“Ayo dong, Ris!”
“Ih, kagak.”
“Please ....”
“Ogah!”
“Sekali aja.”
“Sekali gue bilang kagak. Berarti kagak. Paham!”
Kakakku memutar kursi kerjanya. Merogoh sesuatu dari kantong celana jeans dengan sedikit kesusahan.
“Padahal gue mau kasih duit!” serunya sambil menghitung lembaran-lembaran merah.
Wah. Duit itu? Lumayan banyak juga. Mata ini jadi terasa berbinar melihat kecerahannya.
Bedak, lipstik, skincare, sabun lulur, baju baru, dan benda-benda yang ingin kubeli melayang-layang di depan mata. Oohhh, sungguh menggiurkan.
Tunggu Klarisa! Jangan mata duitan. Inget kerjaan apa di balik uang itu? Lebih baik enggak, deh. Enggak!
“Em ... berapa itu?” Aku mengintip di belakang Kak Mandala, mengesampingkan benak yang sedang perang.
“Lumayan lah. Buat lo shopping.” Pria jomlo ini memutar kembali kursinya. “Tapi kalo lo gak mau, ya, gue tinggal cari yang lain.”
“Tambahin, lah. Lima juta.” Aku mengedipkan sebelah mata.”
“Gila lu. PSK aja kagak segitu.”
“Sialan!” Aku memukul tangan Kak Mandala yang sedang menggenggam uang.
“Lagian lo gak tau diri. Gitu doang minta lima juta. Udah kek mau jual diri aja.”
“Gitu doang, gitu doang. Mulutmu itu gitu doang. Yang udah-udah juga gak ada sejarahnya gitu doang. Selalu ada embel-embel tragedi di belakangnya.”
“Kali ini kagak. Lo cuma nemenin Daffa makan malam. Sumpah!”
“Udah kagak percaya gue sama sumpah lo.”
“Elah. Gak percaya banget.”
Ingin rasanya segera pergi dari hadapan Kak Mandala. Sayangnya lembaran-lembaran merah itu membuat kaki ini bagai terpaku.
Andai pekerjaan ini tidak berat, mungkin sudah kuiyakan saja. Sayangnya urusan dengan kakakku tidak pernah sederhana.
Kak Mandala dan Kak Daffa bersahabat sejak zaman sekolah dulu. Bisa dibilang mereka cowok idaman wanita. Katanya, sih, selain ganteng, dua cowok ini cool dan keren. Entah dilihat dari mana. Menurutku, sih, biasa saja. Ketampanan mereka itu gak sebanding dengan kelakuannya yang gak banget.
Dua cowok ini sering dikejar-kejar wanita. Dan untuk menghindarinya aku selalu menjadi tameng. Masih ingat jelas bagaimana kerjaan terberat dari Kak Mandala. Saat itu ada seorang cewek yang ngejar-ngejar dia sampai datang ke rumah. Lalu aku disuruh buat jadi adik yang menyebalkan.
Parah banget, sih, apa yang aku lakukan hari itu. Aku duduk deketin temen ceweknya Kak Mandala. Lalu SKSD. Aku bikin sesebel mungkin dia dengan perbincangan kami.
Ngupil. Terus colekin ke lengannya. Abis itu ngambil makanan, terus sodorin ke dia.
Usahaku berhasil. Temennya Kak Mandala bertahan hanya sepuluh menit.
Apa cerita selesai sampai situ aja? Aku pikir awalnya begitu. Sayangnya kagak. Cewek itu ternyata jadi seniorku di kampus. Apes!
Aku harus melewati masa-masa berat selama ospek. Parah banget, sih.
Selain itu aku juga pernah nyamar. Pura-pura jadi mama. Pura-pura sakit parah, sakit jiwa, pura-pura jadi bodyguard, dan banyak lagi. Dari semua peran itu gak ada yang mengangkat harga diri, semua menjatuhkan.
