Terdengar pak Satria sedang menarik nafas panjang dan dalam. Membuat Rere jadi salah tingkah, karena merasa telah mengecewakan ayahnya.
"Kita bicarakan ini nanti, saat kita sudah berkumpul di rumah Om Bagasmu."
Rere mengangguk saat mendengar keputusan yang ayahnya tadi katakan. Jujur ini adalah kali pertamanya menolak keinginan sang ayah, sebelumnya dia selalu menuruti apa yang orang tuanya inginkan.
Selama perjalanan, tak ada lagi pembicaraan mengenai perjodohan, pak Satria yang paham kalau suasana hati putrinya sedang tidak enak, menggoda dengan ujaran- ujaran lucu hingga membuat Rere menyerah, dan akhirnya melupakan sejenak tentang masalahnya tadi.
Mobil berhenti di sebuah rumah yang tak asing bagi Rere, sebuah rumah yang dulu kerap ia datangi bersama Alman saat awal masuk kerja.
Beriringan, pak Satria dan Rere masuk ke dalam rumah yang tampaknya sengaja tak menutup pintu.
Mendengar apa yang pak Bagas dan pak Satria rundingkan, sontak mata Rere melotot ke arah Dewa yang sepertinya sengaja tak mengindahkan isyarat darinya, dengan membuang muka saat tahu arah mata Rere akan berpaling ke dirinya."Sudah, jangan membantah lagi, atau kau mau pernikahan ini dilaksanakan seminggu lagi?" Pak Satria kembali melarang, saat kebetulan menolehkan lehernya ke arah Rere dan melihat mulut putrinya itu sudah terbuka. Namun, belum bersuara."Ayaaaah ...." desis Rere jengah, karena sempat matanya melirik Dewa yang sedang tersenyum penuh kemenangan."Sudahlah keputusan kami sudah bulat, kalian hanya tinggal menjalani saja," ujar Ayah lagi, yang mendapat persetujuan dari pak Bagas dan Bu Zeza serta ibu."Ibu sudah siap, kan?" Tanya ayah, mata mereka beradu, membuat iri Rere yang melihatnya."Ibu, mau kemana?" tanya Rere, yang mengalihkan rasanya sejenak."Ayah dan ibu harus pulang hari ini, ada Mbak Santimu dan Wildan
Rere memilih membisu, saat kedua orang tuanya pamit pada pak Bagas, dan ibu Zeza. Hingga akhirnya kini berempat di dalam mobil, mengantarkan kedua orang tuanya ke bandara.Sesekali saja dia menjawab apa yang bapak dan ibunya tanyakan, seketika itu juga dia berubah menjadi sosok yang pendiam. Rere lebih memilih membisu dari pada yang keluar dari mulutnya nanti adalah hal-hal yang bakal nyakitin hati orang lain."Bu, Rere nggak mau nikah sama Dewa." Akhirnya dia bisa mengutarakan isi hatinya pada ibu, saat keduanya berjalan bersisian di belakang ayah yang melangkah sejajar bersama Dewa. Dengan jarak lumayan jauh, sekitar satu setengah meter."Kenapa ...? Kamu tidak percaya dengan pilihan ayah dan ibu?" Tiba-tiba ibu menghentikan langkahnya, wajah yang biasanya menentramkan hati kini berubah, tampak berbeda warna, menghadap ke arah Rere tepat memandang matanyanya lekat."Bukan tidak percaya, Bu. Tapi Dewa--" ragu-ragu terdengar dari ucapan Rere yang menggantung,
"Iya, mbak. Nama itu yang tadi Udin sebut.""Ya, Allah ...!" Rere kembali memutar badannya dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga, dan langsung masuk ke dalam kamar dengan mengunci pintunya."Sepertinya Dewa melakukan apa yang dia ucapkan, tapi kenapa? Bukannya kemarin dia benci banget padaku? Kenapa sekarang jadi berubah dua ribu derajat?" desis Rere, tangannya meletakkan tas di atas nakas dekat ranjangnya, sambil terus melangkah mendekat, kemudian naik ranjangnya tanpa lagi bertukar baju."Rencana apa yang sedang ia susun dalam kepalanya yang mesum itu?" Lagi-lagi Rere bermonolog sendiri. Mungkin bila ada yang melihatnya saat ini, orang itu pasti akan mengira kalau dia lagi kena gangguan jiwa.Rere terbangun saat ponselnya berbunyi, satu nada yang biasanya tidak ia senangi, entah kenapa saat ini malah membuatnya merasa mendapat angin segar walau sesaat.[Hallo, assalamualaikum, Man.] Sapa Rere yang langsung menarik tanda gagang ponsel berwarn
