Beranda / Mafia / Pawang Hati Mafia Kejam / Neraka Untuk Sabe Nyonya Yunanda

Share

Neraka Untuk Sabe Nyonya Yunanda

Penulis: Ryu Lee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-25 11:07:01

Napas Ratih dan Lesa tercekat di tenggorokan.

Pria yang kini telah sah menjadi suami Sabe Andita itu berbalik. Ekspektasi mereka akan sosok tua, botak, buncit, dan menyeramkan hancur lebur dalam sekejap.

Di hadapan mereka berdiri seorang pria yang mungkin baru memasuki usia awal tiga puluhan. Rahangnya tegas, hidungnya mancung sempurna, dan sepasang mata elang yang tajam menatap lurus ke depan. Tubuhnya terbalut setelan jas hitam mahal yang membalut bahu tegap dan postur tingginya dengan sempurna. Dia bukan sekadar tampan, dia memancarkan aura dominasi dan bahaya yang pekat. Reza Yunanda.

Bisikan Lesa dan Ratih yang tadi penuh cemoohan kini lenyap ditelan keterkejutan. Sialnya, hening yang tercipta di ruangan itu membuat bisikan mereka sebelumnya terasa menggema.

Sabe sendiri menahan napas. Ia mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Hatinya berdesir. Ketakutannya tidak berkurang, justru bertambah. Pria ini terlalu sempurna untuk menjadi kejam, dan itu membuatnya semakin mengerikan. Matanya. Ya, matanya. Setampan apapun wajah itu, matanya kosong, sedingin es kutub.

Reza melirik singkat ke arah penghulu, sebuah anggukan kecil yang berarti 'tugasmu selesai'. Sang penghulu dan para saksi, yang sepertinya juga orang-orang bayaran Reza, buru-buru membereskan berkas dan pamit dengan wajah tegang. Tak ada yang berani berlama-lama di hadapan Tuan Mafia itu.

Kini, di ruangan luas itu hanya tersisa Reza, Sabe, Hartawan, Ratih, dan Lesa.

Reza Yunanda mengambil satu langkah ke depan. Matanya yang tajam kini tertuju lurus pada Ratih dan Lesa. Dan kemudian, sesuatu yang mengerikan terjadi. Dia tersenyum. Senyuman itu tidak mencapai matanya. Itu adalah senyuman sinis yang membuat bulu kuduk meremang.

"Botak, item, dan gendut, ya?" ucap Reza membuat Ratih dan Lesa tak bisa berkata apa-apa. Mereka seakan terhipnotis dengan ketampanan yang dimiliki oleh Reza.

Suara beratnya terdengar halus seperti beludru, namun menyimpan racun yang mematikan.

Wajah Ratih dan Lesa pucat pasi seketika. Jantung mereka serasa jatuh ke lantai. Dia mendengar. Dia mendengar semuanya.

"Ti... Kamu... Kamu...." Ratih mencoba membantah, suaranya bergetar hebat. Lesa hanya bisa menunduk, tak berani menatap monster tampan di hadapannya.

"Saya tidak suka pembual," potong Reza, senyumnya lenyap. "Dan saya sangat tidak suka orang yang membicarakan saya di belakang punggung saya." tegas Reza penuh penekanan.

Dia mengalihkan pandangannya pada Hartawan, yang berdiri kaku, bingung dengan apa yang terjadi.

"Hartawan." Reza memanggil namanya tanpa embel-embel Pak atau Om, apalagi Ayah.

"Urusan kita selesai. Asetmu aman." ucap Reza tegas.

Hartawan menelan ludah. Rasa lega karena asetnya aman bercampur dengan kengerian melihat cara pria itu memperlakukan istri dan anak sambungnya.

Reza menjentikkan jarinya. Seorang pria berjas hitam lainnya segera maju membawa sebuah koper aluminium. Reza mengambil koper itu dan meletakkannya dengan keras di atas meja kopi di depan Ratih.

KLAK.

Ia membukanya.

Mata Ratih dan Lesa terbelalak. Koper itu penuh dengan tumpukan uang kertas pecahan seratus ribu rupiah. Jumlahnya miliaran.

"Soal mahar," kata Reza, matanya kembali menusuk Ratih. "Saya dengar Nyonya Ratih sangat mengkhawatirkannya."

Ratih tak bisa berkata-kata. Gemetarnya tergantikan oleh binar keserakahan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Itu maharnya," lanjut Reza dingin.

"Ambil. Anggap itu bayaran untuk mulut Anda." lanjut Reza lagi dengan tegas.

Sebuah penghinaan telak. Reza tidak membayar mahar untuk Sabe. Dia membayar Ratih untuk tutup mulut.

Entah darimana Reza tau tentang Ratih yang mempermasalahkan tentang mahar putri sambungnya itu.

Hartawan maju selangkah, wajahnya memerah karena malu dan marah.

"Reza! Kami tidak... Kami tidak bisa menerima ini! Ini penghinaan!" ucap Hartawan angkat bicara.

"Saya tidak peduli," bentak Reza, nadanya naik satu oktaf, membuat seisi ruangan bergetar.

