"Yulia sudah tidak ada," ucap Alan saat menemui istri dan ibunya di kamar. "Ya bagus kalau begitu. Berarti dia itu sadar diri," ucap Vina ketus."Tapi, Bu, Yulia tidak salah apapun. Jangan terlalu kasar padanya." "Alan! Kamu ini apa-apaan sih?" Alan hendak menjawab, namun Aira lebih dulu menimpali."Ya, Bu, Mas Alan benar. Aira yang sudah mengundangnya. Tapi ... Aira malah meninggalkannya." "Ya kenapa kamu mengundangnya segala? Kamu seakan mengundang penyakitmu sendiri." Aira terdiam, merasa tertampar dengan apa yang Vina katakan. Awalnya, ia merasa sudah bisa mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Yulia. Dia ingin mengenal wanita itu lebih dulu sebelum menikahkannya dengan Alan. Tetapi, ternyata sesuatu yang tak ia sangka malah melukai hatinya. Sore tiba, Vina sudah pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah mereka. Sedangkan Aira, di saat fikiran kacau seperti ini ia membutuhkan Maulida untuk mencerahkan fikirannya. Ia berpamitan pada Alan, tetapi Alan mencegah dan meminta A
Yulia membulatkan matanya saat melihat istri Alan sudah berdiri di depan rumahnya dengan tersenyum lembut. "Hay, aku tidak mengganggu, kan?" tanyanya pada Yulia yang masih diam mematung. "Eh, i-iya. Tidak, kok, Mbak." "Aku boleh masuk?" tanyanya menunjuk ke dalam."I-iya, boleh. Silahkan," ucap Yulia dengan keterkejutan yang masih belum hilang.Aira mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, ia duduk di kursi dengan anggun. "Mbak sendirian ke sini?" tanya Yulia membuat Aira mengerutkan dahi. "Eh, m-maksud saya ... Mbak tau dari mana saya tinggal di sini?" tanyanya meralat pertanyaan pertama. Yulia tak sadar kalau pertanyaannya itu dapat menimbulkan Aira salah faham mengira Yulia mengharapkan kedatangan Alan."Oh, itu masalah yang mudah. Aku tanya Mas Alan dan minta datang ke sini sendiri," jelasnya membuat Yulia semakin merasa tak enak."Memangnya ada apa?" tanyanya dengan takut. Ia takut, kalau kedatangan Aira ke sini untuk melabraknya. Tak jauh dari sikap Vina padanya beberapa hari
"Nanti kita tinggal satu rumah, mau kan?" tanya Aira dengan penuh harap. Yulia tak menjawab, ia bahkan terlihat sangat terkejut mendengar permintaan gila Aira. Kecemasan seketika menyeruak menguasai dirinya. Sosok Vina yang ia sangka ibunya Aira sudah pasti terus menindasnya kalau sampai tinggal satu rumah. "Ya? Mau ya?" tanya Aira lagi. "Em, Mbak, aku tidak enak," jawabnya sambil meringis. "Kenapa tidak enak?" "Memangnya Mbak mau tinggal satu atap denganku? Dengan wanita yang sudah berani meminta suami Mbak?" tanyanya dengan ekspresi polos. Aira terkekeh, Yulia ini memang kadang perkataannya tajam, tetapi justru Yulia sendiri pun tak sengaja dan tak bermaksud menyinggung siapapun. Itu semua karena sifatnya yang terlalu polos. "Gak apa-apa. Mbak juga ingin ikut mengurus Cilla. Boleh, kan?" "Oh, i-iya." Yulia terpaksa mengangguk, ia dapat melihat raut wajah Aira yang langsung berubah ceria saat melihat Cilla. Bahkan Aira pun terus saja berceloteh bahasa anak kecil sambil mengusap
"Memang apa yang anda lihat dari dia?" tanya Rudi, ayahnya Yulia dengan tersenyum mengejek pada Alan. Mendengar pertanyaan ayahnya, Yulia merasa sakit hati. Bagaimana bisa ayahnya jadi begitu membencinya? Bahkan sangat merendahkannya di hadapan orang lain? Apakah segampang itu kasih sayang yang dulu selalu ia tunjukan berganti sepenuhnya dengan kebencian? Bahkan tak terlihat sedikitpun sorot kerinduan di matanya. Sedangkan Ibunya Yulia yang memang mempunyai sikap garang hanya diam, seperti kedatangan tamu tak diharapkan."Untuk itu, saya punya alasan tersendiri, Pak." jawab Alan membuat Rudi mengangkat sebelah alisnya. "Alasan tersendiri? Oh, saya mengerti. Pria mana yang akan menginginkan wanita bercitra buruk sepertinya dengan tulus? Anda mempunyai maksud lain, kan?" Tanyanya semakin merendahkan Yulia. Yulia terus menunduk, kedua tangannya meremas kuat rok yang ia kenakan untuk melampiaskan rasa sesak dan sakit di hati akibat sikap kedua orang tuanya. Yulia merasa malu dan merasa
Hari menjelang sore saat Alan dan Yulia pulang. Vina langsung menyambut kedatangan mereka dengan berpangku tangan. "Assalaamu'alaikum, Bu?" ucap Alan."Wa'alaikumussalaam ... " Vina membiarkan tangannya di cium Alan, tetapi memalingkan wajahnya. Yulia yang berdiri di samping Alan berdiri dengan bingung, takut disebut tak sopan, ia pun membungkukkan badannya dan hendak meraih tangan Vina. Namun, persis seperti apa yang wanita itu takutkan, Vina mengamankan tangannya dari Yulia. Yulia menutup telapak tangannya dengan perlahan, lalu menegakkan kembali tubuhnya. Alan yang melihat itu tak berbicara apa-apa karena Vina takkan mau mendengarkan apapun tentang pembelaan Yulia. "Ayo masuk." Alan langsung mengajak Yulia masuk, Vina sampai terheran-heran melihat sikap Alan yang sedikit lebih mengakrabkan diri pada Yulia. 'Jangan-jangan sesuatu yang aku takutkan benar terjadi selama mereka bersama?' Hatinya bermonolog. Ia pun segera mengikuti keduanya masuk ke dalam rumah. "Loh, Bu, Aira mana?"
