Maming menaiki tangga menuju ke kamar Iwan. Dia lalu mengetuk pintu kamarnya.Tok tok tok"Bang Iwan.. bang, bangun bang sudah adzan ashar.." teriak Maming.Mendengar suara Maming, Iwan pun terbangun."Iya Ming... makasih"Iwan membuka pintu, dilihatnya Maming duduk di kursi plastik disitu. dia langsung bertanya,"Bang Iwan dapat cuti dari boss ya..""Iya Ming.. kamu nggak..?""Nggak bang.. padahal Maming sudah kangen banget sama ibu di kampung,""Ya kan masih ada libur nanti hari raya lebaran,""Masih lamaaa bang...""Gak apa-apa Ming.. bantuin pestanya boss, kamu nanti dapat bonus, lumayan kan Ming..""Iya sih... tapi uang gak bisa gantiin rasa kangen bang..""Udah aah, laki-laki gak pantas manja gitu Ming.. saya ambil air wudhu dulu ya MIng.""Iya bang..."Iwan jalan menuju ke kamar mandi di sebelah kamarnya, sedangkan Maming malah melamun. Tidak seperti biasanya, tiba-tiba saja dia jadi kangen pada ibunya, terbayang suasana di kampungnya, tapi Maming juga bingung, karena saat pand
Dalam perjalanan diatas kapal feri, pak Sidik dan Iwan saling bercerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami selama tidak saling bertemu.Setiba di Lampung, mereka melanjutkan perjalanannya dengan naik motor. Dia sengaja membawa motornya, supaya lebih mengirit pengeluaran uang selama dalam perjalanan. Sesekali Iwan beristirahat, mampir di warung nasi pinggir jalan protokol arah ke luar kota Lampung, atau berisitrahat di warung kopi.Tepat sekali dugaan Iwan, bahwa jalan masuk menuju ke desa yang ditempati Wahyu keponakannya pak Sidik itu, harus menyewa ojek di pangkalan. Setelah berbelok masuk ke arah desa yang dituju, barulah pak Sidik bertanya pada warga disitu. Kebetulan ada seorang ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman samping rumahnya.Pak Sidik pun bertanya pada Ibu itu. Ia memberi petunjuk bahwa nanti setelah melewati kebun-kebun, ada persimpangan jalan kecil, disitu Iwan harus berbelok ke arah kanan, kemudian lurus saja, nanti selanjutnya bertemu dengan persawahan,
Malam di rumah Wahyu.Angin dingin tersebar masuk dari sela dinding bilik bambu di seluruh ruangan. Suasana malam yang dingin, ditambah kelelahan tubuh pak Sidik, Iwan, serta Wahyu seharian, membuat mereka lelap lebih cepat.Mereka tidur di ruang tamu. Suara ngorok ketiga lelaki itu, saling bersahutan, bersama suara katak yang berdendang di persawahan seberang rumah Wahyu. Nuning, Nana, dan nek Warni tidur satu ranjang di dalam kamar. Rumah kecil ini hanya memiliki 1 kamar berukuran agak luas, sama persis dengan ukuran ruang tamu. Di dalamnya ada satu ranjang bale terbuat dari bambu dengan kasur kapuk yang sudah sering dikencingi oleh Nana, anak kecil perempuan itu. Nek Warni sudah terbiasa dengan bau pipis cucunya itu. Nuning tidak sanggup membeli pampers, karena di daerah situ harga pampers seharga dengan satu butir telur ayam, sangat mahal bagi ukuran keuangan Wahyu. Lagipula sampah bekas pampers itu kadang membuat tetangga terusik, sebab tempat pembuangan sampah yang berlokasi d
Dalam benak Dini, ia sama sekali tidak percaya atas ucapan Badrun. Tiba-tiba handphone Badrun berbunyi nada panggilan masuk. Dia mengambil handphone dari dalam saku celananya, lalu melihat ke layarnya. Nama Iwan tertera disitu. Sesaat Badrun menatap kearah Dini, lalu berdiri, "Sebentar yah..," kata Badrun sambil melangkah keluar dari warung. Badrun menjauh dari warung situ, supaya suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Dini dan juga Tia. Dia menuju ke satu kursi kayu yang ada di tepi pantai. "Ya hallo kang.. gimana kabarnya?" kata Badrun, matanya menatap ke arah warung. "Assalammu'alaikum kang Badrun.. saya sehat-sehat saja. Cuma mau ngabarin, mudah-mudahan saya bisa secepatnya kembali kesitu, dan mulai kerja di tempat kang Badrun. Gimana kabar anak dan istri saya? apa kang Badrun sempat menengoknya?" "Belum sempat kang.. soalnya setiap hari saya bantu kerjaan kasir di Tempat Penampungan Ikan, jadi belum ada waktu nengokin Tia lagi," Badrun berdusta. "Oke gak apa-apa kang.. ud
“Oh, jadi kamu selama ini udah main gila dengan wanita ini? Tega kamu ya!” Nada bicara wanita itu terdengar begitu keras. Dia bertepuk tangan sambil tersenyum miring melihat kelakuan lelaki di hadapan yang tak lain adalah suaminya. “A-aku bisa jelasin semuanya, Wi. Maafin aku.” Iwan. Lelaki itu terlihat gugup. Dia yang memiliki status suami istri dengan Dewi berusaha tidak tegang. Kebusukan yang selama ini ia rahasiakan dari Dewi ternyata terbongkar juga. Ini baru pertama kali, masih banyak kebohongan lain yang sebenarnya Iwan sembunyikan. “Apa lagi yang mau dijelaskan? Kamu udah berhasil goda suamiku, pergi kamu dari rumah ini! Kamu saya pecat sebagai asisten rumah tangga!” Dewi menangis. Dia kecewa terhadap Dini yang sudah tega merusak rumah tangganya. Padahal Dini bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya sudah bertahun-tahun. “Saya bisa jelasin semuanya. Sa-saya khilaf. Ini salah paham.” Dini buka suara. Masalah selesai. Rupanya Dewi masih punya hati untuk memaafkan a
“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar. “Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan. ”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. ”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur. ”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar. ”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar. "Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya. Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu. ”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ. "Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa men
Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya. Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang. Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah. Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali. ”Iwan kemana Bu?" ”Iwan itu siapa? Ibu siapa?" Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertul
Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat."Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri,