( PoV Albert )"Nama kamu siapa?" Aku duduk di depan televisi bersama gadis kecil yang baru saja aku temui tadi. Dia kini berganti baju, menggunakan pakaianku. Di hadapan kami ada dua susu coklat hangat dan pisang krispi kesukaanku, yang telah disiapkan oleh Mbak Nur. "Melanie. Panggil aja Amel." Gadis itu menjawab sambil tertunduk. Wajahnya masih sedikit pucat, dan tubuhnya masih sedikit menggigil meskipun sudah mengenakan sweater hangat punyaku. "Aku Albert. Kamu ngapain tadi duduk di depan pintu pagar Oma Ningsih?" Aku mengambil dua gelas susu coklat yang menjadi lebih cepat dingin karena udara ekstrim di luar sana. Lalu ku berikan satu gelas kepadanya. "Oma Ningsih itu Omaku." Dia memegang dan memutar gelas yang ku berikan tadi di tangannya. Mungkin untuk Menghilangkan sisa-sisa kedinginan yang masih dia rasakan. "Oh ya?" Aku begitu senang. Mungkinkah gadis kecil ini akan menjadi sahabatku? Pasalnya, aku juga lumayan dekat dengan Oma Ningsih. Dan, ah ya, aku baru ingat kalau Om
(PoV Albert) "Aku pikir kamu lelaki baik Al. Bahkan kamu tak menyambutku dengan baik setelah aku kembali beberapa waktu lalu." Aku tak tega melihat Amel yang terlihat semakin ingin menangis. Tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku, terasa bergetar. Ah. Mengapa harus seperti ini sih? "Mel, please! Aku semakin merasa buruk kalau kamu kayak gini terus." Aku menunduk. Tak berani menatap ke dalam matanya. Mata yang menyiratkan kalau dia sedang kecewa. Aku merasa kalau aku lelaki pecundang yang telah membuat seorang gadis baik sepertinya menangis. "Oke. Mau aku sebaik apapun, kamu udah nggak peduli lagi kan sama aku? Jadi buat apa aku jadi orang baik." Amel berbalik dan berjalan menjauh. Dan aku tahu apa yang akan dia lakukan dengan berbicara seperti itu. Menyebarkan berita tentang Asmara yang saat ini menjalin hubungan dengan Aksara. "Mel! Jangan lakuin Mel." Aku mengejarnya. Meraih tangannya, menariknya untuk menghentikannya. "Secinta itu kamu sama dia? Kebersamaan kita selama
(PoV Asmara) "Kamu kenapa di sini?" Aksara begitu terkejut melihatku yang datang ke kantornya secara tiba-tiba sepulang aku dari sekolah. Aku sudah tak tahan ingin sekali melabraknya. "Kamu brengsek ya. Bisa-bisanya kamu beneran macarin guru baru aku itu? Gila ya!" Aku mendorong tubuh tegapnya yang tak bergeming meskipun aku sudah menggunakan tenaga dalamku dan berharap dia jatuh tersungkur hingga babak belur. "Memangnya kenapa? Wanita secantik itu mana mungkin aku sia-siain sih?" Aksara mendekat ke arahku. Dia membelai wajahku dengan begitu lembut. Belaian yang beberapa hari terakhir ini menghilang dari kehidupanku. "Amanda ngelabrak dia di sekolah tadi." Ku singkirkan tangannya dengan kasar. Aku benar-benar sedang marah saat ini. "Hah?" Aksara terkejut. Melihat reaksinya, aku bisa menebak, dia belum tahu kalau Amanda baru saja membuat tontonan di sekolah tadi siang. "Bu Andira terancam di pecat dari sekolah gara-gara kelakuan kamu! Dan aku nggak mau ya kalau Bu Andira di pecat.
