MasukSabe menggedor pintu itu dengan sisa tenaga yang ia miliki. Kepalan tangannya yang terbalut kain kebaya terasa sakit, namun tak sesakit hatinya.
"Tolong! Buka!" Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian dingin dari istana yang megah ini. Napasnya tersengal. Kepanikan murni menjalari pembuluh darahnya. Ia bersandar di pintu, tubuhnya luruh ke lantai marmer yang terasa sedingin es, sama dinginnya dengan mata suaminya. Terkunci. Ia benar-benar terkunci. Air mata yang tadi ia tahan di depan ayahnya kini tumpah ruah. Ia menangis tanpa suara, memeluk lututnya, merasa begitu kecil dan sendirian. Kebaya pengantin putih yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan, kini terasa seperti kain kafan yang membelitnya. Dia bukan Nyonya Yunanda. Dia adalah barang tebusan. Jaminan atas dosa ayahnya di masa lalu. Dosa apa? Apa yang telah dilakukan Ayah? Ayahnya, Hartawan, adalah pria paling lembut dan jujur yang ia kenal. Bagaimana mungkin ayahnya mencuri sesuatu dari keluarga mafia seperti Reza? Isak tangisnya menggema di ruangan yang terlalu besar untuk satu orang. Ia terisak di sana, di depan pintu, entah berapa lama. Hingga akhirnya, rasa dingin di lantai marmer mulai menembus kain kebayanya, membuatnya menggigil. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Pandangannya jatuh pada tas jinjing kecil yang tergeletak di sampingnya. Tas yang ia bawa dari rumah. Perlahan, ia merangkak mengambil tas itu. Tangannya yang gemetar membuka ritsletingnya. Di dalamnya, tergeletak Al-Qur'an kecil berlapis beludru hijau dan mukena travel. Barang-barang yang disiapkan ayahnya. "Ayah..." bisiknya pilu. Sebuah kekuatan baru yang rapuh mulai merayap di hatinya. Ketakutan itu masih ada, mencekik. Tapi di bawah ketakutan itu, imannya berbisik. Sabe bangkit. Ia berjalan tertatih ke pintu kaca raksasa di balkon. Gelap di luar. Taman labirin di bawah sana terlihat menyeramkan di bawah cahaya bulan yang pucat. Ia melihatnya. Dua penjaga berpakaian hitam berpatroli di taman. Jelas terlihat, bahkan dari lantai tiga. Rumah ini adalah benteng. Sabe menutup tirai tebal itu, memutus pandangannya dari penjara terbukanya. Ia mencari kamar mandi. Pintu di sudut ruangan terbuka memperlihatkan kamar mandi yang lebih besar dari kamar tidurnya di rumah. Pualam hitam dan emas mendominasi. Sebuah jacuzzi besar tertanam di lantai dan bilik shower kaca yang canggih. Sabe mengabaikan semua kemewahan itu. Ia hanya perlu satu hal. Air. Ia menyalakan keran di wastafel dan mengambil wudhu. Air dingin yang membasuh wajah, tangan, dan kakinya seolah membersihkan sedikit kepanikan yang menyelimutinya. Ia menggelar sajadah seadanya yang ia temukan sebuah karpet tebal berbulu di depan ranjang menghadap kiblat yang ia perkirakan. Ia mengenakan mukenanya di atas kebaya pengantinnya. Waktu Isya sudah lama lewat. Ia menggabungkan sholat Maghrib dan Isya. Saat ia mengangkat tangan untuk takbir, dunia yang kacau balau di sekitarnya terasa sedikit menjauh. Di sini, di atas sajadahnya, ia bukan Nyonya Yunanda, bukan tebusan. Ia adalah Sabe Andita, hamba Allah. "Ya Allah..." bisiknya dalam sujud terakhirnya, air matanya kembali menetes, kali ini membasahi sajadah. "Hamba tidak tahu apa yang terjadi. Hamba takut. Lindungi Ayah hamba. Beri hamba kekuatan. Tunjukkan hamba jalan..." Setelah sholat, ia tidak langsung beranjak. Ia membuka Al-Qur'an kecilnya. Membaca beberapa ayat dengan suara lirih. Suaranya sendiri, yang melantunkan ayat-ayat suci, menjadi satu-satunya sumber kehangatan di kamar yang dingin itu. Satu jam berlalu. Perutnya berbunyi. Ia baru sadar belum makan apa-apa sejak pagi saking tegangnya. Ia masih memakai mukenanya, duduk di tepi ranjang raksasa yang bahkan tak berani ia tiduri. Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Sabe terlonjak, jantungnya serasa melompat ke tenggorokan. "Masuk," ucapnya ragu. Pintu tidak terbuka. Tentu saja, pintu itu terkunci dari luar. Terdengar suara kunci diputar. KLIK Pintu terbuka. Bukan Reza. Seorang wanita paruh baya, mungkin berusia akhir lima puluhan, berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan seragam pelayan berwarna hitam dan putih yang rapi dan kaku. Wajahnya tanpa ekspresi, rambutnya disanggul ketat. Di belakangnya, seorang pelayan muda mendorong troli makanan. "Selamat malam, Nyonya," sapa wanita itu, suaranya datar dan dingin. "Saya Bu Suri, kepala pelayan di rumah ini. Tuan Reza memerintahkan saya untuk mengantarkan makan malam dan pakaian ganti Anda." Sabe hanya mengangguk, masih memeluk Al-Qur'an nya. Bu Suri memberi isyarat. Pelayan muda itu mendorong troli ke dekat meja kecil di sudut ruangan. Aroma makanan lezat sup krim, salmon panggang, dan sayuran segar menguap. Tapi Sabe sama sekali tidak berselera. Pelayan muda itu menunduk dalam-dalam, tak berani menatap Sabe, lalu bergegas keluar. Bu Suri melangkah masuk, membawa beberapa set pakaian yang terlipat rapi di lengannya. Ia meletakkannya di atas sofa beludru. "Ini beberapa pakaian tidur dan pakaian ganti untuk besok pagi, Nyonya. Tuan Reza sudah memerintahkan untuk mengisi penuh lemari pakaian Anda. Silakan diperiksa jika ada yang kurang." "Lemari pakaian?" Sabe bertanya lirih. "Di balik pintu itu, Nyonya," Bu Suri menunjuk sebuah pintu ganda lainnya yang Sabe kira adalah pintu ke ruangan lain. Sabe mengangguk kaku. "Apa saya... Apa saya boleh meminta sesuatu?" tanya Sabe, memberanikan diri. "Semua kebutuhan Nyonya akan dipenuhi," jawab Bu Suri, nadanya tetap datar. "Saya mau menelepon Ayah saya. Ponsel saya..." Sabe menunjuk tasnya. "Tidak ada sinyal." Wajah Bu Suri mengeras sepersekian detik. "Maaf, Nyonya. Seluruh komunikasi di rumah ini diatur oleh Tuan Reza. Tidak ada yang bisa melakukan panggilan keluar atau masuk tanpa izin Beliau. Termasuk saya." Jantung Sabe mencelos. Jadi benar. Ini penjara. "Kalau begitu, tolong sampaikan pada Tuan Reza..." "Semua permintaan Nyonya harus disampaikan langsung kepada Tuan Reza," potong Bu Suri. "Peraturan di rumah ini sangat ketat. Tuan tidak suka perantara." Sabe menunduk. "Baik. Terima kasih, Bu." Sabe mencoba tersenyum kecil, sebuah kebiasaan lamanya untuk bersikap ramah pada siapa saja. Tapi Bu Suri tidak membalasnya. Ia hanya mengangguk kaku. "Saya akan mengambil piringnya dalam satu jam. Selamat istirahat, Nyonya." Bu Suri keluar. Dan lagi-Agi, Sabe mendengar suara kunci diputar dari luar. KLIK Sabe menatap makanan di troli. Ia memaksakan diri untuk makan. Ia harus punya tenaga. Ia tidak boleh sakit. Ia harus bertahan hidup. Untuk ayahnya. Setelah makan beberapa suap, ia bangkit. Penasaran, ia membuka pintu ganda yang ditunjuk Bu Suri. Napasnya tercekat. Itu bukan lemari. Itu adalah sebuah ruangan. Sebuah walk-in closet yang besarnya mungkin seukuran setengah rumah ayahnya. Rak-rak berisi puluhan pasang sepatu desainer. Barisan tas bermerek terpajang seperti di etalase toko. Dan gaun-gaun. Puluhan, mungkin ratusan. Dari gaun malam yang berkilauan, setelan kerja yang elegan, hingga pakaian santai yang kasual namun jelas berharga mahal. Di satu bagian khusus, tergantung puluhan hijab dan pashmina dari sutra dan katun terbaik dalam berbagai warna. Semuanya baru. Semua masih berlabel harga. Reza telah mempersiapkan ini. Ini bukan keputusan mendadak. Pria itu sudah merencanakan untuk membawanya ke sini. Menjadikannya boneka pajangan. Nyonya Yunanda. Rasa mual menyerangnya. Sabe buru-buru menutup pintu. Ia tidak mau menyentuh satu pun dari barang-barang itu. Ia mengambil piyama katun sederhana yang tadi dibawakan Bu Suri, dan berganti pakaian di kamar mandi. Malam semakin larut. Sabe tidak bisa tidur. Ia duduk di sofa dekat balkon, mematikan semua lampu kecuali satu lampu tidur yang temaram. Ia memeluk Qur'an nya, memikirkan ayahnya. Apakah ayahnya baik-baik saja? Bagaimana dengan Ratih dan Sela? Ah, memikirkan mereka membuat dadanya sesak. Ratih pasti sedang menghitung uang di koper itu. Sekitar pukul dua pagi, saat matanya baru saja akan terpejam, ia mendengarnya. KLIK. Suara kunci dibuka. Sabe langsung tegak. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Pintu utama kamarnya terbuka perlahan. Siluet tinggi Reza Yunanda berdiri di ambang pintu. Kamar itu gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lorong di belakangnya. Dia masuk. Tanpa suara. Seperti predator. Jasnya sudah lepas, dasinya longgar, dan dua kancing teratas kemeja putihnya terbuka. Dia terlihat sedikit lelah, tapi aura dominasinya tidak berkurang sedikit pun. Justru bertambah pekat, lebih liar. Matanya langsung menemukan Sabe di sofa. Sabe membeku. Ia lupa caranya bernapas. Reza tidak menyalakan lampu. Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan. "Belum tidur?" suaranya yang berat dan serak itu terdengar lebih menakutkan di keheningan malam. Sabe menelan ludah. Ia ingat aturan pertama. 'Lihat saya kalau saya bicara,' Ia memaksa dirinya untuk bangkit berdiri dan menatap pria itu. "Saya... saya tidak bisa tidur," Reza tersenyum miring. Senyuman yang sama sekali tidak ramah. Ia mendekat. Sabe secara refleks ingin mundur, tapi ia sudah terpojok di sofa. "Takut?" bisiknya, kini ia berdiri tepat di depan Sabe. Sabe bisa mencium aroma cologne nya yang mahal, bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang samar, seperti... logam? "Saya mau bicara dengan Ayah saya," ucap Sabe, suaranya bergetar hebat, tapi ia mengatakannya. Ini satu-satunya hal yang ia pedulikan. Mata elang Reza menajam. "Saya sudah bilang pada Hartawan urusan kita selesai. Dia aman." "Saya mau mendengarnya sendiri!" tuntut Sabe. "Saya perlu tahu dia tidak diancam. Saya perlu tahu..." "Aturan nomor dua," potong Reza, suaranya mendesis rendah. "Jangan pernah membantah saya. Apa yang baru saja kamu lakukan?" Sabe terdiam. Air mata ketakutan mulai menggenang lagi. "Saya... saya mohon," cicitnya. "Permintaanmu ditolak," jawab Reza dingin. "Kondisi ayahmu tergantung sepenuhnya pada kepatuhanmu. Semakin kamu menurut, semakin nyaman hidupnya." Ini adalah ancaman yang telak. "Apa yang Ayah saya curi dari keluarga Anda?" Sabe tidak bisa