Langit yang indah melingkupi panti asuhan ketika Kaisar tiba di sana. Kepala Pengurus Panti, seorang pria tua dengan rambut putih melingkar di kepalanya, terkejut melihat kehadiran Kaisar. Mata tua itu memandang dengan keraguan dan ketidakpercayaan. "Ka…Kaisar?" gumam Kepala Pengurus Panti dengan suara gemetar, seolah-olah tidak percaya dengan mata dan telinganya. “Tidak mungkin!” Kaisar tersenyum lembut, mencoba meredakan keraguan yang membayangi wajah pria tua itu. "Ya, aku Kaisar. Aku datang ke sini untuk alasan yang mungkin sulit dipercaya, tapi aku butuh bantuanmu." Kepala Pengurus Panti masih tampak ragu. "Tapi, Kaisar, aku tahu Kaisar sudah mati. Itu adalah berita yang telah tersebar di seluruh negeri." Kaisar mengangguk paham, kemudian menjelaskan dengan penuh kesabaran, "Aku memahami kebingunganmu. Yang mati bukan aku, tapi saudara kembarku di negara Taruma. Musuhku, mereka salah sasaran. Mereka membunuh saudaraku yang tak bersalah." Wajah Kepala Pengurus Panti perlahan b
Terik matahari masih menyelimuti istana Menteri Pertahanan dengan kegelapan yang misterius. Dua penjaga yang berdiri tegak di depan pintu gerbang tidak percaya pada pandangan mereka. Lelaki di hadapan mereka memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan Kaisar yang baru saja dimakamkan. Kaisar sekarang berada di ambang pintu gerbang, berdiri dengan penuh kepercayaan, meskipun dua penjaga itu menatapnya dengan rasa skeptis.“Saya Kaisar,” ucap Kaisar sekali lagi."Kaisar telah mati! Kami baru saja menguburnya," ujar salah satu penjaga dengan nada ketidakpercayaan.Kaisar tersenyum, mencoba meyakinkan mereka. "Saya tahu ini sulit dipercaya, tapi saya adalah Kaisar yang sebenarnya. Ada hal-hal yang harus saya jelaskan kepada Menteri Pertahanan dan saya tidak bisa menjelaskan pada kalian. Jadi tolong izinkan saya masuk untuk menemui Pak Menteri."Namun, dua penjaga tetap tidak percaya. Mereka meminta Kaisar menunjukkan kartu identitasnya sebagai bukti. Kaisar meraba saku seragamnya dan meng
Kaisar merasa napasnya terasa sesak ketika pintu ruangan Menteri Pertahanan tertutup rapat. Tentara yang mengepungnya masih menahan napas, menatap Kaisar dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Menteri Pertahanan, duduk di hadapannya, tampak seperti sosok yang memiliki kendali penuh atas situasi ini. Suasana tegang mewarnai ruangan, hanya bisikan angin luar yang terdengar melalui celah pintu yang tertutup.Menteri Pertahanan menatap Kaisar dengan tatapan tajam, dan akhirnya, dia memberi perintah pada para tentara di sekelilingnya untuk menurunkan senjata. Suasana tegang kian mereda, tetapi raut wajah tentara masih penuh kecurigaan. Menteri Pertahanan memerintahkan mereka untuk meninggalkan ruangan, satu persatu mereka melangkah keluar dengan ragu.Ketika ruangan akhirnya hanya diisi oleh Kaisar, Menteri Pertahanan, dan penjaga pintu yang setia, Menteri Pertahanan mengangguk pada penjaga untuk menutup pintu dari luar. Sebuah langkah strategis untuk menghindari kemungkinan gangguan dar
Di dalam ruangan itu, Kaisar masih dikelilingi oleh pasukan bersenjata. Dengan kedua tangannya yang diangkat tinggi, ia berdiri di hadapan Menteri Pertahanan yang masih memegang erat pistolnya. Wajahnya yang gagah berani kini dipenuhi kebingungan dan kecemasan."Saya Kaisar, Pak Menteri. Saya bukanlah seorang pengacau," ucap Kaisar dengan suara yang berusaha tetap tegar.Menteri Pertahanan menatap Kaisar dengan pandangan tajam, tidak terpengaruh oleh kata-kata sang Kaisar. "Anda memiliki bukti apa yang menyatakan bahwa Anda benar-benar Kaisar? Bagaimana saya bisa yakin bahwa Anda tidak sekadar seorang peniru yang berbahaya?"Dalam usahanya untuk membersihkan namanya, Kaisar memandang Pengurus Panti yang hadir di sana. "Beritahu dia, Pak! Katakan padanya bahwa saya adalah Kaisar, dan yang mati itu adalah saudara kembarku, Reno!"Pengurus Panti, yang selama ini selalu percaya padanya, malah terdiam. Ekspresinya bingung, seolah terjebak dalam pertarungan antara kepercayaan dan keraguan.
Menteri Pertahanan sedang sibuk di ruang kerjanya ketika teleponnya berdering dengan keras. Dengan cepat, ia mengangkat telepon dan mendengar laporan dari salah satu Sang Letnan."Pak, tahanan nomor 347 melarikan diri!" ujar salah satu Sang Letnan yang bertanggung jawab membawa Kaisar ke tahanan militer dengan nada gugup.Menteri Pertahanan, yang tengah mengecek berkas-berkas penting di mejanya, menoleh dengan tatapan kaget. "Apa? Bagaimana bisa ini terjadi? Di mana lokasinya sekarang?"Sang Letnan itu memberikan informasi terkini tentang lokasi tahanan yang kabur. "Dia terakhir terlihat di wilayah hutan belantara di sebelah barat, Pak."Menteri Pertahanan mengangguk, "Bersiaplah untuk mengirimkan pasukan segera. Saya ingin kita menemukan dia sebelum masalah ini semakin besar."“Baik, Pak!" jawab Sang Letnan dengan hormat sebelum menutup panggilan.Setelah sambungan telepon berakhir, Menteri Pertahanan mengambil langkah cepat menuju peta strategis yang terpajang di dinding ruangannya.
Perempuan tua itu masih duduk di ruang tamu yang sederhana, menatap Kaisar dengan tatapan tajam. Kaisar yang duduk di seberangnya merasa tegang. Perempuan tua akhirnya memecah keheningan."Kenapa istrimu tidak mengangkat juga?" tanyanya dengan nada prihatin.Kaisar menggelengkan kepalanya. "Saya sudah mengirim pesan, memintanya untuk menelepon ke nomor ini jika dia sudah bangun.""Tidak apa-apa, coba miscall lagi," usul perempuan tua sambil tersenyum.Kaisar mengikuti saran itu dan memencet tombol untuk menelepon Elena. Namun, telepon itu tetap tak diangkat. Kaisar menjelaskan, "Dia suka membuat handphonenya silent saat tidur."Perempuan tua tersenyum penuh pengertian. "Sabar, tunggu saja."Kaisar mengangguk, mencoba menenangkan diri. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya."Kalau boleh tahu, mengapa ibu tinggal sendirian?" tanya Kaisar, mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran tentang Elena.Perempuan tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Doroti, menatap ke luar jend
Elena menatap layar ponselnya, ragu-ragu antara memilih untuk menghubungi nomor tidak dikenal atau melupakan sepenuhnya. Keputusan ini menjadi lebih sulit ketika ponselnya bergetar lagi, kali ini dengan panggilan dari Damian."Hallo?" jawab Elena dengan suara yang masih dipenuhi keraguan.Damian dari sisi lain meneruskan percakapan, "Elena, mana nomor tidak dikenal itu? Apa sudah kamu kirimkan atau belum?"Elena menyadari bahwa dia lupa untuk memberikan informasi tersebut. "Oh, maafkan aku, Damian. Aku akan segera mengirimkannya. Sedang ada sesuatu yang penting, tapi kita bisa bicara nanti, oke?"Damian mengiyakan dan mengakhiri panggilannya. Elena, sambil memegang ponselnya, berpikir keras apakah sebaiknya dia memberikan nomor tersebut atau tidak. Namun, sebelum dia bisa mengambil keputusan, ponselnya berdering kembali, kali ini nomor tak dikenal itu lagi yang menghubunginya.Tanpa ragu, Elena segera mengangkat teleponnya, "Halo, siapa ini?"Suara di ujung telepon tampaknya bergetar
Elena melangkah masuk ke kamarnya, suasana di kastil terasa semakin tegang. Dia merasa terjebak di dalam ruangan mewah yang seharusnya memberikan kenyamanan, namun sekarang menjadi penjara bagi dirinya. Hatinya gelisah ketika ia menyadari bahwa paman Lionel telah menyewa seorang bodyguard untuk menjaganya.Dengan gemetar, Elena mengambil ponselnya dan mencari nomor Kaisar. Setelah menekan beberapa tombol, suara Kaisar terdengar di seberang sana."Elena, kau sudah berangkat?" tanya Kaisar dengan cemas.Elena menjelaskan bahwa dia tidak dapat keluar dari kastil karena paman Lionel telah mengambil langkah-langkah ekstra untuk menjaganya. Pamannya tersebut sepertinya sangat tidak ingin Elena meninggalkan kastil itu.Kaisar merespon dengan tenang, "Jangan khawatir, Elena. Aku akan mencari cara untuk membantumu keluar dari situ. Kamu hanya perlu menjaga dirimu sendiri sebaik mungkin."Elena menghela nafas lega mendengar suara Kaisar yang penuh keyakinan. "Aku akan berusaha, Kaisar. Aku hany