Share

Bab 113

Author: Emilia Sebastian
“Ayu, yang dikatakan Kahar benar.” Abista juga tidak setuju Ayu mempersembahkan hadiah ulang tahunnya.

“Tapi, ini hari ulang tahun Kak Syakia. Kalau nggak terima satu hadiah pun, dia pasti sedih banget!” Ayu mengucapkan kata-kata yang terkesan khawatir, tetapi malah diam-diam melirik Syakia dengan penuh tantangan.

“Lagian, ini bukan yang pertama kalinya, apa yang perlu disedihkan? Waktu di upacara kedewasaan sebelumnya, bukannya dia nggak terima sekuntum bunga pun?” cibir Kahar. Dia melontarkan ucapan yang menyakitkan itu tanpa ragu.

“Syakia, sebaiknya kamu patuh dikit. Selama kamu patuh, Ayah dan kami pasti akan belikan kamu hadiah ulang tahun,” tambah Kahar.

Syakia menjawab dengan kesal, “Sudah kubilang, aku nggak su ....”

“Ternyata waktu merayakan ulang tahun orang lain, anggota Keluarga Angkola datang dengan tangan kosong, juga mengancam orang lain dulu sebelum kasih hadiah?”

Tepat pada saat ini, tiba-tiba terdengar suara rendah seseorang yang familier dari luar.

Damar dan yang lai
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 426

    “Sudah dengar?” Damar berkata dengan dingin, “Sekarang, adikmu ini sudah dewasa dan hebat. Dia cuma mau hidup bebas di luar sana. Buat apa kamu membelanya lagi?”“Tapi ....”Abista masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kama segera menariknya.“Kak Abista, cukup!” Kama berbicara sambil menggertakkan gigi, “Aku tahu kamu nggak berharap aku pergi. Tapi, aku benar-benar nggak tahan lagi.”Ketika mengucapkan kalimat terakhir, kekecewaan dan rasa sakit yang terpancar dari mata Kama benar-benar menyayat hati Abista. Dalam sekejap, Abista merasa dirinya bagaikan sudah kehilangan seluruh tenaga. Dia menunduk dengan pasrah dan memejamkan matanya.“Baik .... Pergilah, pergilah ...,” ujar Abista secara perlahan. Suaranya juga terdengar agak tercekat.Abista merasa dirinya yang sudah memaksakan kehendaknya. Bahkan dia sendiri juga merasa sangat kecewa pada keluarga ini, apalagi Kama yang sudah terlebih dahulu sadar. Mungkin saja Kama merasa tinggal di luar jauh lebih baik daripada tinggal di rumah

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 425

    “Bukannya itu gara-gara Ayah? Waktu aku tinggalkan kediaman ini, aku nggak punya apa-apa. Awalnya, aku mengira Ayah yang begitu pelit mana mungkin benar-benar setuju sama syarat Syakia?” ejek Kama.Ucapan itu sontak membuat Damar marah. “Lancang!”Damar menggebrak meja dan menatap Kama dengan marah. “Kama, apa begini sikap yang seharusnya kamu tunjukkan pada ayahmu?”Kama hanya tersenyum dingin dan balik bertanya, “Kalau nggak, Ayah mau aku pakai sikap seperti apa dalam menghadapimu?”“Kamu ....”Ucapan Kama sudah sepenuhnya membuat Damar murka hingga dia tidak lagi lanjut mempertanyakan keaslian ucapan Kama.“Bagus! Bernyali juga kamu! Berhubung begitu, kamu juga seharusnya dihukum karena sudah melakukan kesalahan.” Damar sudah malas berbicara omong kosong dengan putra pembangkangnya itu dan segera memberi perintah, “Bawa kemari cambukku. Aku mau hukum dia dengan aturan keluarga sekarang juga!”Siapa sangka, baru saja Damar selesai memberi perintah, Kama lagi-lagi melawannya.“Aturan

