Dominic menutup telepon dari Devon dengan napas panjang. Ia masih menatap layar laptopnya, email dari Edgar terpampang jelas. Tidak ada keraguan lagi, hasil tes DNA menunjukkan kecocokan 98,54%. Lucien Deveraux memang ayah kandung Aveline. Perlahan, Dominic berdiri dari kursi kerjanya dan berjalan ke arah master bedroom. Saat ini mereka menginap di sebuah hotel di kawasan Vesgos.Aveline sedang duduk di tepi ranjang memandangi ponsel. Saat mendengar langkah kaki suaminya, ia pun menoleh perlahan. “Hei. Ada apa?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu terlihat berbeda.” Dominic duduk di sampingnya seraya mengecup tangan Aveline dengan lembut. “Aveline,” ujarnya perlahan. “Aku baru saja menerima hasilnya. Tes DNA-mu dan Lucien Deveraux…” Aveline menahan napas dan tubuhnya menegang. Mata birunya menatap Dominic penuh harap dan juga ketakutan. “…kecocokannya adalah 98,54%. Dia ayah kandungmu.” Dalam sekejap, air mata Aveline mengalir tanpa bisa ia cegah. Isak
Langit senja menggantung di balik jendela kaca. Suara deru angin dari luar bersahutan dengan derit halus kursi yang ia duduki. Di meja depannya, ada segelas espresso yang mulai dingin tetap tak tersentuh sejak sepuluh menit lalu. Di dalam genggaman tangan kirinya ada sebuah ponsel, dengan layarnya terpampang sebuah nama, Devon. Dominic menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelipisnya sejenak. “Apa media sudah tenang?” tanyanya. “Sudah,” jawab Devon di seberang sana dengan suaranya yang tenang tapi tegas. “Kredibilitas Clarissa diruntuhkan dengan perlahan. Aku pribadi mengatur satu sesi khusus dengan manajer editorial Le Monde de Paris. Selebihnya, tim hukum kita akan menyebarkan data medis dan laporan polisi yang menunjukkan bahwa kecelakaan Clarissa sepenuhnya adalah akibat kelalaian sopir. Nama Ayah pun telah dibersihkan.” Dominic menghela napas lega dan mengangguk, meskipun Devon tak bisa melihatnya. Kakak tirinya ini memang selalu bisa ia andalkan. “Terim
Langkah kaki Aveline bergema lembut di lantai marmer lorong rumah sakit, saat ia dan Dominic berjalan menuju parkiran VIP. Udara malam terasa dingin, dan pikirannya masih belum lepas dari tatapan tajam Clarissa yang tadi sempat ia tangkap sebelum keluar dari ruang rawat. “Dia kelihatannya sangat membenciku,” ujar Aveline akhirnya, memecah keheningan. “Hiraukan saja,” Dominic menyahut tenang seraya menekan tombol kunci mobil dari kejauhan. “Kita tidak akan pernah bisa mengatur perasaan orang lain terhadap kita. Selama dia tidak bertindak sembrono atau sengaja ingin menjatuhkan." Baru saja mereka melewati pilar besar di depan gedung rumah sakit, tiba-tiba seorang anak kecil dengan hoodie biru mendekati Aveline. Tanpa berkata apa-apa, anak itu menarik ujung mantelnya dan menyodorkan secarik kertas yang terlipat kecil. “Eh?” Aveline spontan menunduk. “Apa ini untukku?” Anak itu hanya mengangguk pelan, lalu berlari seperti angin yang kencang sebelum sempat Aveline bertanya. Ha
Di dalam pesawat pribadi dengan kabin mewah berlapis kulit putih gading dan detail emas, sepasang suami-istri itu pun duduk berdampingan. Dominic menggenggam tangan Aveline, lali mencium punggung tangannya dengan lembut. "Aveline." "Hm?" "Apa pun yang menunggu kita di Prancis... Clarissa, polisi, media. Tolong jangan pernah ragu padaku." Aveline menatap suaminya dalam-dalam, lalu menyandarkan diri ke bahu kokoh itu. "Aku tidak akan pernah ragu. Tapi, aku mungkin akan tetap menggoda kalau ada yang memanggilmu 'Ayahku'." Dominic menoleh, menatap tajam istrinya yang masih saja memggodanya. "Jangan buat aku mencium bibirmu keras-keras di depan pilot." Aveline mengedikkan bahunya, lalu berjata pelan namun menantang, "Silakan." Dan di detik berikutnya, kursi pesawat itu pin menjadi saksi betapa seriusnya Dominic menanggapi sebuah tantangan di depannya. *** Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara kecil di Vesgos, Dominic langsung berdiri dari kursinya. Aveline ya
Lokasi : Bandara Internasional Pau Pyrénées Desing baling-baling helikopter terdengar mengeras saat rotor perlahan melambat. Helikopter hitam matte dengan logo La Maison du Nord itu mendarat mulus di lapangan helipad khusus milik Bandara Internasional Pau Pyrénées, gerbang terdekat menuju wilayah Vesgos di barat daya Prancis. Angin dari baling-baling mengacak rambut pirang Aveline yang kini ditata rapi dalam ponytail, membuat beberapa helai melambai liar sebelum Dominic mengulurkan tangannya, membenahi rambut istrinya dengan lembut. "Pegangan." Suara Dominic terdengar pelan di tengah bisingnya mesin yang masih menggerung. Ia membantu Aveline turun dari helikopter terlebih dahulu, lalu menyusul dengan langkah tenang dan penuh kontrol. Tiga mobil hitam Mercedes Benz V-Class menanti mereka di sisi landasan, diiringi petugas berseragam khusus dari bagian penerbangan privat. Tas dan koper mereka langsung ditangani staf, dan Dominic tetap setia berjalan di sisi Aveline, tidak sed
Pagi itu di NORD, suasana yang biasanya damai berubah tegang. Dominic Wolfe baru saja selesai melakukan panggilan kerja di ruang komunikasinya, ketika layar laptopnya menampilkan sebuah e-mail resmi dengan lambang Police Nationale – République Française (Kepolisian Negara Republik Perancis). Judulnya singkat tetapi memuat beban yang tidak bisa disepelekan: Convocation Officielle : Témoignage dans une enquête criminelle – Accident Mortel Vosges Dominic membaca dengan cepat. Email itu berisi panggilan resmi dari kepolisian Prancis, meminta kehadirannya untuk memberikan keterangan terkait kecelakaan mobil yang menewaskan Ezra Blaine. Nama Clarissa Blaine tercantum jelas di dokumen itu sebagai saksi sekaligus pihak yang menuduhnya terlibat dalam insiden tersebut. Sebelum Dominic menutup laptop, pintu ruang kerjanya tetiba terbuka dari luar. Aveline muncul dengan membawa dua cangkir teh. Senyumnya yang biasanya menenangkan, mendadak memudar saat melihat ekspresi suaminya. “Domi