Yang baru ini, aku diminta pura-pura jadi pacarnya Kak Daffa. Katanya, sih, dia mau dijodohin gitu, terus aku harus bikin cewek pilihan ibunya ini mundur. Caranya gimana? Itu yang belum jelas. Kak Mandala sih jelasinnya simple. Cukup datang temani Kak Daffa, tapi jangan percaya! Aku sudah khatam sama modus mereka. Jelasin A. Fakta di lapangan Z.
“Gimana?” Dua alis Kak Mandala naik.
“Nemenin doang?” Irisku fokus pada uang. Lembaran merah itu menghapus segala logika.
“Hm ....” Kak Mandala memejam dalam.
“Emm ....” Aku menggaruk pelipis. “Tapi bener nemenin doang?”
“Suer!” Kak Mandala mengacungkan dua jari V. Masih duduk dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya melingkar di perut sambil mengepal uang.
“Oke ... gue mau datang ke sana, tapi cuma sebatas nemenin. Gue gak akan ikut perintah kalian yang aneh-aneh. Berhasil atau kagak gue lepas tangan. Gimana?”
“Oke.” Kak Mandala menunjukkan kepalan tangan. Aku menjotosnya sebagai tanda sepakat.
“Duitnya!”
“Entar dong kalau lo udah kerja.” Kak Mandala memasukkan kembali uangnya ke dalam kantong celana. “Malam minggu jam sembilan jangan lupa!”
Aku berdecak sambil berlalu pergi.
***
Malam Minggu tiba. Dress hitam selutut sudah membalut tubuh. Tak lupa heels dan tas kecil warna senada. Kupoles make up secantik mungkin. Rambut sepundak kubiarkan tergerai rapi.
Kak Daffa ini anak orang kaya. Jadi, harus perfect kalau mau pura-pura jadi pacarnya. Setidaknya terlihat pantas, tak urak-urakan. Kalau jelek kan pasti tidak dipercaya.
“De ... Daffa sudah di depan.” Suara Kak Mandala diiringi ketukan pintu.
“Ya!” Aku berseru. Memakai heels dan langsung buka pintu.
“Mau pergi?” tanya Mama. Beliau melihat penampilanku dari atas sampai bawah. Sudah bisa kuprediksi apa yang Mama pikirkan, pasti bingung, heran, dan merasa aneh.
“Dia mau pergi sama Daffa, Ma. Ada acara di kantor, Mandala lagi males pergi. Jadi, diwakilkan Risa.”
“Hm ....” Mama mengangguk. “Ya, udah hati-hati. Sama Daffa, ‘kan?”
“Iya, sama Daffa,” ulang Kak Mandala.
“Ya, sudah. Tapi pulangnya juga harus sama Daffa.”
Aku menghampiri Mama dan mencium tangannya. “Pamit, ya, Ma.”
“Iya, hati-hati.”
Suara heels bertemu ubin mengiringi langkahku. Mama mengekor. Di halaman rumah, Audi biru menyambut. Kak Daffa berdiri di sisi pintu kemudi.
“Tan, Risa Daffa bawa dulu, ya.”
“Iya, Daffa. Hati-hati ... anterin lagi nanti. Jangan kemalaman!”
“Siap, Tan.”
Pria dengan jas hitam itu membukakan pintu samping, aku melambaikan tangan pada Mama lalu masuk mobil. Kak Daffa memutari kendaraan dan dia langsung bersiap pergi.
“Tumben kamu cantik, Ris.” Kak Daffa melirik sambil menggerakkan tuas perseneling.
“Iya, lah.” Aku mengibas rambut sisi kanan.
“Bagus ... bagus.” Dia mengangguk. Tatapan fokus ke depan.
Baru aku mengerti kenapa Kak Daffa memintaku pakai dress hitam. Ternyata tujuannya agar senada. Lihatlah. Dia pun pakai kemeja hitam, jas, dan celana warna senada. Dasi merah berbentuk pita menghiasi kerah bajunya. Ada sapu tangan merah juga di salah satu kantong jasnya. Rapi bener, dah.
“Ini acaranya formal banget, Kak?”
“Jelas, di hotel bintang lima.”
“Malu-maluin enggak gue?”
“Kagak.”
“Suer?”
“Hmm.”
“Terus tugas gue apa? Bener, ya, cuma nemenin doang.”
“Yaps.”
“Serius?”
“Lo iyain aja apa kata gue.”
“Gitu doang?”
“Yes.”
“Ah, gue sangsi.” Aku melempar pandang ke sisi kiri. Melihat kaca kendaraan. Perasaan kok jadi enggak enak gini ya.
“Eh, di sana panggilan kita sayang, beb. Jadi, gak ada lo gue.”
“Serah lo, ah. Perasaan gue gak bener ini.”
Bukannya menenangkan, Kak Daffa malah tertawa.
***
Setengah jam berlalu, kami sudah berada di sebuah restoran hotel bintang lima. Aku melingkarkan tangan di lengan Kak Daffa. Berjalan dibawah lampu-lampu kristal super besar.
Kak Daffa membawaku pada salah satu meja bundar. Tempat seorang wanita bergaun merah duduk manis.
Aku menghela napas penuh sesal. Lagi-lagi harus merusak harapan para perempuan.
“Selamat malam, Tamara,” sapa Kak Daffa di belakang kursi wanita itu.
Tamara langsung menengok. Pada awalnya, tatapan itu berbinar. Namun, berubah dengan sekejap.
“Kamu sama ...?”
“Ini cewek gue. Klarisa.”
Aku segera menyodorkan tangan.
“Hai ... Klarisa.” Senyum berusaha kuulas semanis mungkin.
“Oh.” Gadis malang itu tampak kecewa.
“Ayo, Sayang! Kita duduk.”
“Oke, Beb.”
Bweee! Pengin muntah rasanya.
Aku dan Kak Daffa duduk di seberang Tamara. Lalu pria di sampingku ini mengayunkan tangan memanggil pelayan.
“Lo belum pesan makan, ‘kan?”
Tamara menggeleng tanpa kata.
Pelayan datang. Memberi book menu. Satu untuk Tamara. Satu untuk aku dan Kak Daffa.
“Kamu mau pesen apa, Sayang?”
“Terserah kamu aja, Beb.”
“Oke, aku pesenin yang sehat buat anak kita, ya.”
Anak? GILA!
Hamil?OMG!Emang bikin anak kek ngupil. Sedetik langsung dapet.Aku mencubit paha Kak Daffa. Bisa kupastikan, di balik kain hitam ini, lapisan kulitnya sedang meradang.Kak Daffa menyembunyikan sakit dengan sedikit meringis dan senyum yang dipaksakan.“Kenapa, Sayang? It's oke, no problem. Kehamilanmu bukan untuk disembunyikan.” Kak Daffa menepis tanganku.“Kamu ngomong apaan, sih, Beb?” Aku melirik Tamara dengan senyum tak enak.Sumpah. Ini parah, sih. Kerjaan dari Kak Mandala gak pernah bener. Selalu menjatuhkan harga diri.“Lo hamil?” Tamara mengernyit jijik.“Cewek gue emang lagi hamil.”“Pede banget. Tante ... tahu?”“Bukan urusan dia.”“Ih, parah banget sih lo, Daf.”“Gue emang separah itu.”Kak Daffa menatap Tamara cukup serius.“Ra, gue minta lo mundur dari perjodohan ini. Gue gak mungkin sama lo karena Klarisa udah hamil. Jadi, gue gak mungkin ninggalin dia. Sebaiknya lo cari cowok lain. Jangan mau menjalani hubungan yang tujuannya cuma buat bisnis.”“Aku sayang sama kamu be
Kak Daffa berlari mendekat. Dia membuka pintu mobil dan sedikit mendorong tubuhku. Detik kemudian, terdengar suara kendaraan terkunci.Aku duduk gusar. Nengok ke belakang melihat keadaan. Tampak dua wanita yang turun dari Lamborghini—Tamara dan maminya Kak Daffa.Tamara pasti sudah bilang kejadian malam ini. Kalau saja Kak Daffa tidak membuat skenario kehamilan, aku mungkin tidak akan sepanik ini.Dua hal yang bisa kuprediksi mungkin akan terjadi. Pertana, mami Kak Daffa memakiku dengan sebutan jalang, wanita murahan, dan hal semacamnya. Lalu memintaku menggugurkan kandungan.Atau yang ke dua, bisa saja kami dinikahkan secara paksa. Ini yang gak boleh terjadi.Aku menggigit bibir. Membayangkan bagaimana hancurnya hidupku kedepannya nanti.Kak Daffa terlihat berdebat dengan maminya. Sesekali Tamara ikut menimpali. Apa yang mereka katakan? Aku tidak tahu. Suaranya di dalam sini kedap.Aku pernah bertemu dua kali dengan maminya Kak Daffa. Entah dia kenal aku atau tidak. Yang pasti dia ta
