Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening.
Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kecil di lantai. Rasanya seperti ada sesuatu yang berat sedang bergerak mendekat. Getaran itu semakin kuat, dan aku mulai panik lagi. Pintu gudang kecil ini gak akan bisa menahan apa pun yang datang. Aku harus keluar dari sini. Aku mengumpulkan sisa keberanianku dan membuka pintu gudang perlahan. Toko depan masih sama berantakannya seperti tadi. Botol air yang pria tadi buang masih ada di lantai, pecahan kaca dan debu berserakan di mana-mana. Tapi gak ada tanda-tanda makhluk bermata merah itu. Hanya kabut yang semakin tebal. Aku berjalan pelan-pelan menuju pintu depan minimarket. Setiap langkah terasa kayak mimpi buruk, tapi aku harus pergi. Kalau tetap di sini, aku bakal mati—cepat atau lambat. Begitu aku keluar dari minimarket, aku disambut oleh keheningan yang jauh lebih menakutkan daripada suara langkah atau gemuruh tadi. Jalanan kosong, gedung-gedung tinggi berdiri seperti kuburan raksasa. Tapi aku bisa merasakan sesuatu... sesuatu yang berat dan menekan. Udara terasa lebih tebal, lebih panas. Aku berjalan ke arah kiri, mencoba menjauh dari minimarket. Kabut tebal membatasi pandanganku, jadi aku hanya bisa mengikuti insting. Dan saat itulah aku melihatnya. Di tengah jalan, jauh di depan, ada sosok yang gak mungkin aku abaikan. Tingginya mungkin sepuluh meter, tubuhnya seperti bayangan hidup, hitam legam dengan guratan merah menyala di seluruh permukaan tubuhnya. Matanya besar, merah, dan menatap lurus ke depan. Sosok itu melangkah perlahan, dan setiap langkahnya menciptakan getaran di tanah. Aku terhenti. Kaki ini gak mau bergerak. Jantungku seperti mau pecah. Sosok itu bukan makhluk yang sama seperti tadi. Ini... sesuatu yang lebih besar. Lebih buruk. Dan dia gak sendirian. Di belakangnya, aku bisa melihat siluet lain, lebih kecil, tapi tetap gak kalah mengerikan. Mereka berjalan dalam barisan, perlahan, seperti pasukan yang bergerak tanpa suara. Aku mencoba menahan napas, berharap mereka gak melihatku. Tapi kemudian, salah satu dari mereka berhenti. Lehernya memutar ke arahku, matanya menyala seperti lentera neraka. Aku tahu itu akhirku. "Hei! Awas!" Sebuah suara terdengar dari belakangku. Sebelum aku sempat menoleh, sebuah tangan menarikku dengan kasar ke dalam gang sempit di sisi jalan. Tubuhku membentur tembok dengan keras, membuatku kehilangan napas sejenak. "Diam di sini," bisik pria itu—pria dengan pedang besar tadi. Dia berdiri di ujung gang, mengintip ke arah jalanan. Pedangnya sudah terhunus sekarang, bersinar lemah di tengah kabut. Ada aura aneh yang mengelilingi senjatanya, seperti api kecil yang hampir padam. "Apa... apa itu?" tanyaku terbata-bata. "Voidborn," jawabnya tanpa menoleh. "Mereka makhluk dari dimensi luar. Dan kalau kau gak diam, mereka akan tahu kau di sini." Voidborn? Dimensi luar? Aku gak ngerti apa yang dia omongin, tapi wajahnya yang serius bikin aku gak berani bertanya lebih jauh. Dia menatap jalanan dengan fokus yang bikin aku merinding. Salah satu Voidborn itu berhenti di depan gang. Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang. Tubuhnya seperti bayangan cair, bergerak tanpa bentuk pasti. Tapi matanya... matanya itu yang bikin bulu kudukku berdiri. Pria itu mengangkat pedangnya perlahan, bersiap. "Kalau aku bilang lari, kau lari. Jangan lihat ke belakang. Jangan berhenti." Aku cuma bisa mengangguk, meskipun aku tahu kaki ini mungkin gak akan sanggup bergerak kalau dia bilang lari. Aku gak tau kenapa aku percaya sama dia. Dia bahkan gak tau namaku. Tapi dia jelas tahu apa yang dia lakukan. Voidborn itu melangkah lebih dekat, dan pria itu mengambil napas dalam. "Lari!" teriaknya, lalu dia melompat keluar dari gang, langsung menyerang makhluk itu. Aku gak nunggu lama. Kaki ini langsung bergerak, berlari secepat mungkin ke ujung gang. Aku gak peduli ke mana aku pergi. Aku cuma tau satu hal: aku gak mau mati malam ini. Aku berlari seperti orang gila. Napas beratku menggema di lorong gang yang sempit, suara langkah kakiku beradu dengan genangan air dan puing-puing. Setiap tarikan napas rasanya makin berat, tapi aku gak bisa berhenti. Di belakangku, suara pedang beradu dengan sesuatu yang terdengar seperti besi pecah berkali-kali. Pria itu—siapa pun dia—masih bertarung dengan Voidborn. Aku gak tahu kenapa dia memilih untuk bertarung. Mungkin dia pahlawan yang sebenarnya. Mungkin dia punya alasan. Tapi yang aku tahu, aku