"Saya tidak sedang bernegosiasi. Pernikahan ini adalah transaksi. Dan saya sudah membayar lunas." ucap Reza tegas dan menusuk.

Pandangannya beralih ke Sabe, yang berdiri mematung. "Termasuk dia."

Dada Sabe terasa sesak. Transaksi. Bayaran. Ia kini tak lebih dari sebuah barang yang sudah lunas dibayar.

"Bawa barang-barangmu," perintah Reza pada Sabe.

Sabe menunduk. Ia tak membawa apa-apa selain tas jinjing kecil berisi Al-Qur'an dan beberapa perlengkapan sholat yang disiapkan Hartawan untuknya.

Reza mendecakkan lidahnya, tampak jengkel.

"Tidak masalah. Saya bisa membelikan mu satu pulau. Sekarang, ikut aku." perintah Reza berbalik hendak melangkah.

"Tunggu!" Suara Sabe terdengar lirih namun tegas.

Reza berhenti.

Sabe berjalan melewati Reza, menghampiri ayahnya. Tanpa mempedulikan tatapan dingin suaminya, ia meraih tangan Hartawan dan mencium punggung tangannya. Lalu ia memeluk ayahnya erat.

"Ayah..." bisik Sabe, suaranya pecah. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah, membasahi kebaya putihnya.

"Maafkan Sabe. Jaga diri Ayah baik-baik, ya. Jangan lupakan sholat. Jaga kesehatan Ayah." ucap Sabe terdengar lirih dan pilu.

Hartawan membalas pelukan putrinya tak kalah erat. Pria paruh baya itu menangis tanpa suara.

"Sabe... anakku. Harusnya Ayah yang minta maaf. Maafkan Ayah, Nak. Ayah gagal melindungi mu."

"Ayah nggak gagal. Ayah sudah jadi ayah terbaik. Sabe sayang Ayah." lirih Sabe.

"Saya apa, Hartawan?"

Suara dingin Reza membelah momen emosional itu.

"Saya suaminya. Dia milik saya sekarang. Waktu perpisahan kalian sudah selesai."

Reza memberi isyarat. Dua pengawal berbadan tegap langsung bergerak, memisahkan Sabe dari pelukan Hartawan dengan paksa, namun tetap terlihat sopan.

"SABE!" teriak Hartawan, mencoba meraih putrinya kembali.

"Ikut aku," perintah Reza pada Sabe, mengabaikan teriakan Hartawan.

Sabe menatap ayahnya untuk terakhir kali. Matanya memancarkan cinta, ketakutan, dan permintaan maaf. Ia lalu menatap Ratih dan Lesa. Lesa terpaku menatap Reza, sementara Ratih... Ratih sedang sibuk menutup koper berisi uang itu. Ibu dan anak itu bahkan tidak menatapnya.

Dengan hati yang hancur, Sabe Andita berbalik dan mengikuti langkah kaki Reza Yunanda, suaminya, sang mafia kejam.

Reza membawa Sabe melewati lorong-lorong panjang rumahnya yang lebih mirip istana. Dinding marmer yang dingin, lukisan-lukisan mahal, dan perabotan mewah terpajang di mana-mana. Namun, rumah itu terasa hampa. Sunyi. Para pelayan yang mereka lewati hanya akan menunduk dalam-dalam, tak berani mengangkat wajah.

Mereka naik lift pribadi ke lantai tiga, sebuah area yang sepertinya merupakan area pribadi sang pemilik rumah. Reza berhenti di depan sebuah pintu kayu jati ganda yang besar.

"Ini kamarmu, bukan kamar kita," ucap Reza begitu sakit terdengar oleh Sabe.

Pintu dibuka. Sabe tertegun. Kamar itu luar biasa besar. Lebih besar dari seluruh ruang tamu di rumah ayahnya. Sebuah ranjang king size dengan seprai sutra gading, walk-in closet yang besarnya seperti satu kamar tidur, dan sebuah balkon pribadi dengan pintu kaca raksasa yang menghadap ke taman labirin yang terawat sempurna.

Sabe melangkah masuk, merasa kecil di tengah kemewahan yang menyesakkan itu. Ia masih mengenakan kebaya pengantin dan hijab putihnya, kontras dengan suasana ruangan yang didominasi warna gelap, abu-abu, hitam, dan emas.

Reza berjalan ke arah balkon, membelakangi Sabe.

"Mulai hari ini, kamu adalah Nyonya Reza Yunanda," ucapnya. Suaranya menggema di ruangan yang hening.

Ia berbalik. Matanya menelusuri Sabe dari atas ke bawah. Tatapannya bukan tatapan hasrat seorang suami pada istrinya. Itu adalah tatapan menilai. Tatapan seorang kolektor pada barang koleksi terbarunya.

"Kamu akan mendapatkan semua yang kamu mau. Uang, perhiasan, pakaian. Minta saja pada pelayan. Semua akan disediakan."

Sabe hanya diam, memeluk erat tas kecilnya.

Reza menyipitkan matanya melihat kebisuan Sabe. Dia tidak suka diabaikan.

"Tapi, ada aturan."

Reza melangkah mendekat. Perlahan. Setiap langkahnya membuat jantung Sabe berdebar semakin kencang.

Sabe secara refleks mundur, hingga punggungnya menyentuh pilar ranjang yang dingin.

Reza berhenti tepat di depannya. Sangat dekat. Sabe bisa mencium aroma cologne mahal yang maskulin bercampur dengan aroma tembakau yang samar. Ia menundukkan wajah, tak berani menatap mata elang itu.

"Aturan pertama," Reza memulai, suaranya rendah dan berbahaya.

"Lihat saya kalau saya bicara."

Sabe gemetar, namun perlahan ia mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap suaminya.

"Bagus," desis Reza.

"Aturan kedua, jangan pernah membantah saya. Apapun yang saya katakan, kamu lakukan. Tanpa pertanyaan."

Ia melangkah lebih dekat lagi. Jarak mereka kini hanya beberapa inci. Sabe bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari tubuh pria itu.

"Aturan ketiga, jangan pernah mencoba kabur dari rumah ini. Setiap sudut diawasi. Setiap pintu dijaga. Kamu tidak akan bisa keluar satu langkah pun tanpa izin saya."

Suaranya berubah menjadi bisikan mematikan.

"Dan kalau kamu nekat mencoba."

Reza mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh Sabe, melainkan menyentuh hijab putih yang menutupi kepala Sabe. Ia mengelus kain itu dengan ujung jarinya. Gerakan yang seharusnya lembut, tapi terasa seperti ancaman.

"Saya akan menghancurkan ayahmu. Bukan hanya asetnya. Saya akan buat dia berharap dia tidak pernah dilahirkan. Paham?"

Air mata Sabe menggenang. "Ja. Jangan. Tolong jangan sakiti Ayah,"

"Itu tergantung kepatuhanmu," sahut Reza.

Reza menatap wajah Sabe yang ketakutan. Pipinya basah oleh air mata, bibirnya bergetar, namun matanya yang dibingkai hijab itu ada sesuatu di sana. Bukan hanya ketakutan, tapi ada keteguhan.

"Dan aturan terakhir," gumam Reza, matanya terkunci pada bibir Sabe.

"Jangan pernah sentuh saya. Dan jangan pernah berharap saya menyentuh kamu."

Sabe mengangkat alisnya. Matanya yang basah menatap Reza dengan bingung. Apa maksudnya?

Reza tersenyum miring. "Kamu pikir pernikahan ini apa? Kisah cinta? Kamu salah besar, Sabe Andita. Kamu adalah jaminan. Kamu adalah tameng saya."

"Ta... Tameng?" Sabe mengulang kata itu, otaknya buntu. Tameng untuk apa?

Reza menjauhkan tubuhnya, meluruskan kembali jasnya. Aura intimidasinya kembali seperti semula.

"Kamu tidak perlu tahu detailnya. Cukup jalani peranmu sebagai Nyonya Reza Yunanda saat kita di depan umum. Tapi di dalam rumah ini, di antara kita berdua,"

Reza berjalan menuju pintu.

"Tunggu!" panggil Sabe, suaranya sedikit lebih keras. Didorong oleh keputusasaan.

Reza berhenti, tangannya sudah memegang gagang pintu. Ia menoleh sedikit, menatap Sabe dari balik bahunya.

"Kenapa?" tanya Sabe, suaranya bergetar menahan tangis dan amarah.

"Kenapa harus Ayah saya? Apa salah Ayah saya?"

Reza menatap Sabe lama. Hening.

"Karena Hartawan," jawab Reza, suaranya sedingin bilah pedang.

"Memiliki sesuatu yang saya inginkan. Sesuatu yang jauh lebih berharga daripada seluruh perusahaan dan asetnya."

"Apa itu?" desak Sabe.

Reza tersenyum sinis. Senyuman yang membuat darah Sabe membeku.

"Sesuatu yang dia curi dari keluarga saya bertahun-tahun yang lalu."

Reza membuka pintu. "Dan kamu, Sabe Andita, adalah cara saya mengambilnya kembali. Selamat datang di nerakamu, Nyonya Yunanda."

BLAM.

Pintu ditutup dengan keras. Sabe terlonjak kaget. Detik berikutnya, ia mendengar suara kunci diputar dari luar.

KLIK.

Sabe berlari ke pintu, menggedornya. "Buka! Buka pintunya! Om! Pak Reza! Buka!"

Tak ada jawaban.

Sabe bersandar lemas di pintu. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia luruh ke lantai marmer yang dingin. Sendirian. Terkunci di dalam kamar mewah yang kini resmi menjadi penjara emasnya.

Dia bukan istri. Dia adalah tebusan. Tebusan untuk dosa ayahnya yang bahkan tidak ia ketahui.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Pilar Kedua

    Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Pilar Pertama

    Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Jalan Dibawah Tanah

    Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Perang Sebenarnya

    Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Skandal Warisan Yang Hilang

    Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis

  • Pawang Hati Mafia Kejam   Jejak Seniman Yang Hilang

    Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status