[Tidurlaaah ... Sudah malam, mungkin hatimu masih lelah, ceritakan besok, aku menunggu!]Alman mematikan ponselnya secara sepihak, saat mulut Rere sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu, bunyi tuuut sudah menyambut lebih dahulu."Asem ...." Ponsel Rere lempar sambil mendengus, kemudian membenamkan wajahnya pada bantal empuk di hadapannya, hingga akhirnya terlelap.****Suara tertawa, bercampur dengan suara TV membuat Rere terbangun, dan langsung meraba ke arah nakas tempat lampu tidurnya duduk manis.Seketika lampu berwarna biru sendu menyinari kamarnya, jam di tembok menunjukkan angka sembilan, sekitar dua jam-an rupanya dia terlelap.Dengan langkah malas, Rere bangkit dari tidurnya, kemudian melangkah ke lemari, dan kembali melangkah menuju kemar mandi dengan meletakkan salinan baju di lengan tangan kirinya. "Kalian belum tidur?" tanya Rere yang sudah kelihatan lebih segar setelah mandi tadi."Belum, Mbak. Mak m
Rere makan mie yang tadi sudah ia campur dengan irisan lombok kecil, lahap sekali, tak ada tanda-tanda di wajahnya yang menunjukkan kepedasan.Hingga membuat Mak yang memperhatikannya hanya bisa menggeleng- geleng kepala."Nggak pedes, Mbak?" tanya Nur yang sesekali menatap Rere makan."Nggak, nggak ada rasa pedes sama sekali, Nur. Tapi ini jangan kamu contoh, ya." jawab Rere dengan santai, tangannya kembali memasukkan sesendok mie ke dalam mulut. Membuat Nur dan Mak kembali mengambil nafas panjang.Nur dan Mak yang selesai lebih dulu makanannya, sengaja tak beranjak dari kursinya, menunggu Rere menyelesaikan makannya."Mak dan Nur kan sudah selesai, nunggu apa?" tanya Rere yang baru saja memasukkan suapan mie terakhirnya ke dalam mulut."Nunggu, Mbak ...." jawab Nur datar dan santai."Nunggu aku? Kenapa?" tanya Rere kembali, dengan tangan yang baru saja meletakkan gelas setelah sebelumnya meminum habis isi gelas itu."Nggak pa-p
"Emangnya kamu mau pacar yang seperti apa, Dew?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan seragam dengan jilbab menutupi kepala, kepada perempuan cantik yang sedang duduk di depannya."Mmm ... kok aku? Aku kan belum pernah pacaran, Em. Kamu tanya Yuni sajalah." Jawab Rere, menolak, tangannya sibuk mengaduk es batu dalam gelasnya hingga menimbulkan bunyi berisik."Ema nanya seperti itu karena sampai saat ini, kamu belum juga pacaran, bukan ke orang yang sudah pernah pacaran, jelek!" Untung saja siang itu kantin sekolah tidak begitu ramai, tidak seperti biasanya, jadi ketiganya bisa leluasa bercanda.Ketiganya perempuan berseragam itu kemudian tertawa bersama, begitu bahagia. Persahabatan mereka kelihatan tulus, tidak ada rasa marah saat satu dengan yang lainnya saling mengejek."Ayo jawab, Dew!" pinta perempuan yang tadi Rere panggil dengan sebutan Yuni. Perempuan berdarah cina, yang memilih hijrah, berkerudung."Aku nggak punya batasan harus sepert
"Boleh bicara sebentar?" Tanya Yuni pada lelaki yang saat ini sedang berjalan di depannya, menuju area parkir. Sengaja ia menyuruh Ema untuk pulang berdua saja bersama Rere, karena ada yang harus ia selesaikan."Ada apa?" tanya pria yang kini berhenti melangkah, malah sudah membalikkan badannya ke arah Yuni, setelah tadi sempat dicolek sedikit bahunya."Katakan! Alasan apa yang membuatmu mencium sahabatku, tadi?" pinta Yuni dengan sedikit mengangkat wajahnya ke arah lelaki tampan yang terkenal di SMU itu."Jangan sok pahlawan deh, atau ... mungkin kamu mau aku cium juga?" tanya pria itu yang melangkah semakin mendekat ke arah Yuni.Seketika itu juga Yuni mendorong badan lelaki yang besarnya dua kali dari badannya itu untuk menjauh darinya."Jangan bersikap berlebihan!" ucap Yuni, badannya menunduk dengan muka tetap menghadap ke arah si pria, dengan menggunakan tangan kiri, resleting rok yang tersembunyi di bawah ditariknya ke a
Bunyi tamparan terdengar keras hingga membuat Yuni kaget dan membesarkan kedua matanya.Bukan Yuni saja rupanya yang kaget, Dewa pun melakukan hal yang sama seperti yang sedang Yuni lakukan. Dengan tangan kanan meraba pipinya yang panas, matanya melotot ke arah Alman yang kini sudah berada di depannya.Tampak sekali betapa marahnya Alman, Dewa tak pernah sekali pun melihat Alman menampakkan wajah kejam seperti saat ini."Kita memang brengsek, tapi tidak merusak perempuan, apa yang ada dalam pikiranmu saat itu?" kata Alman, pelan tapi sangat tegas terdengar."Man, a-aku ....""Pulang Yun, tak usah kamu yang mengurus ini, aku yang akan membawanya meminta maaf pada temanmu, kirimkan saja alamatnya padaku.""Makasih, kak Alman." Ujar Yuni, tangannya terulur ke tasnya yang tadi ia letakkan begitu saja di tanah, kemudian bergegas berlalu setelah mengubah yang dipakainya kembali menjadi rok."Man ...a-a--."Alman tak m