"Apa kau yang jadi perawatku saat ini?"
Bulu kuduk Alessa meremang kemudian dirinya jadi membatu kala suara Pria itu terdengar berat dan dingin. Alessa tak langsung menjawab melainkan tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Benar, Tuan," jawab Alessa. Dia tak akan pernah lupa wajah, suara bahkan kedua mata biru itu. Alessa tak akan pernah lupa akan Pria yang merenggut kesuciannya dengan uang.
Kedua mata pria itu mengekori pergerakan tubuh Alessa. Dia pendiam bahkan tidak berkata apapun lagi namun tatapannya yang dingin dan menusuk itu seolah tengah menguliti Alessa. Dia menatap kedua tangan kecil Alessa yang sedang membuka balutan perban. Alessa membersihkannya lengan kekarnya dengan kapas dan mengganti dengan yang baru.
Alessa yang tertunduk menatap lengan kekarnya membuat Pria itu teringat dengan kali pertama pertemuan mereka. Alessa masih sama gugupnya meski kali ini Ia bekerja dengan telaten bukan sebagai wanita panggilan semalam saja.
"Kenapa seperti seolah aku akan melahapmu?" tanya Pria itu yang akhirnya bersuara.
Alessa malah terkejut dengan pertanyaan Pria itu. Dia segera menggeleng kemudian merekatkan perban bidai lapisan kedua. Wajah Alessa memerah semu sembari terus memegang lengan kekar Pria itu. "T-tolong angkat sedikit lenganmu Tuan," pinta Alessa karena tak diragukan, Ia keberatan menahan bobot sebelah tangannya saja.
Pria itu mengangkat lengan kanannya. Ia terus memperhatikan Alessa yang cukup dekat dengan sorot matanya saat ini. Alessa juga bergetar sama seperti seekor kelinci yang ketakutan dihadapan predator singa sepertinya.
Alessa bisa merasakan deruan napas Pria itu mengenai daun telinganya. Alessa masih saja pura-pura tidak mengenalnya. Alessa bahkan menghindari tatapan dari kedua mata birunya itu. Alessa berusaha tenang sembari mengabaikan tatapannya yang terus mengekori pergerakan Alessa. Seluruh atensi Pria itu padanya memang menganggu tapi Alessa mengabaikannya.
"Baiklah, kita sudah mengganti perbannya nanti Dokter akan datang untuk visit melihat perkembangan Anda, apakah Tuan memiliki keluhan lain?" tanya Alessa dengan suara yang mengalun lembut.
"Siapa namamu?" Pria itu bertanya dengan suara beratnya. Nada bicaranya tegas bahkan tidak terdengar bersahabat. Ia hanya setengah duduk di ranjang kasur mahal di ruangan VVIP khusus yang fantastis ini.
"Kalau namaku ... namaku." Alessa menahan ucapannya. Ia takut jika sampai Pria itu tahu jati dirinya yang membuatnya tidak leluasa untuk menjalankan rencananya.
Suara pintu ruangan terbuka menampaki sosok Wanita yang menerobos masuk. "Oh, anakku Jo, kamu tidak apa-apa? kenapa tidak beritahu Ibu?" Wanita itu bertanya sembari mendekati ranjang kasur Pria itu.
Suara ini, tidak salah lagi suara Wanita itu, batin Alessa. Ia langsung memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan. "Baiklah, saya permisi Tuan," ucap Alessa buru-buru beranjak meninggalkan ruangan perawatan ini. Semua itu agar Alessa tidak harus berpas-pasan wajah dengan Wanita yang Ia benci.
Pria bermata biru itu terus mengekori langkah Alessa sampai Ia keluar dari ruang perawatannya. Wajah, suara dan sentuhan kedua tangan Alessa yang gemetar. Pria itu mengusak wajah rupawannya dengan kasar. Tak salah lagi, dia orangnya, batinnya.
"Jovian, kamu kenapa?" tanya Wanita paruh baya itu.