“Andre!” Aku melambaikan tangan dan segera menghampiri pria yang baru saja mendekati gedung fakultas.Andre tersenyum manis dan memelankan langkah. “Hai, Risa.”Lima langkah, aku mendekatinya. “Aku udah ngerjain yang kemarin, loh.”“Oke nanti aku cek.”“Udah dapat ide film yang mau kita garap?”“Ada beberapa, nanti kita meeting lagi.” Raut ramah itu tak kehilangan senyuman.“Oke.” Aku tersenyum bersemu.Setiap kali melihat Andre dan sikap hangatnya, bunga-bunga seperti mengelilingiku.“Kita kumpul di dalam aja bahasnya. Duluan, ya.”“Hu'um.”“Cek, cek, cek. Apa, sih, yang lo lihat dari Andre?” seloroh Natasya tepat di sampingku.“Dia itu baik, ramah, lucu, terus pinter. Gemesin banget.” Mataku tak bisa beranjak dari punggung Andre. Dia sudah melewati tangga fakultas dan hilang di balik pintu kaca.Natasya membuang napas kasar.“Gue rasa mata lu bermasalah. Gara-gara tiap hari liat dua cowok ganteng.”“Kak Mandala sama Kak Daffa maksud lo?”“Siapa lagi,” selorohnya sambil jalan duluan.
“Gak mau.” Aku menggetok Kak Daffa dengan gagang sapu. “Eh!” Pria tinggi itu mengusap ubun-ubunnya. “Dikasih yang enak gak mau.” Kak Daffa balik kanan. Dia mendekati meja dapur lalu buat kopi sendiri. Emang dasar, tamu kurang asem. “Ngapain ke sini. Kak Mandala aja belum pulang.” “Mau nginep gue.” “Ih, kenapa? Udah gak punya rumah?” “Diusir gara-gara hamilin anak orang.” Aku ternganga. Lalu mendekati Kak Daffa dan melihat raut wajahnya. “Serius?” “Hm.” “Terus?” “Gak ada terus.” Pria itu sudah menuangkan air panas pada gelas kopi. Kepulan asapnya membuat ruangan ini harum. Seperti di rumah sendiri, Kak Daffa bawa kopi dan gitar ke belakang rumah. Apa cowok emang gitu? Diusir cuek aja. Ah, tapi peduli amat apa yang terjadi dengan hidup Kak Daffa. Toh, dia emang sengaja bikin ulah. Lebih baik lanjut nyapu biar cepet rebahan. Baru beres nyapu empat kamar, terdengar Mama masuk rumah sambil berucap salam. “Risa sudah pulang?” “Udah, Ma.” “Kakak kamu sudah pulang juga?” Mam
BAB 6Gara-gara gak bisa nebeng. Aku harus berangkat naik angkot lalu pindah ke busway. Dua kali naik turun busway, barulah sampai halte dekat kampus.Dari sini, jarak masih 200 meter. Itu baru sampai gerbang depannya saja, belum masuk fakultas.Jam delapan lebih sepuluh menit, aku terengah-engah di depan ruang berpintu kaca buram. Mengatur napas sebelum masuk kelas.Gara-gara Kak Daffa kurang asem, aku harus lari-larian begini.Aku hati-hati membuka pintu. “Permisi, Prof.”Lelaki beruban yang sebagian rambutnya sudah tak tumbuh itu menurunkan kaca mata. Dia sedang duduk di depan kelas. Melihat laptopnya dengan jarak begitu dekat. Sepertinya perkuliahan baru saja dimulai.“Ka ... Karisa?”“Klarisa, Prof.”Prof Hendo melirik jam. “Anak sekarang, diberi toleransi sepuluh menit harus dimanfaatkan. Kau pikir itu diskon?” Pria itu kembali pada laptopnya.Aku menghela napas lalu masuk dan duduk di kursi paling belakang.Baru menghela napas panjang tiga kali, seseorang menyodorkan minum.Aku
