“Argh!”
Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya?
Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru.
“Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.”
Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk.
“A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas.
Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat.
Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya tersebut. Ia berlutut sambil memeluk kaki Eshan.
“K-kumohon… m-maafkan aku… Aku benar-benar tidak ingat apa pun….”
“Kau… wanita hina yang entah datang dari mana….” Eshan tampak tidak peduli dengan air mata yang mengalir deras di pipi Dzurriya. Lelaki itu memandang Dzurriya dari atas dengan mata tajamnya.
“Dengan beraninya menghacurkan seluruh keluargaku!” hardiknya sambil meletakkan ujung pistol di atas kepala Dzurriya.
“Kumohon jangan!” pinta Dzurriya sambil menangis sesenggukan. “Aku akan melakukan apa pun, tapi tolong jangan bunuh aku.”
Walaupun kehilangan hampir seluruh ingatannya, tapi Dzurriya tidak ingin mati sekarang. Ia takut mati. Masih banyak yang belum ia lakukan, terlalu banyak dosa yang belum ia minta ampun. Dzurriya belum menjadi orang sebaik itu untuk berani bertatapan dengan Tuhan-nya.
Kali ini, permohonan Dzurriya sedikit memberikan harapan. Eshan menurunkan pistolnya, tapi kemudian mencengkeram kuat dagu Dzurriya.
“Jangan menguji kesabaranku lagi, aku tak akan memberimu kesempatan kedua. Mengerti?!”
Eshan pun berlalu meninggalkannya yang terduduk lemas sembari menangis sesenggukan tanpa henti.
‘Aku tak bersalah, Aku tak bersalah, kenapa tak ada yang percaya? Bahkan aku lupa kapan terakhir aku bahagia. Apa aku salah? Ya Allah!’
*****
Siang hari yang penuh drama dan air mata itu pun berganti malam. Masih dengan gamis robeknya, Dzurriya berjalan mengendap-ngendap keluar dari kamarnya. Matanya memandang sekitar yang begitu gelap dengan penuh kewaspadaan.
‘Sepertinya semua orang sudah tidur, tapi aku tidak boleh lengah.’
Tidak ada suara apapun terdengar. Hanya detak jantungnya yang berdebar was-was. Langkah kakinya yang telanjang hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri.
Hanya sedikit lagi sampai ia mencapai tujuannya. Namun, ketika tangannya terulur untuk meraih pintu itu, seketika lampu menyala. Dzurriya melotot kaget. Dengan tergopoh-gopoh, ia segera menunduk dan melompat ke bawah meja panjang di dekatnya.
Duk!
“Ah!”
Tangannya sontak menutup mulutnya yang berdesah kesakitan karena kepalanya terantuk meja. Suara kaki itu terdengar sangat familiar. Aroma musk-nya juga semakin dekat, membuat keringat dingin semakin mengucur di tepi pipinya.
Ia takut Eshan menangkapnya karena ketahuan ingin mengambil makanan dari kulkas di dapur.
Segala yang Dzurriya lakukan saat ini selalu dipenuhi ketakutan. Sudah seharian ini ia menahan lapar dan haus, seperti orang berpuasa.
Namun ketika tengah malam menyambut, ia sudah tidak tahan lagi. Setidaknya ia hanya ingin menyicip selembar roti dan air putih saja untuk mengganjal perut sampai besok pagi.
Dari kolong meja, Dzurriya menebak kalau Eshan ke dapur untuk mengambil minum. Karena suasana yang sunyi, Dzurriya bisa mendengar setiap gerakan lelaki itu dengan jelas. Ia pun terus menegang di kolong meja, bahkan sampai menahan napasnya.
Sampai akhirnya, terdengar suara langkah kaki Eshan yang menjauh. Dzurriya pun menghela napas panjang dan keluar dari kolong meja. Ia sama sekali tidak sadar kalau lampu dapur masih menyala terang.
“Ekhem!”
Mulut Dzurriya ditutup rapat- rapat. Napasnya kembali tertahan. Ia ingin segera berlari, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku tak bisa digerakkan.
Hanya matanya yang bisa melirik ke arah kanan, di mana Eshan berdiri dengan kimono tidur berwarna hitam dan tangan terlipat di dada. Rambutnya yang biasa ditata ke atas, kini diturunkan dan menutupi dahinya yang indah. Namun tetap saja, mata tajam di balik kacamata itu mampu membuat dada Dzurriya berdesir.
“Sedang apa—”
“Maafkan aku! Aku lapar, aku hanya ingin makan, sungguh!” ucap Dzurriya cepat dengan mata terpejam rapat. Ia sudah membayangkan ujung pistol Eshan sudah mengarah kembali ke kepalanya.
Karena tidak mendengar balasan Eshan cukup lama, Dzurriya pun membuka matanya. Ia melihat Eshan hanya diam di tempatnya. Tak bergerak dan tak bergeming.
Lalu, lelaki itu berdecak dan berjalan mendekat. Sontak, Dzurriya berjalan mundur sampai punggungnya merapat ke pintu kulkas. Eshan tidak juga berhenti, meskipun posisi Dzurriya sudah terpojokan.
‘Ya Allah! Apa yang mau lelaki ini lakukan?’ Dzurriya kembali menutup rapat matanya. Tangannya pun disilangkan di depan dada.
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
Selesai dari pemeriksaan itu, mereka pun kembali ke kediaman mewah Eshan. Dzurriya memperhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Alexa tampak tak hentinya menggandeng tangan Eshan di depannya, dari mulai berangkat ke rumah sakit sampai pulang. Begitu juga Eshan, yang tak sedikit pun meliriknya.Ketika Alexa dan Eshan naik ke kamarnya, Dzurriya malah berbelok menuju taman belakang. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti persinggahan saat hatinya gundah. Walaupun sedang tidak memakai jaket Eshan kemarin, hidung Dzurriya seolah masih bisa merasakan aromanya di kursi taman itu. Ia merasakan aroma bunga bercampur dengan aroma musk yang diterbangkan oleh angin sore ini. Seakan membawanya ke dalam kenangan di mana ia bisa duduk berdampingan dengan suaminya.Hah!Ia menghembus napas panjang, lalu mendongak, melihat ke arah jendela-jendela kaca jauh di depannya. Entah apakah suaminya ada di balik salah satu jendela tersebut dengan kesibukannya, atau ia sedang berada di lantai atas bersama
“Aku yang membiarkan pamanku masuk ke sini. Kenapa, Sayangku?”Deg!Eshan menoleh ke arah Alexa yang sedang berjalan ke arahnya dengan begitu tenang. Tatapan anggunnya benar-benar membuat dadanya remuk redam. Dia merasa tak dihargai sebagai kepala keluarga di situ. Bagaimana bisa Alexa melawan kata-katanya dengan begitu enteng dan tanpa merasa bersalah? Bukankah mereka sudah pernah membicarakan dan menyepakatinya.Eshan berusaha sebisa mungkin bersikap tenang di depan semua orang untuk menjaga wibawa sang istri. “Tikno!” Panggilnya datar sambil tetap menatap tajam ke arah Alexa.“Ya, Tuan?” sahut Tikno sopan.“Aku memberimu waktu lima belas menit untuk membawa lelaki itu keluar dari sini.” Setelah itu, dia beranjak melewati istrinya itu tanpa mengatakan apa pun lagi. Langkahnya yang begitu dingin membuat suasana menjadi senyap mencekam. Tak ada satu orang pun berani menyela lagi.Eshan yakin Tikno akan membereskan lelaki yang tadi terkapar di taman belakang itu. Kalaupun tidak, Esha
Dzurriya mondar-mandir di kamarnya. Ia begitu khawatir setelah dua hari suaminya itu belum kembali. Walaupun memang mereka jarang bersama, setidaknya Dzurriya selalu melihat Eshan ketika sarapan pagi.Namun, tidak dalam dua hari ini. Dzurriya hanya makan sendirian, karena Alexa tidak akan pernah sudi satu meja dengannya.Sikapnya yang terlalu tenang sebelum pergi benar-benar bukan seperti Eshan yang dikenalnya selama ini. Apalagi para pelayan tengah asik membicarakan gosip kepergian Eshan terkait pertengkarannya dengan Alexa dan pamannya yang katanya licik itu.‘Apakah terjadi sesuatu sampai dia tak pulang?’Pikirannya mulai berkelana tak karuan. Ingin sekali ia bertanya pada Tikno, tapi takut ada yang mendengar dan menjadi bahan gunjingan.Setelah berkutat cukup lama di dalam kamar, Dzurriya akhirnya memberanikan diri keluar dan mencari Tikno. Sayangnya rumah itu sangat sepi ketika Dzurriya keluar kamar.“Astaga, Sayang! Aku benar-benar merindukanmu!”Dzurrinya tersentak, ketika mend