เข้าสู่ระบบApakah Alya tetap bertahan atw pergi ?
Alya yang baru saja menyuap nasi langsung tersedak.“Uhuk!”Ia memukul lengan Revan keras-keras sambil terbatuk. “REVAN! Mulutnya!”Revan hanya tertawa, menuangkan air mineral ke gelas dan menyodorkannya pada Alya. “Bercanda, Sayang. Makan dulu.”Mereka pun makan dalam diam yang nyaman, menikmati sisa waktu berdua di apartemen itu sebelum kembali ke rumah.***Langit malam kota sudah sepenuhnya gelap saat mobil Revan akhirnya keluar dari area apartemen dan membelah jalanan yang mulai lengang.Cahaya lampu jalan yang kekuningan menerpa wajah mereka bergantian, menciptakan bayangan yang bergerak ritmis di dalam kabin mobil.Alya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela, menatap kosong ke arah gedung-gedung tinggi yang berlalu cepat. Rasa kenyang ditambah lelah pasca aktivitas mereka tadi membuat matanya terasa berat, tapi hatinya terasa penuh dan hangat.Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit.Revan, yang sejak tadi menyetir dengan satu tangan santai di kemudi semen
Alya langsung mendelik. "Udah ya, Van. Nggak usah aneh-aneh," tolaknya cepat sambil beranjak berdiri. "Aku sudah lapar banget, nanti kalau pingsan di kamar mandi gimana?"Revan terkekeh kecil melihat reaksi Alya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar, matanya masih jahil memindai tubuh Alya."Yakin udah?" godanya lagi. "Aku masih kuat, lho."Wajah Alya memerah seketika. Ia buru-buru mengambil langkah mundur. "Van, aku pulang beneran nih kalau kamu mulai lagi!" ancamnya, meski kakinya tidak benar-benar melangkah pergi.Revan menaikkan sebelah alisnya, tampak sama sekali tidak terintimidasi."Coba aja kalau berani," tantangnya santai. Nada suaranya rendah namun penuh peringatan main-main. "Kamu keluar dari pintu itu..."Ia menyeringai. "aku hukum kamu di rumah."Alya yang sudah setengah jalan menuju kamar mandi langsung berbalik badan, menatap Revan dengan wajah tak percaya."Ih! Main ngancem-ngancem segala!" protesnya kesal sambil menghentakkan kaki pelan.“Biarin,” s
Revan mengecup lembut titik denyut nadi di sana, membuat Alya refleks mendongak dan mendesah pelan. Kecupan itu perlahan berubah menjadi hisapan kecil yang posesif, meninggalkan jejak hangat yang seketika mengaburkan akal sehat Alya. Rasa lapar di perutnya lenyap, digantikan oleh rasa lapar lain yang terbangun perlahan karena sentuhan Revan.Tangan Revan yang melingkar di pinggang Alya mengerat, menarik tubuh mungil itu hingga menempel rapat padanya tanpa menyisakan jarak. Ia menghirup aroma tubuh Alya dalam-dalam, seolah itu adalah satu-satunya oksigen yang ia butuhkan untuk bernapas.“Masih mau bilang enggak?” goda Revan, suaranya rendah, di sela ciumannya yang kini merambat naik ke arah rahang.Alya menyerah. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi menggelitik itu mengambil alih dirinya sepenuhnya.“Dasar curang…” gumamnya pasrah, suaranya nyaris tenggelam di antara napas mereka.Revan terkekeh pelan. Ia akhirnya mengangkat wajah, menatap Alya yang tampak berantakan dan sayu, pem
Perut Alya tiba-tiba berbunyi cukup keras di tengah keheningan.Grrrkk…Revan yang memejamkan matanya sontak membukanya. Tubuhnya bergetar pelan karena tawa yang ia tahan. Ia menunduk, menatap wajah Alya yang sudah memerah.“Kamu lapar?” tanyanya, tangannya mengusap perut rata Alya yang baru saja berbunyi.Alya mengerang pelan, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu setengah mati. “Iya, Van…” katanya jujur dari balik telapak tangan. “Gara-gara kamu, aku belum sempat makan siang.”Revan tertawa lepas. Suaranya renyah memenuhi ruangan. Ia mengecup puncak kepala Alya dengan gemas.“Ya sudah, kita pesan makan aja,” usulnya santai sambil meraih ponselnya yang tergeletak di meja dekat sofa. “Mau apa? Pizza? Sushi? Atau nasi padang?”Alya menurunkan tangannya, menatap sekeliling ruangan apartemen yang mewah tapi tampak sepi itu.“Di sini nggak ada bahan yang bisa dimasak, Van?” tanyanya penuh harap. “Mie instan atau telur gitu?”Revan menggeleng tanpa rasa bersal
Tanpa aba-aba, satu tangan Revan menyelip di bawah lutut Alya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh gadis itu. “Ah!” Alya memekik kaget. Kedua kakinya refleks melingkar di pinggang Revan, sementara lengannya memeluk leher pria itu erat-erat agar tidak terjatuh. “Revan! Turunin!” protesnya, napasnya sudah tak beraturan, wajahnya memanas. “Nanti,” jawab Revan singkat. “Kalau kita sudah di sofa.” Ia melangkah menuju sofa panjang di ruang tengah yang temaram. Namun ia tak sekadar meletakkan Alya. Revan ikut menindih tubuhnya, mengurungnya di antara sandaran sofa yang empuk dan tubuhnya yang kokoh. Alya terengah. Dadanya naik turun cepat, bergesekan dengan dada Revan yang menempel rapat padanya. Jarak wajah mereka tinggal beberapa sentimeter. Mata Revan yang gelap menelusuri wajah Alya perlahan, seakan ingin menghafal setiap ekspresi pasrah yang kini terlihat begitu memikat. “Kamu kelihatan cantik banget kalau lagi berantakan begini,” bisiknya serak. Ibu jarinya mengusap
Alya menarik nafas dalam-dalam.“Van,” ucap Alya pelan, nadanya melembut. “Bisa nggak imbalannya nanti aja? Kalau udah sah. Cuma seminggu lagi kok.”Revan tetap menatap jalan. “Nggak bisa, Alya. Aku udah bilang. Aku nggak mau nunggu selama itu.”Alya menggigit bibirnya. “Nanti malam pertama kita jadi nggak berkesan, Van.”Revan meliriknya sebentar, lalu berkata tenang namun tegas, “Apapun, asal sama kamu, selalu berkesan.”Kalimat itu membuat Alya kehabisan kata.Ia terdiam. Tangannya saling menggenggam di pangkuan, dadanya terasa penuh oleh campuran takut, pasrah, dan perasaan yang tak sanggup ia uraikan.Tak lama kemudian, mobil memasuki area parkir basement apartemen mewah itu.Revan mematikan mesin, tapi ia tidak segera turun. Ia hanya duduk diam, membiarkan kegelapan di dalam mobil perlahan mengambil alih.Alya bisa merasakan jantungnya seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Ia tidak berani menoleh. Ia tahu, di balik wajah tenang Revan, ada badai yang sedang menunggu