bukan dia. Aku cuma orang biasa yang pengen hidup. Ketika akhirnya aku keluar dari gang, aku menemukan diriku di jalan lain yang lebih gelap. Kabut di sini lebih pekat, hampir menutup semua cahaya. Di depanku ada gedung tua yang runtuh separuh. Aku berlari ke arah itu tanpa berpikir. Mungkin di dalam gedung itu aku bisa sembunyi. Mungkin aku bisa— TANG! Sebuah suara keras menggema di belakangku. Aku berhenti. Suara itu... seperti pedang yang menghantam sesuatu yang besar. Detik berikutnya, terdengar suara lain—geraman rendah, hampir seperti singa yang marah, tapi jauh lebih dalam dan... tidak wajar. Aku menoleh, meski tahu aku gak seharusnya. Di ujung gang yang barusan aku tinggalkan, pria itu masih berdiri. Tubuhnya penuh luka, tapi pedangnya bersinar terang sekarang, seperti matahari kecil di tengah malam. Di depannya, Voidborn yang tadi hampir dua kali lebih besar dari sebelumnya, tubuhnya memanjang dan bergerak seperti cairan. Tapi pria itu gak mundur. Dia justru melangkah maju. Sebuah suara keras lainnya menggema, dan Voidborn itu melompat ke arahnya. Aku gak sempat lihat apa yang terjadi selanjutnya. Kaki ini otomatis bergerak lagi, berlari ke dalam gedung tua yang gelap. Di dalam, suasana lebih sunyi, hanya ada suara langkah kakiku yang bergema di antara tembok retak dan lantai yang penuh pecahan kaca. Aku bersembunyi di balik salah satu kolom beton yang masih utuh, mencoba menenangkan napas. Di sini, aku aman. Mungkin. Tapi rasa aman itu gak bertahan lama. Dari luar gedung, aku mendengar suara ledakan besar. Seluruh bangunan bergetar, debu-debu jatuh dari langit-langit. Lalu suara itu datang lagi, lebih pelan, lebih mendekat. Aku tahu itu langkah Voidborn lain. Kenapa mereka terus mengejarku? Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan orang penting. Aku bahkan gak ngerti apa yang terjadi. Apa mereka ngejar aku karena aku ada di tempat yang salah? Atau... apa aku cuma sial? Langkah itu makin dekat. Aku bisa dengar suara geraman rendah di udara. Aku mencoba menahan napas, berharap makhluk itu gak akan menemukan aku di sini. Tapi harapanku hancur ketika bayangan besar melintas di depan kolom tempat aku bersembunyi. Makhluk itu gak seperti yang tadi. Lebih kecil, tapi lebih cepat. Tubuhnya lebih padat, hampir kayak manusia, tapi tanpa wajah. Hanya ada dua cahaya merah kecil yang bersinar di bagian kepalanya, seperti mata yang gak pernah berkedip. Aku mundur perlahan, mencoba gak bikin suara. Tapi lantai di bawahku penuh dengan pecahan kaca, dan saat aku melangkah mundur... KREK! Kaca di bawah kakiku pecah, menciptakan suara yang cukup keras. Makhluk itu langsung berhenti. Kepalanya berbalik ke arahku dengan gerakan yang terlalu cepat untuk disebut normal. Aku membeku. Nafasku tercekat. Lalu, tanpa peringatan, makhluk itu melompat ke arahku. Aku jatuh ke lantai, menutup kepala dengan tangan. Ini akhirnya. Aku bahkan gak sempat berpikir apa-apa sebelum makhluk itu— ZING! Sebuah cahaya terang melesat dari sampingku, menabrak makhluk itu tepat di tubuhnya. Aku mendengar suara jeritan melengking, seperti logam yang dipelintir, sebelum makhluk itu meledak menjadi asap hitam. Di depanku, pria itu berdiri lagi. Tubuhnya penuh luka, tapi pedangnya masih bersinar. Dia menatapku sekilas, napasnya berat. "Kau bodoh," katanya, nadanya datar tapi penuh rasa lelah. Aku gak tahu harus bilang apa. Aku cuma duduk di sana, terengah-engah, melihat pria itu mengayunkan pedangnya lagi ke arah makhluk lain yang muncul di pintu masuk gedung. "Kau harus pergi sekarang," katanya tanpa menoleh. "Gedung ini gak akan bertahan lama." "Tapi... tapi ke mana?" tanyaku, akhirnya berhasil bicara meski suara ini terdengar serak. "Aku gak tau tempat aman." Dia berhenti sejenak, menatap ke arah makhluk yang terus mendekat. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman," jawabnya. "Tapi jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Lalu dia maju lagi, menyerang makhluk-makhluk itu tanpa ragu. Aku berdiri, lututku masih gemetar. Kata-katanya tadi terngiang di kepalaku. Aku gak ngerti kenapa dia mau menyelamatkanku, tapi aku tahu aku gak bisa terus bergantung padanya. Aku harus pergi, meskipun aku gak tau apa yang ada di luar sana. Dengan berat hati, aku berbalik dan mulai berlari lagi, meninggalkan pria itu di belakangku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar tidak berarti. Tapi mungkin itu lebih baik daripada mati.Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha