 LOGIN
LOGINReina menatap layar ponselnya cukup lama setelah pesan itu muncul. Bukan karena takut. Tapi karena kalimat itu terasa bukan ancaman… melainkan pengingat dari seseorang yang tahu lebih banyak daripada musuh-musuhnya.
“Diam bukan pilihan lagi. Jangan ulangi kesalahan ayahmu.” Kesalahan ayahnya? Orang-orang mengira mereka tahu apa yang terjadi, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar berada di ruangan itu, hari itu, saat semuanya runtuh. Kecuali satu orang. Dan orang itu hilang begitu saja sesudahnya. Reina menekan tombol power, mengunci layar, lalu menyimpan ponselnya tanpa ekspresi. Tapi otaknya tidak berhenti bekerja satu detik pun. Siapa yang cukup berani mengirim pesan seperti itu? Orang dalam? Perwira senior? Bawahan almarhum ayahnya? Atau seseorang yang sengaja ingin mengaduk masa lalu… agar kembali meledak? Ia masuk ke dalam mobil, tapi bahkan sebelum jari menyentuh setir, ia menyadari sesuatu. Spion tengahnya sedikit berubah posisi. Ia tahu betul ia tidak pernah menyentuhnya sejak pagi. Ada dua kemungkinan Seseorang masuk mobilnya… atau seseorang hanya ingin ia berpikir begitu. Sayangnya bagi mereka, Reina bukan tipe yang bisa dibuat panik dengan trik murahan. Namun sebelum ia menyalakan mesin, seseorang mengetuk kaca samping dengan dua ketukan pendek. Bukan suara kaget, bukan tabrakan keras. Dua ketukan saja. Lembut, tapi terhitung. Reina menoleh. Seorang pria berbaju dinas lapangan—bukan dokter, bukan perawat berdiri di samping mobilnya. Usianya kira kira akhir tiga puluhan, rambut tipis, rahang tegas, ekspresi terlalu tenang untuk orang asing. Tanpa menurunkan kaca, Reina membuka pintu. “Kalau kau mau menyampaikan sesuatu, jangan perlakukan aku seperti orang yang harus mengintip dari balik jendela,” ucapnya dingin sambil keluar dari mobil. Pria itu menatapnya lama sebelum bicara. “Mayor ingin bicara dengan Anda.” “Mayor yang mana?” tanya Reina datar. Pria itu tidak langsung menjawab. “Anda tahu.” Kalimat itu sengaja dibuat kabur. Tapi caranya bicara memberi sinyal ia tidak menyebut nama bukan karena tidak boleh, tapi karena Reina seharusnya mengingat sendiri. “Aku tidak sedang dalam dinas malam ini,” jawab Reina. “Kalau ini soal operasi pasien tempur yang baru masuk siang tadi, sampaikan saja lewat komando medis.” “Bukan soal medis.” Pria itu menahan diri sejenak. “Dan bukan permintaan.” Tapi yang membuat Reina berhenti bukan itu melainkan emblem samar di bahu kirinya. Logo komando strategis. Dan bukan unit biasa. “Sampaikan pada Mayormu,” ucap Reina pelan, “Kalau dia butuh dokter, dia bisa datang sendiri. Kalau dia butuh jawaban, dia bisa tunggu gilirannya.” Pria itu menatapnya beberapa detik, lalu berkata tenang, “Dia bilang Anda pasti akan berkata begitu.” Lalu ia pergi tanpa menoleh. Reina menatap punggung pria itu. Tidak ada nama. Tidak ada pangkat terlihat. Seolah memang sengaja. Dan itu berarti dua hal, Entah orang itu bukan prajurit resmi… atau dia bagian dari mereka yang tidak tercatat. Dalam perjalanan pulang, jalan raya tampak biasa. Tapi tidak ada yang benar-benar biasa ketika kepala sudah dipenuhi sisa-sisa masa lalu yang belum selesai. Beberapa meter sebelum lampu merah dekat perempatan markas angkatan, Reina memperlambat mobil karena kendaraan di depannya berhenti mendadak. Dari kaca mobilnya, ia melihat dua pria berdiri di trotoar, berbicara pelan sambil melihat ke arah gerbang samping markas. Salah satu menunjuk-nunjuk sesuatu. Yang satunya menatap poster pengumuman yang tertempel