa.” Senyum berusaha kuulas semanis mungkin.

“Oh.” Gadis malang itu tampak kecewa.

“Ayo, Sayang! Kita duduk.”

“Oke, Beb.”

Bweee! Pengin muntah rasanya.

Aku dan Kak Daffa duduk di seberang Tamara. Lalu pria di sampingku ini mengayunkan tangan memanggil pelayan.

“Lo belum pesan makan, ‘kan?”

Tamara menggeleng tanpa kata.

Pelayan datang. Memberi book menu. Satu untuk Tamara. Satu untuk aku dan Kak Daffa.

“Kamu mau pesen apa, Sayang?”

“Terserah kamu aja, Beb.”

“Oke, aku pesenin yang sehat buat anak kita, ya.”

Anak? GILA!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Munawar Munawar
mantap seru juga
goodnovel comment avatar
sianko_929
bilang sayang dan beb benaran bisa hamil wadauuu....asyiiikkk.....️
goodnovel comment avatar
Rany Katayane
ceritanya bagus loh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status