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 424

    Siapa sangka, Kama yang baru saja bersuara malah kembali bungkam. Dia memalingkan wajahnya dan menunjukkan ekspresi “kamu jangan tanya lagi, aku nggak akan jawab”.Abista lagi-lagi memelototi adiknya, lalu berujar, “Baiklah. Kalau kamu nggak mau kasih tahu aku, nggak usah ngomong. Tapi mulai sekarang, kamu harus patuhi kata-kata Kakak. Kakak suruh kamu ngomong apa, kamu ngomong apa. Jangan bantah kata-kata Ayah lagi.”Baru saja Kama hendak mengucapkan sesuatu, Abista sudah langsung menjewer telinganya hingga dia kesakitan.“Kamu mau patuhi kata-kataku atau nggak?”“Iya, iya, iya!” Kama buru-buru menyetujuinya dengan kesakitan. “Aku akan patuhi kata-kata Kakak. Jadi, Kakak sudah boleh lepaskan telingaku, ‘kan?”“Kalau kamu nggak dikasih sedikit pelajaran, kamu mana mungkin takut sama kakakmu ini.”Abista tidak langsung melepaskan telinga Kama. Dia mendengus dingin, lalu diam-diam membisikkan sesuatu pada Kama.Tidak lama kemudian, terdengar suara tamparan dari sudut itu. Selanjutnya, ka

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 423

    “Prang!”Baru saja Abista menginjakkan kakinya ke ruang baca, dia langsung mendengar suara cangkir teh yang dibanting ke lantai dan hancur berkeping-keping. Dia buru-buru berjalan masuk, lalu melihat adiknya yang setuju untuk menunggu di dalam kamarnya dengan patuh pagi ini sedang berlutut di hadapan ayah mereka.Di samping lutut Kama, terlihat cipratan teh. Dinilai dari serpihan cangkir yang ada di sana, sepertinya sudah ada beberapa cangkir teh yang dihancurkan ayah mereka.Damar duduk di kursinya dan menatap Kama dengan mata memicing. Nadanya terdengar penuh amarah. “Kama, kutanya kamu untuk yang terakhir kalinya. Apa sebenarnya yang mau kamu cari di ruang bacaku?”Kama hanya menunduk tanpa menjawab. Dari awal dia tertangkap sampai sekarang, masih belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tidak peduli bagaimana Damar bertanya, dia tetap hanya menunjukkan ekspresi datar dan bungkam.Damar pun makin marah dan berseru, “Baik. Berhubung kamu bisa melakukan hal keji seperti i

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 422

    “Kama? Ada apa ini? Kamu kenapa?”Abista buru-buru membawa Kama ke kamarnya, lalu menaruh adiknya ke atas ranjangnya. Namun, setelah mencoba untuk membangunkan Kama beberapa kali dan Kama masih belum sadar, dia sontak merasa sangat khawatir.Ada apa ini sebenarnya? Abista tahu bahwa Kama memang dibawa pulang. Namun, dia juga mendapat kabar bahwa Kama sudah pergi di pagi-pagi buta. Jadi, dia sama sekali tidak bertemu dengan Kama.Awalnya, Abista mengira Kama sudah kembali ke rumah gubuknya di kaki Gunung Selatan. Tak disangka, Kama ternyata masih berada dalam kediaman ini. Selain itu, Kama juga berada dalam keadaan pingsan di luar kamarnya. Apa ayah mereka telah melakukan sesuatu pada Kama? Ini adalah pemikiran Abista yang sudah tidak dapat percaya pada Damar lagi.Namun, Abista memutuskan untuk tidak berpikir terlalu jauh. Jika dinilai dari keadaan Kama, Kama seharusnya hanya pingsan. Setelah Kama bangun, dia akan bertanya dengan jelas kepada Kama.Setelah itu, Abista pun tidur di dip

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 421

    Tidak lama kemudian, Kama dibawa ke hadapan Adika. Adika memandang Kama yang sudah pingsan di atas lantai, lalu melirik Gading dan berkata, “Aku suruh kamu bawa orangnya kemari, bukan suruh kamu buat dia pingsan sebelum bawa dia kemari.”Gading menjawab dengan tampang tak berdosa, “Pangeran, aku juga mau langsung bawa dia kemari. Tapi begitu melihat kami, dia kira kami komplotan orang yang mengejarnya. Dia nggak berhenti meronta. Jadi, aku juga nggak berdaya dan terpaksa membuatnya pingsan.”Adika pun terdiam. Awalnya, dia masih ingin menanyakan beberapa hal pada Kama. Namun, setelah melihat keadaannya sekarang, dia pun mengesampingkan niat itu.“Bawa orangnya pergi beristirahat, lalu kabari Putri Suci.”“Baik.”Ini adalah tugas yang mudah. Gading pun menyelesaikannya dengan cepat, juga membawa surat balasan dari Syakia kepada Adika.“Pangeran, ini pesan yang mau disampaikan Putri Suci kepada Pangeran.”Begitu mendengar ada pesan dari Syakia, Adika yang sudah kembali ke Kediaman Pange