di dinding luar. Reina tidak terlalu peduli… sampai ia melihat nama di poster itu. kolonel Ardan Wijaya Nama itu menancap seperti peluru yang tidak pernah benar-benar dikeluarkan dari tubuh sebelum ini. Bukan hanya karena dia perwira tinggi. Tapi karena dia adalah orang pertama yang mengambil keputusan tentang ayahnya 12 tahun lalu setelah kejadian yang mengakhiri karier keluarga mereka. Dan sekarang… poster itu mengumumkan pelantikan jabatannya Besok. Tepat dua hari sebelum tanggal 14 hari Dafa dan Raya akan menikah. Apakah kebetulan? Atau bagian dari panggung yang lebih besar? Mobil di belakang membunyikan klakson. Reina baru sadar lampu telah hijau. Ia maju perlahan. Namun sesuatu kembali mengganggunya. Setiap hal kecil hari ini tidak berdiri sendiri. Dafa dan Raya muncul bukan karena rindu atau nostalgia. Pesan misterius bukan sekadar peringatan. Perawat-perawat, resepsionis, pria tak dikenal semua itu entah bagian dari potongan yang sama… atau jebakan agar fokusnya kabur. Dan Kolonel Ardan muncul di saat yang terlalu tepat untuk disebut takdir. Tapi Reina tahu… tidak semua orang yang terlihat paling bersalah adalah dalang sebenarnya. Saat sampai di kompleks tempat tinggalnya, langit sudah gelap. Suara jangkrik bercampur deru kendaraan jauh. Rumah-rumah perwira rendah dan dokter militer berjajar rapi, sebagian lampunya mati, sebagian menyala hangat. Reina turun dari mobil dan membuka pintu rumah dengan sidik jari. Lampu dalam menyala otomatis. Dan di ruang tamu, seseorang duduk tanpa izin. Dia berdiri begitu Reina masuk, seolah memang ingin terlihat. Tinggi, Tegas Seragamnya tak lengkap tapi jelas menunjukkan pangkatnya lebih tinggi dari semua orang yang ditemuinya hari ini. “Tidak kusangka kau masih tahu cara masuk tanpa menerobos pintu,” ucap Reina dingin, menatapnya tanpa gentar. Pria itu menatap kembali, nada suaranya berat dan stabil. “Seharusnya aku yang bilang begitu.” Tatapan mereka saling mengunci. Dan entah kenapa… udara di ruangan itu berubah. Reina tidak bergerak mendekat, dan pria itu tidak menawarkan senyum atau basa-basi. Ia hanya berdiri tegak di tengah ruang tamu, seperti seseorang yang merasa kehadirannya memang sudah sepantas itu. “Berapa lama kau sudah di sini?” tanya Reina tenang, meski matanya membaca setiap detail. “Cukup lama untuk tahu kau masih mengabaikan panggilan dari atas,” jawabnya. Suaranya berat, tidak meninggikan nada, tapi mengandung tekanan yang tidak butuh teriakan. Reina menutup pintu tanpa menoleh. “Kalau kau datang untuk menyampaikan pesan yang sama seperti pria di parkiran tadi, kau bisa keluar tanpa kupersilakan duduk.” “Aku tidak mengirim dia,” sahutnya cepat. Itu membuat Reina berhenti sesaat. “Kalau bukan kau, siapa?” tanya Reina. “Pertanyaan bagus,” balasnya. “Tapi bukan itu sebab aku datang.” Ia mengambil sesuatu dari dalam saku seragamnya dan meletakkannya di meja. Sebuah map kecil, tanpa tulisan, tanpa logo, tanpa nomor berkas. “Buka,” ucapnya. Reina tidak menyentuhnya. “Sejak kapan kau membawa dokumen seperti debt collector?” Pria itu mengabaikan sindiran. “Itu laporan internal dua belas tahun lalu. Tentang ayahmu.” Darah Reina tidak mendidih. Ia sudah terlalu sering menghadapi orang yang mencoba menusuk dari arah itu. Tapi ia tahu satu hal laporan resmi tidak pernah sembarangan muncul kecuali seseorang mengizinkannya. “Kau pikir aku akan membaca ulang fitnah lama?” sorot matanya tajam. “Justru karena itu bukan fitnah, laporan itu dikubur,” sahut pria itu tanpa berkedip. Kalimat itu menghantam, tapi bukan karena rasa sakit karena ada sesuatu yang tidak sesuai dengan narasi umum. “Apa maksudmu,” ucap Reina pelan, “Kalau itu bukan fitnah, kenapa dikubur?” Pria itu menatapnya lama sebelum menjawab, “Karena kalau dibuka, banyak nama ikut runtuh.” Reina menyilangkan tangan. “Dan kau datang padaku bukan karena kebetulan.” “Tidak,” jawabnya. “Besok pagi, seseorang akan mengangkat sumpah jabatan barunya. Dan dia tidak ingin namanya dikaitkan dengan masa lalu.” Nama itu belum disebut, tapi Reina sudah tahu siapa yang ada di pikirannya. Kolonel Ardan Wijaya. Tapi… terlalu mudah kalau dia pelakunya. Terlalu kentara. Terlalu dini. “Kalau kau ingin aku percaya, jawab pertanyaanku,” ucap Reina. “Siapa yang memerintahkan pemecatan ayahku sebenarnya?” Pria itu tidak menjawab segera. Ia justru berkata, “Kau yakin ingin mendengar jawabannya dari mulutku?” Reina membalas dingin, “Kalau kau berniat menggali masa lalu, jangan lakukan setengah-setengah.” Pria itu maju satu langkah tidak mengancam, tapi menciptakan jarak percakapan yang lebih langsung. “Baik, Tapi sebelum itu…” Ia menatap matanya dalam-dalam. “…kau harus berhenti mengira Dafa, Raya, atau Ardan adalah alasan utama hidupmu diacak begitu rupa. Mereka cuma pion. Sama seperti ayahmu dulu.” Reina menatapnya kaku. “Kalau kau tahu siapa yang menggerakkan mereka, kenapa tidak sebut saja?” Ia menjawab, “Karena kau tidak boleh mengenalnya lewat kalimat. Kau harus menyadarinya sebelum dia menyadari kau sudah menyadari.” Kalimat itu membingungkan bagi orang biasa tapi Reina menyadari sesuatu, pria ini tidak bekerja untuk komando biasa. “Kalau kau datang sebagai utusan,” ucap Reina pelan, “Kenapa tidak membawa nomor panggilan atau surat tugas?” Dia menatap map di meja. “Karena tidak ada perintah tertulis untuk mencegah seseorang dibunuh dua kali.” Sekilas, waktu seperti berhenti. “Kau datang untuk melindungiku?” Reina mengerutkan alis. Nada suaranya tidak percaya lebih karena ia sedang menghitung kemungkinan konsekuensinya. Pria itu malah tertawa kecil. “Kalau aku ingin melindungimu, aku tidak akan membiarkan pesan itu dikirim.” Pesan..? Kalimat itu mematahkan suasana. Reina menegang sepersekian detik. “Kau tahu siapa yang mengirimnya?” Dia membalas tatapannya. “Aku tahu seharusnya siapa yang tidak bisa mengirimnya.” Kalimat itu membuat sesuatu berderak dalam pikiran Reina. Seolah ada potongan teka-teki yang tiba-tiba tidak cocok lagi. Sebelum ia sempat menanggapi, pria itu bergeser ke arah pintu. “Besok jam sembilan. Kalau kau ingin tahu kebenaran, datang ke upacara pelantikan itu. Jangan lewat pintu depan.” “Dan kalau aku tidak datang?” tanya Reina datar. Dia berhenti di ambang pintu. “Kau akan tetap jadi bagian cerita… hanya saja bukan sebagai saksi hidupnya.” Pintu terbuka. Angin malam menerpa masuk. Tapi sebelum ia melangkah pergi, pria itu menoleh sekali lagi. “Dan Rein…” suaranya menurun sedikit, berbeda dari sebelumnya. “…jangan percaya orang pertama yang menawarkan tangan saat kau jatuh. Biasanya dia yang mendorongmu lebih dulu.” Setelah ia pergi, pintu tertutup pelan. Keheningan mengembang. Reina memandang map di meja. Jemarinya terentang, tapi belum menyentuh. Dan tepat saat ia bergerak mendekat, lampu ruang makan berkedip sekali. Listrik tidak turun, Tidak ada hujan dan Tidak ada korsleting. Tapi layar ponselnya tiba-tiba menyala sendiri. Satu pesan baru, Tanpa nama dan Tanpa nomor. “Jangan percaya yang baru datang. Musuhmu sudah duduk sebelum kau tiba.”