( PoV Asmara ) "Nggak apa-apa kok, Sayang. Ini kan memang resikonya jika aku berpacaran dengan lelaki beristri seperti kamu." Suara manja Bu Andira begitu jelas aku dengar dari luar pintu ruang kerja Aksara. Ya. Aku urungkan niatku untuk pulang dan memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka.Gila memang. Tapi aku memang ingin tahu apa yang akan Bu Andira lakukan di Rumah Produksi Aksara ini. Beliau bukan artis. Bukan juga produser, ataupun sutradara. Tapi kenapa beliau berani-beraninya datang ke tempat ini? Kenapa tak ke tempat yang rahasia saja jika ingin bermesraan dengan Aksara? Kenapa harus kantor ini? "Tenang aja. Aku akan ceraiin Amanda segera dan menikah dengan kamu." Hah? Baru beberapa hari mereka bersama, Aksara sudah bersumpah untuk menceraikan Amanda dan menikahi Bu Andira? Pelet apa sih yang Bu Andira pakai, sehingga Aksara begitu mabuk kepayang di buatnya. Aku yang masih gadis dan artis terkenal saja tak pernah di janjikannya seperti itu. Kenapa dengan Bu Andira berbe
( PoV Asmara ) Aku pulang ke rumah dengan deraian air mata. Aku tak menyangka dengan apa yang pernah terjadi antara Aksara dan Bu Andira. Aksara yang berjanji akan menceraikan Amanda, pasti akan dengan siap meninggalkanku jika Bu Andira memintanya. Aku bahkan tak sanggup membayangkannya. Ku benamkan wajahku ke bantal yang saat ini aku peluk. Aku menangis sejadinya. Tak kuasa menahan sakit hati yang aku rasakan. Kenanga yang aku lalui bersama Aksara, satu per satu berputar di kepalaku. Lima tahun yang lalu, ketika usiaku masih dua belas tahun, di sore hari yang cerah, aku melihat ada rombongan mobil mewah yang berhenti di depan panti asuhan yang aku tinggali. Aku dan beberapa temanku sedang bermain boneka di teras panti. Aku hanya mengamati rombongan itu dari kejauhan, yang saat itu aku pikir adalah donatur sekaligus pemilik panti asuhan kami yang memang sering kali hadir dan membagikan kebahagiaan kepada kami. Hingga akhirnya Bu Panti berteriak dan meminta kami untuk berkumpul. "A
"Aku mungkin nggak akan ke rumah kamu falam waktu yang lama deh, Sayang." Aksara mengemas barang-barangnya. Aku melihat wajahnya yang jauh lebih sumringah di banding hari-hari biasanya yang selalu mengeluh karena tak pernah cocok dengan Amanda. "Oke." Aku duduk di meja makan. Mengupas buah apel yang ke sepuluh. Aku tak berniat memakannya. Aku hanya tak ingin melihatnya berkemas. Ingin aku menangis sekuatnya, dan menghajarnya. Namun rasanya aku tak kuasa. "Padat banget memang jadwal aku akhir-akhir ini. Huh. Aku juga sampai jarang pulang ke rumah." Ku lirik Aksara yang tampak serius dengan alasannya. Dia seakan benar-benar di buat lelah oleh pekerjaannya. Di letakkan kedua tangannya di pinggangnya sambil menatapku sambil menarik napas panjang. Sungguh benar-benar seorang produser film yang menakjubkan. Dia mungkin banyak belajar dari para aktor yang dia kenal selama ini, bagaimana caranya untuk beracting. "Aku pulang ke Tante Astia ya?" Aku mencoba memancingnya. Pasalnya, sekali lagi
"Yang sabar ya Ra." Albert mendekapku erat. Dia langsung saja ke rumahku setelah tahu apa yang terjadi. Amanda melabrak Bu Andira. Awalnya dia hanya ingin melampiaskan kelegaannya karena bukan aku yang menjadi target kemarahan Amanda. Namun ternyata dia datang secara kebetulan untuk melihatku merasakan patah hati. "Aku bisa apa selain sabar Al." Aku memeluknya. Meluapkan segala apa yang aku rasa di dalam pelukannya. Membagi semua rasa sesakku kepadanya. Berharap ini mampu memberiku ruang yang luas agar tak ada lagi sesak yang ku rasakan. "Pulang ke rumah yuk." Albert membelai rambutku. Aku bisa merasakan kalau dia begitu mencintaiku. Aku bisa merasakan kalau dia begitu ingin menjagaku. Membuat ku merasa aman dan terlindungi. Aku menatap lekat wajah tampanya. Hingga akhirnya aku mengangguk pelan tanda mengiyakan. Memang apa lagi yang akan aku lakukan di rumah ini sendiri? Bermain bersama kenangan yang selama ini ku buat bersama dengan Aksara? Atau menikmati puding jelly yang selama i
"Jangan berharap Aksara akan kembali ke kamu lagi ya." Bu Andira duduk mendekat ke arahku, di sofa ruang tamuku. Albert dan Bik Yuli menunggu di depan rumah. Bu Andira yang meminta, agar mereka tak mendengar apa yang akan kami bicarakan nanti. "Aksara belum bilang apa-apa sama aku. Yah, meskipun semua barang-barangnya yang ada di sini, sudah di bawanya. Tak ada yang tersisa." Ku tatap tajam wanita itu. Dia memang guruku di sekolah. Namun di rumahku, dia tetap hanya sebagai seorang tamu. Dan aku tak suka jika ada tamu yang tak punya sopan santun saat berbicara kepadaku. "Dia sedang mengajukan proses cerai kepada istrinya. Demi aku, dia berani menceraikan Amanda, yang begitu berpengaruh terhadap hidupnya. Apalagi dengan kamu. Anak kecil yang bodoh. Begitu saja percaya kepada seseorang yang udah terkenal playboy." Aku tak menyangka jika Bu Andira sampai hati mengatakan hal itu kepadaku. Meskipun tidak terlalu lama kami kenal, namun selama ini, dia mengajar dengan begitu menyenangkan. Ak