menahannya lagi. Keputusasaan membuatnya nekat. Reaksi Reza instan. Wajahnya mengeras seperti batu pualam. Rahangnya mengatup rapat. Detik berikutnya, tangannya terangkat. Sabe memejamkan mata, mengira akan ditampar. Tapi tamparan itu tidak datang. Sabe membuka matanya perlahan. Tangan Reza berhenti satu inci dari wajahnya. Jari-jarinya yang panjang dan kuat kini terulur, bukan untuk memukul, tapi untuk menyentuh dagunya. Sabe tersentak kaget. Reza mengangkat dagu Sabe dengan ujung jarinya, memaksa Sabe menatap lurus ke matanya. Sentuhannya dingin, tapi meninggalkan jejak panas di kulit Sabe. Pria itu melanggar aturannya sendiri. Aturan keempat. "Kamu baru saja membantah saya," desis Reza. "Dan kamu mengajukan pertanyaan yang tidak seharusnya kamu tanyakan. Dua pelanggaran dalam satu malam, Sabe Andita. Buruk sekali." Mata mereka terkunci. Sabe bisa melihat kemarahan yang bergejolak di balik iris mata sedingin es itu. Kemarahan yang dalam dan kelam. "Saya tidak akan bertanya lagi," bisik Sabe, gemetar. "Tolong... jangan sakiti Ayah." Reza menatapnya lama. Tatapannya menelusuri wajah Sabe yang pucat, matanya yang basah, dan bibirnya yang bergetar. "Bagus," gumamnya. Ia melepaskan dagu Sabe dengan kasar. "Kamu belajar." Reza melangkah mundur, menciptakan jarak di antara mereka lagi. "Saya lihat kamu belum menyentuh ranjangnya." Sabe menelan ludah. "Saya..." "Tidur," perintah Reza. "Sekarang. Di ranjang itu." Ini adalah ujian kepatuhan. Sabe menatap ranjang king size itu dengan ngeri. Ia harus tidur sementara pria ini ada di sini? "Saya... tidak bisa tidur kalau ada Anda," ucap Sabe jujur, suaranya nyaris tak terdengar. Reza tertawa. Tawa yang kering dan tanpa humor. "Kamu pikir saya tertarik tidur denganmu? Kamu melupakan aturan keempat? Kamu adalah jaminan, Sabe. Bukan istri." Kata-katanya menusuk, tapi juga memberi kelegaan yang aneh. "Saya tidak akan tidur di sini," lanjut Reza. "Saya hanya memastikan mainan baru saya tidak mencoba melakukan hal bodoh di malam pertama." Ia berjalan ke pintu. "Besok pagi, Bu Suri akan menjemputmu. Kamu akan sarapan denganku." Sabe terkejut. "Tapi... Anda bilang..." "Saya bilang, di antara kita berdua di dalam rumah ini," potong Reza, tangannya di gagang pintu. "Tapi sarapan adalah sarapan. Dan lusa, kita ada pesta." "Pesta?" "Sebuah acara bisnis. Dan kamu," Reza berbalik menatap Sabe, tatapannya tajam dan menilai, "Adalah tameng saya. Dan sebuah tameng harus terlihat sempurna di depan umum. Kamu harus memainkan peranmu sebagai Nyonya Yunanda yang bahagia." Wajah Sabe pucat pasi. Berpura-pura bahagia? Dengan monster ini? "Mulai besok," kata Reza, "Kamu akan belajar. Selamat tidur... Di nerakamu." KLIK. Pintu ditutup, dan kunci kembali diputar. Sabe berdiri mematung di tengah ruangan. Sarapan. Pesta. Berpura-pura bahagia. Dia bukan hanya tebusan. Dia bukan hanya tahanan. Dia adalah perisai hidup yang akan dipamerkan sang mafia kepada musuh-musuhnya. Dan ia tidak punya pilihan selain menuruti semua aturan mainnya.Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui
Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung
Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me
Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga
Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis
Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan







