“See, aku emang gak pernah salah menilai tubuh cewek,” kata seorang laki-laki yang menangkap tubuh Wina. Suaranya begitu berat, dan saat mendongak Wina lebih terkejut lagi.Lidah Wina mendadak kaku. Laki-laki bermata sipit di depannya ini tidak seharusnya mengetahui identitas aslinya, atau samarannya akan hancur setelah ini.Pria berkemeja biru langit—yang masih setengah memeluk Wina—itu adalah Aldo.Aldo mengeluarkan smirk-nya. Auranya sangat berbeda jauh dari sosok Aldo yang pernah Wina temui di apartemen Dirga.“So, who really you are?”Buru-buru Wina melepaskan diri dari Aldo. Menghembuskan napas panjangnya. Menetralkan kembali raut wajahnya.“Maaf, salah orang.” Elak Wina dengan halus. Ia juga tersenyum sebelum meninggalkan Aldo. Ekpresi wajahnya sangat ramah dan tenang. Bertolak belakang dengan hatinya yang tengah berkecamuk.Namun baru beberapa langkah, terdengar tawa dari belakang. Di sana Aldo tengah tertawa mengejek. Wina berusaha mengabaikannya dengan melanjutkan langkahnya
Keesokan harinya, Wina datang ke apartemen sedikit siang karena harus ke rumah sakit terlebih dulu.Ia berjalan dengan langkah cepat menuju unit apartemen Dirga. Namun di belakangnya, Wina juga merasakan laki-laki berwajah oriental, Aldo, mengejarnya dan mempercepat langkahnya. Tepat di belakangnya.Begitu Wina membuka pintu apartemen, laki-laki yang sedari tadi mengikuti tanpa suara juga ikut masuk.“Ngapain ngikutin, sih?”Dengan pongahnya, Aldo duduk santai di sofa ruang tamu. Menumpukan punggungnya di senderan sofa dengan kaki disilang. “Ngawasin penjahat yang sedang cosplay jadi bocah,” sahut Aldo enteng.Wina menghela napasnya berat. Untung saja majikannya sedang tidak ada di apartemen. Ia berniat untuk tidak mempedulikan lelaki yang memancarkan aura permusuhan dan menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin.“Jadi tujuan kamu apa?” Tanya Aldo dengan nada ketus.Wina mendekati Aldo di sofa. “Gak ada urusannya sama kamu!”“Kalau sampai kamu bilang sama dokter Dirga,” lanjutnya. “A
Semenjak kejadian di apartemen waktu itu, Wina memang lebih banyak diam. Namun isi kepalanya selalu berperang, antara ingin membantu Rizal atau balas budi Dirga.“Itu baksonya nanti berubah trapesium kalau kamu aduk terus, Win.” Gurau Edo membuyarkan lamunan Wina. Saat ini mereka tengah duduk di kantin kampus.Hari ini Wina ke kampus berniat menemui dosennya untuk mengajukan judul. Namun sayangnya, sang dosen mendadak ada urusan. Jadi hari ini ia gunakan untuk temu kangen dengan kampus dan teman-temannya.“Oh, ya, Do. Menurut kamu, kesalahan fatal apa si yang bisa menghancurkan sidang skripsi mahasiswa?” Tanya Wina tiba-tiba, dan hanya ditanggapi kekehan kecil dari Edo. Ia pikir, sahabatnya ini sudah overthinking sebelum mulai mengejerkan skripsi.Wina mengernyit heran, mendongakkan dagunya seakan bertanya ‘apanya yang lucu?’“Win, kamu tuh jangan overthinking dulu, deh. Judul aja belum di-ACC. Janji nanti bakalan aku bantu juga, kok.” Ucap Edo mencoba menenangkan Wina.Kini gantian W
Dirga memasuki ruang tunggu untuk sidang dengan sedikit tergesa-gesa. Sampai disana suasana sudah cukup ramai, namun perhatiannya hanya tertuju pada wanita yang selalu mengisi hatinya. “Sheryl!” Panggilnya lembut. Kemudian ia menghampiri salah satu peserta sidang tesis yang sedang dilanda kepanikan itu. Tangannya sibuk memainkan kuku dengan bibir yang terus bergerak tanpa suara. “Sher,” panggilnya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Karena ia paham jika sedang gugup atau panik, Sheryl hanya akan fokus pada satu hal. Melihat siapa yang memanggil, senyum Sherylpun merekah. “Dirga!” “Aku nervous banget,” ungkapnya. Lalu tangannya meraih telapak tangan Dirga yang 4 centi lebih panjang untuk sekedar saling berbagi kekuatan. Sebenarnya Dirga juga sangat gugup mengingat persiapannya yang belum matang 100 persen. Namun di hadapan Sheryl, ia memaksakan untuk terlihat lebih santai. Selain itu, kabar buruknya adalah dosen penguji pada sidang kali ini merupakan salah satu dosen kil
Kejadian kemarin sukses membuat Dirga frustasi. Beruntung ia masih bisa memendam emosinya. Namun sejak kemarin ia tak mengaktifkan ponselnya. Bahkan melirik saja tidak. Kini yang menjadi sasarannya adalah kamarnya.Tak hanya gelap, kamar yang terkesan maskulin itu kini penuh dengan asap rokok. Kepulan asap yang sudah terkumpul dari semalam tak kunjung pergi. Jangan tanya lagi bagaimana pengapnya kamar itu.“Om!”Perlahan pintu kamar terbuka. Memunculkan Wina yang baru saja masuk kerja. Mahasiswa berbadan kecil itu hanya berdiri di ambang pintu. Enggan untuk masuk karena dari luar saja bau kamar majikannya sudah cukup mengusik penciumannya.“Om,... uhuk uhuk!” Baru saja selangkah masuk, Wina sudah terbatuk karena asap rokok.“A-aku gak tahu cerita lengkap permasalahan kemarin,” Wina maju selangkah lagi tapi dengan tangan menutup hidung.“Tapi kalau Om Dokter mau ngegalau, cukup hari ini saja, ya.”Lagi-lagi Dirga tak menjawab. Telinganya memang mendengarkan, namun bibirnya berat untuk
Langkah Wina terasa sangat ringan saat berjalan di koridor rumah sakit. Ia seakan menikmati bangsal demi bangsala, ruang demi ruang. Jangan lupakan senyum yang masih betah terpasang di bibirnya.Bagaimana tidak, karena hari ini judul skripsi yang baru diajukan langsung di ACC oleh Kepala Prodinya. Rasanya tak sia-sia ia berpenampilan rapi dan pergi pagi-pagi—setelah dari apartemen Dirga—ke kampus.Perpaduan kemeja berwarna dusty pink dan rok panjang skirt abu-abu bermotif bunga, sangat terlihat pas dan membuat Wina nampak lebih dewasa. Setiap melewati cermin atau kaca, Wina pasti berhenti beberapa detik untuk melihat refleksi dirinya. Senang saja karena hari ini ia terbebas dari pakaian zaman SMP-nya.“Pagi, Ayah.” Sapa Wina dengan riang.Ya, meski yang disapa tak memberi respon apapun.Wina duduk dan mulai membuka laptop-nya untuk sedikit mengerjakan proposal judul skripsinya. Hingga tak terasa ia betah di depan laptop sampai jam makan siang.Ia berencana pesan makan siang secara onl
Kini Dirga dan Wina berada di sebuah cafe vegetarian terdekat dari rumah sakit. Sayang sekali padahal Wina jika disuruh memilih, Wina lebih suka warung nasi padang belakang rumah sakit. Sudah porsinya banyak, enak, terjangkau lagi.Akhirnya Wina hanya memesan jus tomat dan Dirga memesan jus wortel.Cih, sok-sokan ke caffe vegan. Biasanya juga junk food! Ejek Wina dalam hati saat melihat pesanan sang dokter. Ia bertaruh minuman yang dipesan pasti tidak akan dihabiskan.Sudah lebih dari 10 menit setelah pesanan mereka datang. Namun tak satupun dari mereka memulai percakapan. Wina perlahan meminum jus tomatnya dengan nikmat tanpa memerdulikan tatajam tajam dari dokter tampan.Menatap jus tomatnya dan ‘Kakak Wina’ secara bergantian. Sedikit menyesal karena dengan percaya dirinya ia memesan jus wortel. Jus yang ia benci karena sering dipaksa minum oleh Bundanya.Sebenarnya random saja sih tadi Dirga menyebutkan jus wortel. Biar kelihatan dokter yang hidupnya sehat banget aja.“Kamu kuliah?
Tak bisa dipungkiri, Dirga memang masih galau karena tragedi sidang tesis. Rasanya ia juga enggan menemui siapapun. Namun undangan makan malam dari kakeknya tidak bisa ia abaikan.Bagai simalakama. Jika ia tidak hadir saat makan malam, kedua orangtuanya tidak akan tinggal diam. Namun jika hadir, ia harus siap akan disidang oleh kakeknya di hadapan keluarga besarnya. Sebab berita sidang tesisnya kemarin pasti sedang menjadi topik hangat di keluarga Hermanto.Sudah menjadi rahasia umum lagi jika antar anggota keluarga besar Hermanto saling berebut jabatan dan harta. Jadi tidak heran jika mereka selalu bersaing mendapat perlakuan istimewa dan perhatian lebih dari kakek Hermanto.Salah satu caranya yakni dengan selalu menunjukkan prestasi dan kelakuan baiknya—meski pura-pura.“Aku kira, calon dokter bedah kebanggaan keluarga Hermanto ini gak bakal berani muncul.” Sindir Rizal saat mereka tiba di teras mansion keluarga Hermanto.“Bukankah itu kata-kata untuk kamu sendiri?” Bukan Dirga yan