BAB 7Rabu pagi. Aku sudah melihat pemandangan tak mengenakkan. Rencana meeting hari ini harusnya jam sepuluh, tapi Natasya dan Mita sudah datang dari jam delapan.Lihatlah! Mita sibuk curi perhatian sama Mama. Dia bantuin buat kue segala. Kalau Natasya sibuk deketin Kak Mandala. Mereka lagi nyanyi-nyanyi berdua di belakang.Kesel kalau lihat Kak Mandala didekati cewek-cewek. Ini bukan hanya berlaku sekarang, tapi dari dulu. Semua teman yang dekat denganku bukan semata-mata ingin berteman, tapi ingin kenal sama kakakku.Heran. Kenapa Kak Mandala laku banget, tapi aku enggak. Padahal kan pengin dikejar-kejar cowok juga.Pesona Kak Mandala bukan hanya terlihat di mata teman-teman saja, tapi di mata keluarga juga. Setiap ada perkumpulan keluarga yang jadi perhatian ya Kak Mandala. Dia ditanya ini itu, kalau aku dicuekin. Enggak tahu kenapa. Perasaan aku gak jelek-jelek amat.Jam sepuluh, suasana mulai baik. Andre datang. Kami pun bisa serius mendiskusikan projek, tapi itu hanya berlaku s
BAB 8Saat tersadar, aku sedang berbaring di sofa hitam. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil mencoba duduk.Aku berada di ruang luas berdinding granit putih. Di belakang tempatku duduk ada jendela lebar tertutup tirai tipis. Sedikit sekali furnitur di ruang ini. Hanya ada lemari panjang menghiasi sisi kanan, tingginya tak lebih dari satu meter, bunga dan beberapa guci kecil menghiasi bagian atasnya. Empat sofa membentuk huruf U. Lampu kristal menggantung di tengahnya. Harum pewangi ruangan menyegarkan.Dua laki-laki bertubuh besar berdiri membelakangi. Mereka bersiaga di dekat pintu. Pakaiannya hitam-hitam, serupa bodyguard di film-film.Ah, baru ingat. Tadi sepertinya aku diculik. Tapi siapa yang melakukan ini? “Hai, kalian! Tidak salah membawaku ke tempat ini.” Aku coba mengorek informasi.Sekilas tadi berpikir, jika aku diculik mafia perdagangan manusia. Biasanya disekap di gudang-gudang, tapi ini bukan gudang, ini ruangan mewah.“Diam!” Suara bariton itu dingin. Dia hanya
BAB 9Malam yang gerah. Kipas angin berputar ke kanan dan kiri. Mama sedang membaca di ruang tamu. Kak Mandala terdengar memainkan piano di kamarnya. Tak perlu heran jika setiap waktu kakakku itu bermain musik. Selain hobi, dia juga bekerja sebagai sound effect di perusahaan media. Sering kali dia mengarang lagu untuk iklan, berita, atau yang lainnya.Aku mendekati Mama. Jarang-jarang beliau santai begini, biasanya kalau sedang ada pesanan kue, sampai malam menghabiskan waktu di dapur.“Ma, tadi aku ketemu sama papinya Kak Daffa.”“Kok, bisa ketemu. Ketemu di mana?”“Di rumahnya, tadi pulang sama Kak Daffa, mampir dulu ke rumahnya.” Aku mengarang cerita. Gak mungkin jujur diculik karena pura-pura hamil.“Dia bilang apa?” Mama masih fokus sama bukunya.”“Dia bahas papa, katanya papa orang yang jujur dan bijak.”Mama melepas kacamata lalu melihat bola lampu. Wanita yang tubuhnya seukuran denganku ini seperti sedang menerawang jauh.“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggal