"Hey! Hey! Jangan mati dulu!" ucap seseorang yang seketika membuat Nara mengerang lemah.
Tubuhnya yang sudah terlalu lemas, membuat Nara tak bisa bergerak bahkan menoleh. Hingga perlahan-lahan, kedua netranya yang sudah terpejam pun kini mulai terbuka dengan pandangan yang kurang begitu jelas."Siapa kamu?" tanya Nara pelan dengan bibir yang sudah pucat.Pria itu tak menjawabnya, melainkan langsung mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Nara direbahkan di dalam sebuah mobil yang sudah terbuka, dan langsung disodorkan oleh sebotol air mineral yang baru saja dilepaskan segelnya.Pria itu memegangi botol minuman Nara, hingga telapak tangannya bersentuhan langsung dengan punggung tangan dingin perempuan tersebut. Pandangannya saling bertemu dengan netra merah yang masih basah, membuat manik matanya bisa sedikit banyak mendalami apa yang telah dirasakan oleh perempuan itu."Kenapa kamu menolongku?" tanya Nara tiba-tiba yang langsung membuat dahi pria itu mengerenyit heran. "Kenapa kamu tidak membiarkanku mati di sana saja?" lanjutnya dengan nada yang kian menghentak.Pria itu mengusap pelan wajahnya, hingga akhirnya ia melemparkan botol bekas minuman Nara ke tempat sampah yang kebetulan tak jauh dari sisinya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, dengan manik mata yang kembali mengunci pandangan perempuan yang ada di hadapannya."Apa kamu sudah gila?" ucap pria pelan, tanpa penekanan sama sekali. "Apa semua masalah bisa diselesaikan dengan cara bunuh diri?"Untuk sesaat, Nara terdiam tanpa menanggapi apa pun. Di dalam benaknya, masih terputar dengan jelas kilasan kenangan buruk yang baru saja dilewatinya. Hingga tangisnya kembali pecah, di saat ia tak sengaja melihat sebuah cincin berkilau yang masih berada di jari manis tangannya. Itu adalah cincin pernikahannya bersama Evan, yang masih belum sempat Nara lepaskan."Bunuh diri itu adalah perbuatan terbodoh! Apa kau mau mengalami kesulitan di dunia dan juga kesulitan di alam sana?"Lagi-lagi Nara terdiam, sambil mengigit bibirnya dengan kencang. Ia sedang berusaha menahan ledakan tangisnya, yang semakin membuat dirinya tersiksa. Namun sayangnya, hal itu malah membuat tekanan emosi yang ada di dalam dirinya semakin pecah. Tangis Nara semakin menjadi, hingga tiba-tiba saja ia merasakan sebuah dekapan hangat yang memenangkan dirinya."Ssstt, tenanglah. Sepertinya aku bisa membantumu, Nara," ucap pria tersebut yang seketika membuat tangis Nara mereda.Nara begitu terkejut ketika pria itu menyebut namanya, hingga perlahan-lahan pun ia mulai memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya. Kini wajahnya berhadapan langsung dengan pria yang sama sekali tak dikenalnya tersebut, sampai kedua netranya nampak sama sekali tak berkedip menatap pria yang hadir seperti dewa penolongnya itu."Aku Dimas, dan aku sudah tahu masalahmu. Jadi bagaimana kalau kita berdua bekerja sama saja untuk menghancurkan Evan?"Berawal dari tawaran itu, kini Nara tengah terpaku pada beberapa gedung menjulang tinggi yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tak tahu ke mana pria bernama Dimas tersebut akan membawanya pergi, hingga dirinya cukup terkejut ketika wajah pria itu tiba-tiba hadir persis di hadapan wajahnya."Selamat datang di apartemenku, Nara!" ucap Dimas setelah berhasil melepas sabuk pengaman perempuan itu."Untuk sementara ini, kamu bisa tinggal di apartemenku terlebih dahulu," lanjut Dimas dengan sebuah senyum tipis yang membuat Nara kembali tertegun.Pria itu cukup tampan, dan juga menarik. Namun yang menjadi pertanyaan besar Nara saat ini adalah tentang tujuan pria itu yang sebenarnya. Jujur, ia sedikit ragu. Terlebih dengan cara Dimas yang menawarkannya tempat tinggal bagai sesuatu yang sangat enteng. Nara takut kembali dimanfaatkan, seperti kejadiannya bersama Evan."Di sini ada beberapa pelayan yang akan membantumu, dan di sana adalah tempat yang akan menjadi kamarmu," lanjut Dimas yang mulai memperkenalkan satu per satu bagian apartemennya.Di sepanjang langkah kakinya, Nara hanya bisa terdiam sambil memandang lekat sekelilingnya. Netra hitam perempuan itu terus membulat, seolah tengah kagum dengan segala kemewahan yang ada di sekelilingnya. Sampai akhirnya kini, ia disuruh menunggu di sebuah sofa besar oleh sang pemilik apartemen untuk sesaat."Surat apa ini?" tanya Nara terkejut, ketika disodorkan oleh sebuah surat di hadapannya.Dimas tersenyum, sambil duduk di hadapan perempuan itu. Ia akhirnya menaruh surat tersebut di atas meja, karena Nara yang tak kunjung mengambilnya."Itu adalah surat perjanjian kerja sama kita untuk menghancurkan hidup Evan. Silakan baca dan tanda tangani dokumen ini!"Untuk sesaat Nara terpaku, sambil memandangi sebuah surat yang ada di atas map bewarna hijau tersebut. Perasaannya seketika menjadi tak enak, karena khawatir surat perjanjian itu akan memberatkan hidupnya. Hingga akhirnya, dengan ragu-ragu ia pun mulai mengambil surat tersebut dan membacanya secara perlahan."Aku harus mematuhi segala perintahmu?" tanya Nara dengan alis yang menekuk, ketika pandangannya terjatuh pada salah satu poin yang paling menjadi pusat perhatiannya.Dimas mengangguk, sambil menyeruput kopi hangat yang ada di hadapannya. Pria itu nampak sangat santai, tanpa mengindahkan raut keraguan yang timbul di wajah Nara."Iya, itu hanya untuk jaga-jaga kalau ternyata dirimu masih mencintai Evan," jawab Dimas akhirnya, sambil kembali menaruh segelas kopinya di atas meja. "Aku tidak mau dirugikan, atau pun dibohongi," lanjutnya dengan sedikit penekanan.Tatapan netra Dimas yang tajam, seketika membuat Nara tertunduk takut. Kini ia mulai bimbang dengan pria yang telah menolongnya itu, hingga akhirnya Nara memaksa otaknya untuk berpikir cepat untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat."Aku rasa itu adalah hal yang cukup setimpal dengan semua yang telah kuberikan. Aku akan memenuhi seluruh kebutuhanmu, dan juga membantu mengatasi semua masalahmu dengan Evan. Jadi sebagai imbalannya, kamu hanya perlu menuruti perintahku saja. Bukankah itu adalah sebuah persyaratan yang cukup mudah?"Nara kian merasa terhimpit. Ia benar-benar berada di posisi yang sangat sulit untuk memilih. Jika dirinya menyetujui Dimas, itu berarti seluruh hidupnya akan terus berada di tangan pria itu. Akan tetapi jika ia menolak tawaran kerja sama tersebut, sepertinya sudah bisa dipastikan kalau hidupnya akan semakin menderita ke depannya nanti."Sudah, tandatangani saja surat perjanjian itu. Aku tidak akan memintamu untuk melakukan hal yang lain," tambah pria itu sedikit memaksa."Benarkah? Tidak ada hal yang lain?""Tidak ada, aku hanya senang membuat mantan suamimu itu menderita!"Satu jawaban itu seketika ampuh membuat diri Nara kembali menegang. Tidak terdengar sama sekali nada penekanan di sana, akan tetapi rasanya sungguh terasa menyeramkan. Hingga akhirnya, Nara pun meraih sebuah pulpen yang telah disodorkan dan menandatangani dokumen tersebut dengan cepat."Bagus! Kamu telah membuat keputusan yang tepat, Nara!" puji Dimas dengan seutas senyumnya. "Kalau begitu beristirahatlah sekarang, karena besok kita akan memberikan kejutan pertama untuk mantan suamimu itu!""Di mana ini?"Sebuah pertanyaan itu terlontar dari bibir Nara, ketika kendaraan mewah milik Dimas sampai pada suatu tempat yang sangat asing di matanya. Ada beberapa logo stasiun TV yang terpajang pada beberapa mobil di hadapannya, dan juga ada sebuah kerumunan besar yang menimbulkan rasa ingin tahunya."Apa kamu sudah membawa seluruh surat-suratnya?" tanya Dimas yang malah melontarkan pertanyaan lain.Nara mengangguk, hingga membuat rambut hitam indahnya bergerak menutupi sebagian wajahnya. Dimas yang melihatnya pun langsung refleks membenarkan tatanan rambut itu, sampai seketika pandangannya kembali bertemu."Cantik," gumam pria itu tanpa sadar, tepat di hadapan Nara. Satu sudut bibirnya terangkat, hingga kembali menampilkan sebuah lesung pipi kecil di pipi kanannya.Untuk sesaat Dimas terlihat mengagumi kecantikan Nara. Bulu mata lentik alami, bibir merah merona, sungguh membuat fokusnya teralihkan. Dimas memperhatikan lama wajah Nara yang kini telah berbalut polesan makeup tipis,
"Sudah puas kau, Nara!"Plakk!Nara seketika terkejut, di saat Bella tiba-tiba hadir di hadapannya. Ia pikir wanita itu sudah pergi meninggalkan tempat ini, tetapi nyatanya tidak. Kini Bella malah menemukan tempat persembunyiannya dari kejaran para wartawan, dan berdiri di hadapannya dengan tatapan yang berapi-api."Apa-apaan ini? Kenapa kau menamparku?" tanya Nara sambil memegangi salah satu pipinya yang terasa panas."Kau bertanya, Nara? Kau pikir aku akan diam saja setelah kau mempermalukanku di depan para wartawan? Hah?" ujar Bella dengan tatapan yang kian menusuk tajam ke arah Nara. Langkahnya semakin maju, hingga membuat Nara semakin terpojokkan."Kau ini aneh, Bella! Seharusnya kau berterima kasih kepadaku, karena aku sudah membongkar semua kebusukan suami barumu di awal seperti ini! Bukan malah berbalik menyerangku, seolah-olah aku penjahatnya di sini!"Tangan Nara bergerak hendak mendorong bahu wanita itu, tetapi sayangnya Bella malah menarik terlebih dahulu rambutnya. Geraka
"Hmmphh!"Nara tercekat, ketika tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya dan langsung menarik tubuhnya menjauh. Ia berusaha melawan, tetapi sayang tubuhnya malah seketika terangkat melayang ke atas."Ssstt! Jangan berisik!" bisik sesosok pria dengan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Pria itu membawa Nara bersembunyi di balik tumpukan drum kosong, dengan terus menutup mulutnya agar tak lagi mengeluarkan suara. Sampai akhirnya langkah Evan dan Bella terdengar semakin mendekat, dan kedua orang tersebut terlihat terus berlalu-lalang tak jelas di hadapannya."Sepertinya dia sudah kabur, Mas!""Akhh! Sial! Biar nanti kita beri pelajaran perempuan kampungan itu lagi! Biar bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas aksi nekatnya tadi!" ujar Evan kesal, sambil kembali menuruni anak tangga bersama Bella.Melihat situasi yang sudah mulai aman, pria misterius itu pun akhirnya melepaskan dekapannya pada Nara. Tak lupa juga ia membuka penutup kepalanya, dan menampakkan wajahnya lan
"Sebenarnya kamu siapa, Mas?"Dengan tangan yang sedikit bergetar, Nara pun langsung memutuskan untuk memisahkan foto itu dari bingkainya. Ia melipatnya menjadi dua bagian, dan mengantonginya di dalam saku celana."Sebaiknya aku harus segera tanyakan ini pada Mas Dimas nanti," putusnya sambil menyeka sekilas tetes air matanya yang sempat terjatuh.Sementara tanpa sepengetahuan Nara, Dimas sedang terlibat dalam situasi yang cukup tegang dengan seorang wanita di dalam ruangan kerjanya. Wanita itu menuntut banyak hal pada pemilik rumah produksi DMS Hitz tersebut, karena tak terima dengan keputusan sepihak perusahaan yang baru saja memberhentikannya secara sementara beberapa saat yang lalu."Tetapi kenapa harus tiba-tiba seperti ini keputusannya, Pak? Saya sangat merasa dirugikan di sini!""Maaf, Bella. Seperti yang sudah tertera di perjanjian kontrak awal, DMS Hitz tidak pernah menyukai artis yang terlibat dalam kasus. Ini hanya untuk sementara, sampai semua kasusmu menemui titik terang.
"Aku mau .... Awhh!"Seketika Nara terpeleset, dan hampir terjatuh andai saja tak ada Dimas yang langsung cepat tanggap menggapai tubuhnya."Jangan terburu-buru," bisik Dimas tepat di samping telinga Nara. Bahu perempuan itu seketika terangkat sekilas, mencoba menahan rasa geli yang seketika menjalar di tubuhnya.Selang tiga jam setelah kakinya dipijat oleh salah satu asisten rumah tangga Dimas, Nara pun mengerenyitkan dahinya ketika melihat beberapa gaun cantik yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, hingga terdengar suara langkah seseorang yang mulai memasuki area kamarnya."Sudah bangun?" tanya Dimas yang seketika langsung duduk di tepian ranjang. "Apa sudah lebih baik?" Dimas menatap ke arah kedua kaki Nara yang masih tertutupi oleh selimut. Sorot mata pria itu selalu terlihat tajam, hingga membuat Nara beringsut dari tempat tidur dan menganggukkan kepalanya tanpa berani berkata-kata."Bagus, kalau begitu sekarang pilihlah dari beberapa gaun yan
Napas Bella seketika tercekat, ketika mendapati sorot mata tajam dan dingin ke arahnya. Sama halnya dengan Nara, yang sedetik kemudian langsung memanfaatkan momen ini untuk terlepas dari jeratan Evan."Atau apa, Bella? Apa yang akan kau lakukan pada wanitaku?"Deggh!Jantung Nara benar-benar berhenti, di saat Dimas menarik salah satu lengannya dan langsung merangkulnya dengan begitu posesif. Tak hanya itu, pria tersebut juga terus menyentuh dan mengusap bahunya sangat lembut dan membunuhi kecupan singkat di sana.Sumpah demi apa pun, Nara tak kuasa dengan sensasi aneh yang seketika menjalar di seluruh tubuhnya! Rasanya ia ingin pingsan saja detik ini!"Ap–apa maksudmu, Pak? Dia wanita bayaran yang kau sewa?" tanya Bella terbata-bata, dengan kedua mata yang hampir tak berkedip memandangi interaksi dekat antara Nara dan Dimas.Siapa yang tidak terkejut, atau bahkan cemburu dan iri dengan perempuan yang berhasil dekat dengan Dimas? Pria pemilik rumah produksi yang cukup terkenal itu, mem
Kedua netra Nara seketika terbelalak, bahkan kini satu per satu peluh mulai membasahi tubuhnya. Tatapan Dimas yang kini mulai menajam ke arahnya, seolah membuktikan bahwa ucapan pria itu tak main-main. Bahkan detik ini Dimas kian mengikis jaraknya, dengan satu tangan yang semakin melingkar sempurna di pinggangnya."Dia ... Dia telah mengejekku sebagai wanita bayaran, Mas!"Satu sudut bibir Dimas kembali terangkat, ketika Nara sekarang bisa lebih lantang berbicara di hadapan Bella. Kini ia semakin menarik perempuan tersebut ke dalam pelukannya, dengan sesekali menghirup aroma wangi yang menguar dari tengkuk perempuan tersebut. Dimas mengarahkan tatapannya secara sinis ke arah Bella, dan juga ke arah beberapa wanita yang nampak sangat iri dengan Nara."Maaf, Bella. Sepertinya kesalahanmu itu tidak bisa lagi dimaafkan, terlebih ini bukanlah kesalahan pertamamu. Bukankah saya sudah memberikanmu peringatan pertama sebelumnya?" ucap Dimas yang sedikit menyindir tentang video pertengkaran da
Keesokan harinya, langkah kaki Nara terdengar buru-buru meniti sebuah anak tangga. Napasnya terdengar sedikit tersengal, begitu pula dengan tetes keringat yang mulai terlihat di keningnya. Kedua netranya memandang sekitar, dan berhenti tepat di sebuah pintu besar yang ada di hadapannya.Tokkk! Tokk!"Permis—""Masuk!"Nara menghela napasnya pelan, sebelum akhirnya salah satu tangannya tergerak meraih kenop pintu dan mendorongnya secara perlahan. Sebelumnya ia telah menduga, pasti sosok pria pemilik ruangan itu akan sangat marah padanya karena telah terlambat datang satu jam dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya."Maaf, Mas. Aku—"Cupp!"Sudah tidak apa-apa, lebih baik kita langsung berangkat sekarang," sela Dimas yang ternyata tanggapannya sangat jauh di luar ekspektasi.Nara pikir Dimas akan sangat marah, tetapi nyatanya tidak. Pria itu malah dengan santainya mengecup pucuk kepalanya, hingga membuat dirinya membeku untuk beberapa saat. Akhir-akhir ini Dimas memang selalu bersik