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 420

    Saat ini, Kama sudah mengetahui apa yang terjadi dulu. Yanto sama sekali tidak melebih-lebihkan kata-katanya. Hari ini, yang termasuk hal yang direncanakan hanyalah “pertemuan yang tidak disengaja”, juga sedikit sandiwara tambahan di mana Yanto hendak melarikan diri, ketakutan, dan akhirnya mengaku dengan enggan.Yanto melakukan semua ini sesuai dengan perintah Syakia. Syakia mengatakan bahwa sudah saatnya Kama mengetahui sedikit kebenarannya. Jadi, Kama pun mengetahui segalanya hari ini. Saat ini, Kama seharusnya sudah kembali ke Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan. Hanya saja, Yanto agak khawatir. Sebelumnya, Kama selalu mudah marah dan bersikap impulsif. Entah apakah dia akan bertindak sama juga kali ini. Jika begitu, dia mungkin akan merusak rencana Syakia dan membuat Damar terlebih dahulu menyadari sesuatu.Namun, Yanto tidak tahu bahwa dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, Kama yang sekarang sudah tidak lagi berani bersikap segegabah dulu. Dia sudah mendapatkan cukup banyak pe

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 419

    “Apanya yang nggak bisa ditolong? Nggak mungkin!”Kama langsung berdiri. Dia menatap Yanto dengan tidak percaya dan bertanya, “Kamu bilang, itu ucapan ayahku? Kamu yakin ayahku benar-benar berkata begitu? Kamu nggak salah dengar?”Mana mungkin Damar mengucapkan kata-kata seperti itu? Dulu, hubungan Keluarga Angkola dan Keluarga Kuncoro begitu baik. Keluarga Kuncoro mengorbankan segalanya demi Keluarga Angkola, juga tidak berhenti membantu Damar dan seluruh orang di Kediaman Adipati Pelindung Kerajaan.Kama bahkan tidak perlu sengaja mengingat hal-hal ini. Sebab, semua orang di ibu kota juga mengetahuinya. Selain itu, Damar juga sering menceritakan kebaikan Keluarga Kuncoro terhadap keluarga mereka. Selama belasan tahun terakhir, dia juga selalu membawa mereka sekeluarga pergi ke makam Keluarga Kuncoro untuk memberikan penghormatan setiap tahunnya.Semua hal ini sudah menunjukkan seberapa mendalam ikatan di antara kedua keluarga. Namun, Yanto malah memberi tahu Kama bahwa ayahnya mengu

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 418

    Namun, mereka sudah susah payah bertemu. Kenapa Yanto malah hendak pergi dengan begitu terburu-buru? Apa Yanto tidak ingin menemuinya? Kama merasa agak aneh.Kama menatap Yanto lekat-lekat, lalu berkata dengan nada yang agak memaksa, “Paman Yanto, kamu turun dulu. Kita sudah begitu lama nggak ketemu. Sebaiknya kita cari tempat untuk mengobrol dengan baik.”Yanto bertemu pandang dengan Kama, lalu akhirnya menghela napas. “Baiklah.”Tidak lama kemudian, Yanto dan Kama duduk di dalam ruang privat di sebuah restoran terdekat. Sebenarnya, mereka juga tidak duduk bersama. Setelah masuk ke ruang privat, Kama memesan beberapa hidangan, lalu melihat ke arah Yanto yang masih berdiri tidak jauh dari sana.“Paman Yanto, aku sudah bukan putra kedua Keluarga Angkola lagi. Jadi, kamu nggak usah berdiri terus. Ayo kemari dan duduk bersamaku.”“Nggak, aku yang bersalah pada kalian. Selama ini, aku memang merasa malu untuk bertemu kalian. Setelah bertemu dengan Tuan sekarang, aku merasa makin malu. Jadi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status