Pria itu segera menggeleng. "Aku baik-baik saja, tidak perlu Ibu cemaskan karena cuman cedera akibat pecahan kaca mobil," jawab Jovian. Pria pemilik sepasang mata biru menawan yang juga memiliki paras yang rupawan. Pria yang jadi incaran Alessa karena menghabiskan malam keterpaksaan bersamanya. Jovian Arsenio Heide, pewaris tunggal kaya raya memiliki banyak kekuasaan.
"Kamu itu anak kesayangan Ibu, lain kali lebih hati-hati ya." Julia berucap sembari mengusap puncak kepala Jovian. "Anak Ibu yang sempurna, Jovian," ucap Julia tersenyum penuh arti.
"Hentikan itu, aku tahu apa yang harus aku lakukan." Jovian malah menepis tangan ibunya sendiri. Dia beranjak berdiri dengan tubuh kekar seperti itu seolah tidak terjadi cedera apapun. "Aku akan keluar dari rumah sakit, secepatnya jadi pergilah dari ruangan ini," perintah Jovian dengan kedua tatapan matanya yang dingin.
"Jo, Ibu hanya mau memastikan keadaanmu," sahut Julia.
"Sekarang tidak perlu." Jovian berucap sambil menatap jendela kaca yang ada di depan dirinya. Ia sama sekali tak mau memperpanjang perbincangan dengan ibunya.
"Baiklah ... Ibu pergi dulu," ucap Julia sembari beranjak pergi.
Jovian seorang diri hanya diam menatap cahaya-cahaya perlip dari jejeran gedung-gedung pencakar langit di depannya. Rumah Sakit yang Ia bangun dengan jerit payahnya sendiri. Jovian memang terlahir dengan hidup yang mudah dan serba lebih dari cukup. Ia terbelenggu oleh ibunya sendiri tapi ketika Ia melamun sendiri. Jovian teringat dengan kedua mata cokelat karamel madu milik Alessa.
"Pasti kau orangnya, orang yang sama di malam itu juga," ucap Jovian yang sama sekali tak bisa melupakan Alessa usai menikmati satu malam bersamanya.
Di sisi yang berbeda seorang Wanita muda berjalan dengan gelisah. Itu Alessa yang sedang berjalan dengan cepat di lorong rumah sakit. Ia merasakan sesak pada dadanya belum lagi kedua kakinya yang terasa nyeri. Alessa buru-buru masuk ke toilet wanita kemudian memutar keran westafel paling kencang. Aliran air meredam suara isaknya saat itu. Alessa tidak akan pernah lupa akan malam itu.
"Ya Tuhan, hiks rasa sakitnya masih terasa," gumam Alessa sembari terisak.
Alessa tak menyangka di hari pertamanya bekerja justru harus bertemu dengan Pria itu. Pertemuan yang lebih cepat dari yang Alessa duga. Alessa membasuh wajahnya dengan guyuran air dari keran kemudian menatap wajah sembabnya dari cermin kaca.
"Tidak apa-apa, tenanglah, tidak apa-apa," ucap Alessa menarik nafas dan membuangnya dengan perlahan. Alessa berusaha membuat dirinya jadi tenang.
Alessa baru saja keluar dari toilet. Ia tak sengaja berpas-pasan dengan Dokter Mina. Wanita berkacamata itu langsung merangkul Alessa. Dia tersenyum pada Alessa. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Dokter Mina dengan santai.
"Baik, semuanya lancar hanya saja ...," ucapan Alessa tertahan. Ia mengedarkan pandangannya seolah ragu untuk mengatakannya pada Dokter Mina.
"Kenapa? katakan saja," sahut Dokter Mina yang penasaran.
"Aku bertemu dengan Pria itu di ruang VVIP," lirih Alessa.
Dokter Mina membelalakkan kedua matanya. Ia langsung mengerti arah pembicaraan Alessa sementara penghuni ruangan VVIP satu-satunya saat ini hanyalah orang yang kebetulan Dokter Mina kenal. "Apakah dia Pria bermata biru dan berambut pirang?" tanya Dokter Mina hendak memastikan.
Alessa mengangguk lesu. "Iya, benar." Alessa menjawab pertanyaan Dokter Mina. Nyali yang Ia kumpulkan sejak lama jadi menciut ketika bertemu dengan Pria itu. Alessa harus memberi perhitungan tapi baru bertemu di hari pertama bekerja saja Alessa mulai goyah lagi.
"Kamu yakin itu orangnya?" tanya Dokter Mina.
"Iya, aku yakin sekali Dok," sahut Alessa dengan yakin.
"Kalau begitu ... tidak salah lagi, orang yang kau maksud itu Jovian Arsenio Heide kebetulan dia juga pemilik Rumah Sakit ini."
Alessa baru saja memasak nasi goreng, dia merasa sedikit nasi gorengnya kemudian dirasa kurang cukup jika tak ditaburi oleh bawang goreng. Lantas, dia pun menjinjit untuk menggapai lemari atas yang lumayan tinggi dari tinggi badannya. “Ah~ kenapa tinggi tubuhku ini.” Alessa menggerutu berusaha menggapai lemari atas itu. Sebuah tangan kanan meraih wadah berisi bawang goreng kemudian memberikannya kepada Alessa. “Mama, mau mengambil bawang goreng bukan?” tanya Seorang remaja pria bersurai pirang yang baru berusia lima belas tahun itu tersenyum kepadanya. Putera Jovian Arsenio Heide dan Alessa Camelia Amarei. Si mata Aquamarine, Elio Heide. “Elio, membantu banyak!” Alessa meraih wadah itu dari Elio kemudian mengusap-usap puncak kepalanya, walaupun Elio harus menunduk agar sang Mommy bisa menggapainya. Elio tersenyum dengan lembut, sifatnya yang tenang dan serius menuruni sang ayah. Omong-omong, Elio ini terlahir lahir lima menita setelah saudara kembarnya. “MAMA! Lihat, Ayah membelika
Gugup. Tentu saja, itulah yang dirasakan Mina Harun saat ini. Gaun putih yang dikenakannya itu begitu pas pada tubuh langsingnya, Mina ini masih bersiap-siap di ruang rias, selagi dirias di sampingnya Alessa tersenyum-senyum sendiri.“Kak Mina cantik," puji Alessa sembari tersenyum.Sebaliknya Mina juga mengangumi kecantikannya Alessa. Tak tampak seperti ibu dengan dua anak. “A-ah itu, terima kasih.” Mina berucap sembari mengangguk gugup. Dia bukan seseorang yang pandai menguasai situasi berbeda dengan si mata lelehan madu yang ceria dan lemah lembut.Mina tak lama merasa jika tangannya terasa digenggam. “Tenang saja, Kenzo itu benar-benar mencintaimu juga. Terus ... dia itu pencemburu akut loh~” Gadis itu mengedipkan matanya, dia tersenyum dengan ringan."Aku kadang iri padamu Alessa, dibandingkan aku, kamu lebih hebat bahkan sudah jadi sosok ibu yang baik bahkan aku takut menikah karena aku takut jika aku tak bisa jadi ibu yang baik," ucap Mina gusar.Alessa mengangguk paham, kini
"Baiklah, besok pagi kita jemput Si Kembar ya, karena sebenarnya lusa Mina dan Kenzo akan menikah," ucap Jovian. Malamnya Alessa dan Jovian masih bersantai di hotel. Alessa menatap Jovian yang saat itu sedang berkutat dengan laptopnya. Alessa mendekati suaminya dan memeluk Jovian. Alessa menyandarkan kepalanya pada dada bidang Jovian kemudian berbaring dengan santai di sana.Jovian sama sekali tak terganggu dengan kehadiran Alessa yang lebih manja itu. Jovian melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Ia melirik Alessa kemudian mematikan laptopnya. "Kamu sedang mau makan apa?" tanya Jovian."Kakak sungguhan bertanya padaku?" Alessa balik bertanya heran karena suaminya yang super kaku itu bisa bertanya padanya. Alessa tersenyum kecil karena menatap wajah heran Jovian.Alessa tampak menimbang sebentar isi kepalanya. "Aku pengen makan burger, fries dan ayam, apa boleh?" "Ayo, kita pergi cari makanan yang kamu mau," ajak Jovian. Malam itu Alessa dan Jovian sama-sama perg
Alessa tengah duduk di sebuah sofa, dia tampak kesulitan mengikat tali sepatu heels rendah itu. Alessa pun menghela napas dan menyerah, ia memilih bersandar pada sofa yang empuk itu sembaru mengusap-usap perutnya yang bundar."Lelahnya," gumam Alessa.Jovian baru masuk ke dalam ruang tamu, sedang mengancingi ujung lengan kemeja putihnya. Ia tersenyum melihat ibu hamil yang sedang menyerah itu. Jovian menatap kedua sepatu heels Alessa yang sudah dipasang cuman belum diikat. "Kamu padahal bisa memakai sepatu lain, Alessa," ucap Jovian sembari berlutut untuk mengikatkan kedua tali sepatu Alessa. Alessa mengerucutkan bibirnya. Tidak senang dengan ucapan suaminya itu. "Kan aku sedang mau memakai sepatu itu, ish Kak Jovian tahu memberi anak saja," celetuk Alessa sebal. "Baiklah, maaf," sahut Jovian usai mengikat tali sepatunya Alessa kemudian duduk di sebelahnya. Jovian langsung melihat Alessa yang mendekati tubuh kekarnya dan melingkari kedua tangannya di dada Jovian. Alessa kini bersan
"Selamat pagi Alessa, selamat kamu hamil enam minggu," ucap Mina."Kakak bercanda," elak Alessa masih tak menyangka.Mina menggeleng. "Benar Lessa, rahimmu yang terkena luka peluru ternyata belum diangkat namun hanya dijahit tapi tampaknya ada kesalahan saat penyampaian mengenai prosedur ini, tapi beruntungnya rahimmu bertahun-tahun lamanya pulih dan bisa mengandung bayi lagi meski nanti kamu harus operasi caesar agar mengurangi resikonya," ucap Mina menjelaskan. "Ini keajaiban Alessa, selamat untuk kalian berdua," ucap Mina tersenyum. Mina terhanyut menatap Alessa yang menangis dengan pelukan Jovian yang menyambutnya. Ia pun beranjak keluar dari ruangan itu untuk memberi waktu luang bagi Alessa dan Jovian.Mina Harun, dokter berdedikasi tinggi teman dekatnya Jovian dan Eidar sejak remaja. Mina jadi satu-satunya perempuan yang menjaga persahabatan kedua Pria itu. Mina bahkan masih rela membantu urusan Alessa dan Georgina dalam urusan kehamilan. Usai menyelesaikan visite dari ruangan
"Alessa, kaukah itu?"Alessa menoleh mendapati seorang Wanita sedang menggengam tangan mungil gadis cilik yang cantik jelita. Wanita itu menatap Alessa dengan tatapan berkaca-kaca. Ia hendak mendekati Alessa namun mengurungkan niatnya. Alessa tersenyum kecil dan berlari kecil mendatangi Wanita itu. "Apa kabarmu, Gina?" tanya Alessa riang.Georgina tersentak kaget. Ia sangka Alessa akan menolak menyapanya, mengingat dosa dan kesalahannya pada Alessa begitu fatal. Georgina tersenyum kecil kemudian mengangguk. "Aku baik-baik saja, kamu semakin cantik," puji Georgina. "Haha jadi malu dipuji oleh seorang model," kekeh Alessa. Alessa pun melirik pada sosok gadis cilik yag malu-malu menatapnya, Alessa pun menunduk untuk menyetarakan tingginya. Ia pun tersenyum pada Anak Kecil itu. "Kamu mirip seseorang, siapa namamu, Cantik?" tanya Alessa."Emily," gumam Anak itu.Alessa pun tersenyum sembari mengusap puncak kepala Anak itu. "Anakmu dan Kak Eidar ya?" tanya Alessa. Georgina pun mengangguk
“Lessa, apakah kau bahagia bersamaku?”Alessamenoleh, pada pria yang ada disampingnya itu. Mereka baru saja mengantri membeli Poffertjes pada sebuah restoran cepat saji, Alessa masih memengang Poffertjes yang dibungkus kertas cokelat itu. Bahkan dia baru saja mengigit Poffertjes. “Ha?! Kau berbicara apa, kak Jev?”Sebelah alis Alessamenaik.“Tidak, bukan apa-apa.” Pria pirang itu menoleh, dia mengelap ujung bibir Alessa yang terdapat gula halus dari Poffertjes yang tengah dimakannya itu “Mau kemana lagi?”Ujar Jovian dengan lembut.Alessa tampak berpikir sejenak “Aku sukanya pantai sih, tapi kalau mengunjungi pantai saat malam hari rasanya tidak enak. Apa kau memiliki rekomendasi?”“Nonton?”“Tch. Film yang Kak Jo pasti pilih film-filem yang temanya serius.”Jovian terkekeh pelan, dia mengakui hal itu. “Jarang-jarang bisa santai seperti ini tanpa Si Kembar bukan?”Alessa mengangguk saja tanpa menggubris Jovian karena sibuk mengunyah makanan manisnya. Sulit bagi Alessa berpaling dari mak
Alessa termangun, sejak kemarin duduk menemani Aji Santoso yang terbaring tak sadarkan diri. Kedua tangannya yang di perban kini sudah diganti dengan perban yang lebih kecil. Alessa menunggui Aji menemui keajaibannya, meski rasanya percuma karena alat-alat penunjang hidup Pria itu sudah memeluk hidupnya sejak kemarin.Alessa melamun dengan tatapan datar yang sendu, dia tak menangis karena air matanya terasa sudah terkuras habis. Alessa hanya diam duduk di samping Aji Santoso, bapaknya kemudian mengingat momen-momen ketika ia kecil, remaja hingga dewasa. Alessa menghela napas cukup panjang usai mendengar bunyi monitor disampingnya berbunyi setiap detik seiras dengan pernapasannya yang juga harus ditunjang. Alessa tahu hidup bapaknya bisa saja berakhir sebentar atau di waktu yang tidak ia duga-duga jadi Alessa memilih tidak beranjak sama sekali. Alessa menyentuh permukaan punggung tangan bapaknya itu. Tangan yang dulu Pria itu gunakan untuk memukulnya bahkan buah karya tangannya menye
"Tuan, Pak Aji Santoso pingsan dan kini sedang gawat," beritahu Kenzo. Alessa terperanjat kaget begitu juga dengan Jovian. Keduanya buru-buru mendatangi ruang gawat darurat. Alessa tak menyangka bapaknya menderita congestive heart failure. Selama ini yang Alessa tahu bapaknya yang hobi judi dan mabuk-mabukan itu terlepas dari semua penyakit."Pak AJi Santoso menderita gagal jantung, kami berhasil memberi perawatan intensif namun tampaknya membutuhkan perawatan yang maksimal," ucap Dokter.Alessa hanya mengangguk sementara ibunya, Rinka sudah terisak oleh tangisnya. Alessa gantian menatap Jovian kemudian Pria itu mengelus puncak kepalanya. Memberi ketennangan dan kehangatan di sana."Alessa, semuanya akan baik-baik saja," ucap Jovian menenangkan Alessa.Bukan itu yang jadi alasan Alessa terdiam pada perasaannya sendiri, melainkan masa lalu yang terus terbayang-bayang olehnya. Alessa segera menggeleng kemudian membalikkan tubuhnya membiarkan sosok Aji Santoso yang terbaring di atas ran