Sebagai sesama perempuan, tentu Maulida dapat ikut merasakan apa yang temannya itu sedang rasakan detik ini. Tak ayal itu membuat matanya ikut berair, Maulida terus menepuk-nepuk punggung Aira dengan lembut."Yang kuat. Kamu hebat, Aira. Aku saja belum tentu bisa sepertimu. Kamu sangat hebat!" ucap Maulida dengan serak menahan isakan. Aira masih terus menangis, dan Maulida terus menghiburnya. "Aira, setiap rasa sakit yang dapat kamu sembunyikan dari suamimu akan berganti dengan pahala yang tak ternilai. Kamu akan mendapatkan derajat yang tinggi jika kamu mampu menata hati dan berlapang dada. Alan itu suami yang baik, aku yakin dia akan menjadi penengah yang baik untuk kalian." Aira melepaskan pelukan, isakannya mulai mereda. Ia pun menampilkan senyuman yang malah membuat siapapun yang melihatnya menjadi ikut sakit hati."Aku pasti kuat, Nda. Aku sudah memutuskan, aku tidak akan menyerah. Tetapi tak mudah mengabaikan rasa sakit yang mendera." Maulida tersenyum, ia membantu membenarkan
"Cilla tidur bersamaku, ya, Yul?" tanya Aira pada Yulia. Kini mereka baru selesai menunaikan shalat isya berjamaah dengan Maulida. Sedangkan Alan, memilih shalat ke mesjid. "Tidak usah, Mbak," jawabnya dengan sungkan."Tidak apa-apa, biar Cilla malam ini tidur denganku. Aku ingin merasakan menjadi ibu di malam hari. Waktu itu kan aku sudah merasakan pada siang hari," jawab Aira disertai cengiran khasnya. Lagi-lagi itu yang Aira jadikan alasan. Jika sudah begitu, bagaimana Yulia bisa menolak? Toh, kini Cilla bukan hanya anaknya, kan?"Tapi ... nanti Mbak kerepotan, loh." "Enggak, Yul. Malah aku bakalan senang kalau kamu izinkan. Ya, boleh, ya?" Aira menampilkan wajah memelas, membuat Yulia menelan ludah. "B-baiklah." "Asyik, makasih, Yul. Aku janji bakalan jadi ibu yang baik buat Cilla." Yulia menanggapi dengan senyuman kikuk. Ia bukan anak kecil yang tak mengerti maksud terselubung dibalik permintaan Aira itu. Tapi ia benar-benar tak habis fikir, bagaimana bisa ada istri yang sa
Merasa tak kuat lagi, Yulia pun bangkit dengan cepat dan mengatur deru nafasnya yang sempat memburu. Ia takut, ia cemas, ia juga tak berani melakukannya. Alan hanya milik Aira, itu tekad di hatinya."Mas!" Yulia membalikkan badan, menatap Alan yang kini sudah menjadi suaminya itu dengan tatapan datar. "Jangan!" Satu kata itu berhasil membuat Alan heran. Ia menatap istri mudanya itu dengan penuh tanya. "Jangan lakukan ini. Saya ... Saya tahu Mas sangat mencintai Mbak Aira. Saya juga sudah sangat berdosa padanya. Saya tidak mau menambah lukanya."Alan masih membisu, ia berusaha mencerna apa yang dikatakan Yulia dan mencari kesungguhan dalam sorot matanya."Saya sudah sangat berterima kasih dengan Mas Alan menikahi saya. Menanggung semua kebutuhan saya dan Cilla, dan menganggap kami yang sebatang kara ini sebagai bagian dari keluarga Mas Alan. Sungguh, seperti ini pun saya sudah terlalu benyak berhutang dan sekaligus berdosa pada kalian. Saya hanya ingin hidup nyaman dan normal seperti