Bolehkah minta bintang 5 dan penilaiannya?
Netra Shasha membulat mendengar ucapan Ibu Ayu. Dia kemudian melirik Arjuna yang tampak kaget dan salah tingkah karena tindakan maminya.“Mami, apa-apaan sih. Jangan membuat Shasha nanti jadi sungkan sama aku,” protes Arjuna.“Sungkan kenapa? Apa salahnya ‘kan kalian coba lebih dekat? Tidak harus menikah secepatnya juga kalau pacaran,” timpal Ibu Ayu dengan santai.“Saya sudah menganggap Mas Juna itu seperti kakak sendiri, Tante. Nanti malah jadi aneh kalau hubungan kami lebih dari sekarang.” Shasha akhirnya bersuara.Ibu Ayu beralih pada gadis yang duduk di sampingnya. “Aneh gimana? Kalau kalian berdua memang ditakdirkan berjodoh, apa ya mau ditolak?”“Kalau memang takdirnya begitu, tentu saja saya akan menerimanya. Maksud saya tadi, pasti nanti ada jalannya sendiri kalau memang kami berjodoh. Tidak harus memaksakan diri untuk dekat atau pacaran,” tukas Shasha.“Aku sependapat sama Alesha, Mi. Biarkan saja hubungan kami mengalir apa adanya. Yakin saja kalau jodoh enggak akan ke mana.
Shasha menoleh ke samping kirinya di mana Arjuna duduk. "Aku enggak pede, Mas. Tamunya banyak banget orang penting.”Arjuna mengernyit. “Kenapa? Suaramu ‘kan bagus. Enggak kalah sama yang tadi maju. Ayolah, Sha.” Pria itu membujuk adik tingkatnya.“Udah sana naik. Aku kangen dengar suara emasmu, udah lama kita enggak karokean.” Tirta ikut mendukung Arjuna.Shasha akhirnya mengangguk. “Ya udah. Ayo, Mas. Tapi nanti aku di-back up ya kalau fals."“Apa sih yang enggak buat kamu, Sha,” sahut Arjuna sambil tersenyum."Mas Kai, Tirta, aku tinggal sebentar ya," pamit Shasha pada Tirta dan kakaknya sebelum beranjak dari tempat duduknya.Tirta menggangguk sambil mengacungkan jempol. "Oke, Sha. Sukses ya duetnya."Shasha dan Arjuna kemudian berjalan ke arah panggung. Berbicara pada band yang akan mengiringi mereka bernyanyi."Pria itu benar senior kalian, Ta?" tanya Kaisar."Iya, Mas. Kenapa memangnya?" Tirta mengernyit pada kakaknya."Dia suka ya sama Shasha?" Kaisar bertanya lagi tanpa mengal
Kaisar menjauhkan diri dari Tirta. Melirik sang adik sambil mengernyit. “Bisa tidak kamu enggak suuzan sama aku? Ngomong itu yang baik, jangan asal tuduh. Untung cuma aku yang dengar. Kalau orang lain dengar gimana? Bisa salah paham, Ta.”Tirta terkesiap karena sang kakak terlihat marah. Biasanya Kaisar tetap santai kalau digoda, tapi kali ini tidak. Itu artinya dia sudah salah bicara. “Maaf, Mas,” pintanya kemudian.“Lain kali jangan bicara sembarangan! Bercanda boleh, tapi ada waktunya,” sergah Kaisar.“Iya, Mas. Aku salah. Udah jangan marah gitu nanti gantengnya ilang,” timpal Tirta.“Aku mau cari udara segar dulu.” Kaisar berdiri lalu beranjak meninggalkan Tirta, Shasha, dan Arjuna.“Mas Kai mau ke mana, Ta?” tanya Shasha setelah sang perwira polisi pergi.“Mau ambil makan, katanya lapar.” Tirta terpaksa berbohong agar Shasha tidak berpikiran negatif pada kakaknya.“Oh! Kamu enggak ambil makan sekalian?” tanya Shasha lagi.Tirta menggeleng. “Nanti saja. Aku masih belum lapar.“Kal
“Mau ke mana, Kai?” tanya Pak Dipta yang melihat Kaisar keluar dari kamar mengenakan jaket dan membawa kunci motor.“Ke rumah Adi, Pak. Mau lihat persiapan buat besok,” jawab sang perwira polisi.“Mau lihat persiapan atau lihat yang lain,” celetuk Tirta yang menggoda kakaknya.“Suuzan aja terus, Ta,” sergah Kaisar. Dia lalu beralih pada Pak Dipta. “Aku berangkat dulu, Pak,” pamitnya.Pak Dipta menganggut. “Tolong bilang sama Pak Wijaya kalau Bapak ke sananya besok pagi sekalian,” pesannya.“Insya Allah nanti aku sampaikan, Pak,” sahut Kaisar.“Loh, kamu mau ke mana, Kai? Pulang bukannya ngobrol sama Bapak sama Ibu malah pergi,” protes Ryani yang baru saja masuk ke ruang tengah membawa buah iris. Sebagai orang tua, tentu saja dia sangat merindukan anak-anaknya yang bekerja jauh dari rumah hingga membuatnya tak bisa bertemu dengan mereka setiap hari. Inginnya kalau mereka pulang ya berkangen-kangenan, bukannya malah melakukan hal lain.“Aku mau ke rumah Pak Wijaya, Bu,” jawab Kaisar.“M
Minggu pagi, sesudah salat Subuh di masjid, Kaisar berolahraga dengan lari keliling kampung. Sudah lama sekali dia tak melakukan hal tersebut di tempat kelahirannya. Terakhir menjalankan rutinitas lari pagi sebelum dia masuk pendidikan di Akpol. Udara pagi yang dingin plus segar membuat Kaisar lebih bersemangat. Udara di kampungnya masih bersih karena minim polusi dan ada banyak pepohonan rindang.Kaisar menyapa dengan ramah para tetangga yang berpapasan dengannya. Meskipun sudah jarang berinteraksi karena sudah lama tidak tinggal di sana, tapi dia masih mengingat yang sebaya atau lebih tua darinya. Kalau yang lebih muda, perwira polisi itu tak ingat lagi sebab saat dia pergi sana mereka masih kecil dan sekarang mereka sudah beranjak dewasa.Pagi itu, Kaisar berlari sambil mengingat kembali masa-masa sebelum dia diterima di Akademi Kepolisian. Bagaimana dia bekerja keras menempa fisiknya agar bisa lolos tes penerimaan Akpol. Semua itu kini sudah terbayar dengan dirinya yang sudah meny
Kaisar mengenakan batik lengan panjang pas badan yang motif dan warnanya seragam dengan para among tamu lain. Rambutnya tersisir rapi hingga membuatnya semakin terlihat tampan. Celana bahan dan sepatu kulit hitam yang sudah disemir hingga mengkilap menjadi penyempurna penampilannya.Minggu siang ini, dia akan menjadi salah satu among tamu di resepsi Adi dan Adelia yang digelar di kediaman Pak Wijaya. Dekorasinya lebih simpel tapi tetap elegan daripada saat resepsi di Grha Sabha. Adi yang meminta hal tersebut, karena dia sebagai pihak pria, jadi tidak perlu semegah dan semeriah pihak wanita.Kalau among tamu lain berpasangan dengan istrinya, Kaisar hanya sendiri. Sebenarnya Tirta bisa saja mendampinginya, tapi perwira itu tidak mau. Tidak masalah hanya sendiri karena dia khusus menyambut teman-teman dan kenalan Adi di sana. Dia tidak mau Tirta digoda oleh mereka.Sebelum acara dimulai, pasangan pengantin dan rombongan keluarga memasuki area resepsi. Kaisar tersenyum pada Shasha saat ga
Kaisar dan Shasha mengambil makanan sesudah menyanyi. Mereka bergabung dengan Tirta dan kedua orang tuanya. “Pak, Bu, masih ingat enggak sama Alesha? Dia teman kuliahku yang mamanya pintar buat kue,” jelas Tirta pada bapak dan ibunya saat Shasha dan Kaisar tiba. “Om, Tante,” sapa Shasha dengan ramah seraya menyalami Pak Dipta dan Bu Ryani sebelum duduk. Pasangan paruh baya itu juga tersenyum ramah pada Shasha, meskipun mereka juga bingung karena teman kuliah Tirta itu malah ngobrolnya dengan Kaisar. “Ini temanmu yang dulu ketemu pas wisuda bukan?” Bu Ryani memastikan pada putri bungsunya. Tirta mengangguk. “Iya, Bu. Kita juga ketemu sama Tante Dewi, mamanya Alesha,” jelasnya. “Maaf ya kalau Tante lupa, maklum sudah tua.” Bu Ryani memandang Shasha. “Tidak apa-apa, Tan,” sahut Shasha. “Bu, Pak, kami makan dulu. Ngobrolnya nanti saja ya.” Kaisar menyela mereka karena dia melihat Shasha yang mau makan jadi sungkan karena terus diajak bicara oleh ibunya. “Kalian makan dulu saja. Ka
“Apa kamu punya niat dekati temannya Tata yang tadi, Kai?” tanya Bu Ryani begitu duduk di ruang tengah setelah membereskan meja makan.“Apa Ibu dan Bapak setuju?” Kaisar memandang kedua orang tuanya bergantian.“Kalau Bapak sih setuju saja asal kalian sama-sama sudah cocok,” sahut Pak Dipta.Perwira polisi itu lalu beralih pada wanita yang telah melahirkannya. “Kalau Ibu gimana?”“Ibu juga setuju. Anaknya kelihatan baik dan sopan,” timpal Bu Ryani.“Aku ga ditanyain, Mas?” protes Tirta.“Restumu ga diperlukan. Lagian kamu ‘kan pernah bilang mending aku sama Shasha daripada yang lain,” tukas Kaisar sambil tersenyum jahil.Tirta mencebik. “Ya iyalah, daripada cewek-cewek gatel yang agresif dekati Mas Kai mendingan Alesha lah. Lebih baik, sopan, ga manja, plus cantikan dia ke mana-mana.”“Kalian sudah pacaran?” tanya Pak Dipta.Kaisar menggeleng. “Aku tidak mau pacaran, Pak. Hanya buang-buang waktu. Kalau insya Allah kami cocok ya langsung nikah. Umur sudah segini apa lagi yang mau dicar