Share

BAB 7

“Argh!”

Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya?

Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru.

“Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.”

Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk.

“A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. 

Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. 

Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya tersebut. Ia berlutut sambil memeluk kaki Eshan.

“K-kumohon… m-maafkan aku… Aku benar-benar tidak ingat apa pun….”

“Kau… wanita hina yang entah datang dari mana….” Eshan tampak tidak peduli dengan air mata yang mengalir deras di pipi Dzurriya. Lelaki itu memandang Dzurriya dari atas dengan mata tajamnya.  

“Dengan beraninya menghacurkan seluruh keluargaku!” hardiknya sambil meletakkan ujung pistol di atas kepala Dzurriya.

“Kumohon jangan!” pinta Dzurriya sambil menangis sesenggukan. “Aku akan melakukan apa pun, tapi tolong jangan bunuh aku.”

Walaupun kehilangan hampir seluruh ingatannya, tapi Dzurriya tidak ingin mati sekarang. Ia takut mati. Masih banyak yang belum ia lakukan, terlalu banyak dosa yang belum ia minta ampun. Dzurriya belum menjadi orang sebaik itu untuk berani bertatapan dengan Tuhan-nya.

Kali ini, permohonan Dzurriya sedikit memberikan harapan. Eshan menurunkan pistolnya, tapi kemudian mencengkeram kuat dagu Dzurriya.

“Jangan menguji kesabaranku lagi, aku tak akan memberimu kesempatan kedua. Mengerti?!”

Eshan pun berlalu meninggalkannya yang terduduk lemas sembari menangis sesenggukan tanpa henti.

‘Aku tak bersalah, Aku tak bersalah, kenapa tak ada yang percaya? Bahkan aku lupa kapan terakhir aku bahagia. Apa aku salah? Ya Allah!’ 

*****

Siang hari yang penuh drama dan air mata itu pun berganti malam. Masih dengan gamis robeknya, Dzurriya berjalan mengendap-ngendap keluar dari kamarnya. Matanya memandang sekitar yang begitu gelap dengan penuh kewaspadaan. 

‘Sepertinya semua orang sudah tidur, tapi aku tidak boleh lengah.’

Tidak ada suara apapun terdengar. Hanya detak jantungnya yang berdebar was-was. Langkah kakinya yang telanjang hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri. 

Hanya sedikit lagi sampai ia mencapai tujuannya. Namun, ketika tangannya terulur untuk meraih pintu itu, seketika lampu menyala. Dzurriya melotot kaget. Dengan tergopoh-gopoh, ia segera menunduk dan melompat ke bawah meja panjang di dekatnya. 

Duk!

“Ah!”

Tangannya sontak menutup mulutnya yang berdesah kesakitan karena kepalanya terantuk meja. Suara kaki itu terdengar sangat familiar. Aroma musk-nya juga semakin dekat, membuat keringat dingin semakin mengucur di tepi pipinya.  

Ia takut Eshan menangkapnya karena ketahuan ingin mengambil makanan dari kulkas di dapur.

Segala yang Dzurriya lakukan saat ini selalu dipenuhi ketakutan. Sudah seharian ini ia menahan lapar dan haus, seperti orang berpuasa.

Namun ketika tengah malam menyambut, ia sudah tidak tahan lagi. Setidaknya ia hanya ingin menyicip selembar roti dan air putih saja untuk mengganjal perut sampai besok pagi.

Dari kolong meja, Dzurriya menebak kalau Eshan ke dapur untuk mengambil minum. Karena suasana yang sunyi, Dzurriya bisa mendengar setiap gerakan lelaki itu dengan jelas. Ia pun terus menegang di kolong meja, bahkan sampai menahan napasnya.

Sampai akhirnya, terdengar suara langkah kaki Eshan yang menjauh. Dzurriya pun menghela napas panjang dan keluar dari kolong meja. Ia sama sekali tidak sadar kalau lampu dapur masih menyala terang.

“Ekhem!”

Mulut Dzurriya ditutup rapat- rapat. Napasnya kembali tertahan. Ia ingin segera berlari, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku tak bisa digerakkan.

Hanya matanya yang bisa melirik ke arah kanan, di mana Eshan berdiri dengan kimono tidur berwarna hitam dan tangan terlipat di dada. Rambutnya yang biasa ditata ke atas, kini diturunkan dan menutupi dahinya yang indah. Namun tetap saja, mata tajam di balik kacamata itu mampu membuat dada Dzurriya berdesir.

“Sedang apa—”

“Maafkan aku! Aku lapar, aku hanya ingin makan, sungguh!” ucap Dzurriya cepat dengan mata terpejam rapat. Ia sudah membayangkan ujung pistol Eshan sudah mengarah kembali ke kepalanya.

Karena tidak mendengar balasan Eshan cukup lama, Dzurriya pun membuka matanya. Ia melihat Eshan hanya diam di tempatnya. Tak bergerak dan tak bergeming.

Lalu, lelaki itu berdecak dan berjalan mendekat. Sontak, Dzurriya berjalan mundur sampai punggungnya merapat ke pintu kulkas. Eshan tidak juga berhenti, meskipun posisi Dzurriya sudah terpojokan.

‘Ya Allah! Apa yang mau lelaki ini lakukan?’ Dzurriya kembali menutup rapat matanya. Tangannya pun disilangkan di depan dada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status