BRAK! Tiga orang berseragam hitam menyergap masuk. Senjata laras pendek terangkat. Gerakan cepat, senyap, dan terlatih. “Turun!” teriak salah satu dari mereka. Reina dan pria itu terpisah seketika. Dafa terpaku di ambang pintu antara marah, kaget, dan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Namun pria di dalam kamar yang tadi mencium Reina tidak bereaksi panik. Sebaliknya, ia berbalik perlahan. Mata dinginnya menatap ketiga penyerang itu seperti menatap gangguan kecil. Dan tanpa satu kata pun, ia menarik Reina ke belakangnya. “Siapa kau?!” salah satu pria bersenjata menyorotkan laser merah ke arah dada pria itu. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Pertanyaan yang salah.” Satu detik kemudian...... Dor! Dor! Dor! Tiga suara tembakan nyaris bersamaan. Tapi bukan pria itu yang tumbang. Tiga orang berseragam hitam itu yang jatuh bersamaan ke lantai, darah menetes di karpet. Asap tipis mengepul dari senjata kecil yang kini berada di tangan pria itu senjata
Sudah tiga hari sejak insiden penembakan di upacara pelantikan. Markas masih setengah terkunci, tapi para pejabat berusaha bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Termasuk… menggelar pesta pernikahan seformal ini.Ucapan selamat berhamburan seperti tembakan peluru kosong. Senyum tertata, tawa sopan, musik romantis menyelimuti aula pernikahan mewah itu. Lampu kristal menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya ke gaun pengantin putih yang berdiri di atas panggung.Raya tampak anggun dan Dafa tampak gagah di sampingnya.Dan Reina berdiri di tengah kerumunan sebagai tamu undangan. Bukan sebagai wanita yang dulu pernah dijanjikan masa depan oleh pria yang kini sedang menggenggam tangan orang lain.Ia tidak mengenakan seragam. Tidak juga gaun mencolok. Hanya dress hitam sederhana, rambut disanggul rendah. Elegan, tapi tidak mengundang perhatian.Namun sorot mata beberapa orang terus diam-diam mencurinya pandang.Sebagian memuji keberaniannya datang. Sebagian menertawakannya. Seba
Upacara pelantikan diselenggarakan di lapangan luas markas komando pusat tempat yang biasanya hanya dihiasi deretan bendera dan podium. Tapi hari ini, suasananya terlalu formal untuk sekadar seremonial. Barisan pejabat tinggi, perwira aktif, dan mantan komandan berdiri di area khusus yang terlindungi tenda putih.Semua terlihat rapi. Semua terlihat normal.Dan justru karena terlalu normal itulah, Reina tahu ada sesuatu yang tidak normal.Ia tidak masuk lewat pintu depan. Sesuai pesan pria itu, ia melewati akses samping, masuk bersama barisan petugas medis yang disiagakan untuk protokol. Seragam lapangannya membuatnya mudah membaur.Namun, mata beberapa orang mengikuti langkahnya. Bukan karena mereka mengenali—melainkan karena ada yang disuruh mengawasi.Ia pura-pura tidak melihat.Dari kejauhan, ia melihat Kolonel Ardan berdiri di depan podium, berbicara ringan dengan seorang jenderal yang lebih tua. Ardan tampak tenang. Senyumnya khas perwira yang sudah lama terbiasa berpolitik.Oran
Reina menatap layar ponselnya cukup lama setelah pesan itu muncul. Bukan karena takut. Tapi karena kalimat itu terasa bukan ancaman… melainkan pengingat dari seseorang yang tahu lebih banyak daripada musuh-musuhnya. “Diam bukan pilihan lagi. Jangan ulangi kesalahan ayahmu.” Kesalahan ayahnya? Orang-orang mengira mereka tahu apa yang terjadi, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar berada di ruangan itu, hari itu, saat semuanya runtuh. Kecuali satu orang. Dan orang itu hilang begitu saja sesudahnya. Reina menekan tombol power, mengunci layar, lalu menyimpan ponselnya tanpa ekspresi. Tapi otaknya tidak berhenti bekerja satu detik pun. Siapa yang cukup berani mengirim pesan seperti itu? Orang dalam? Perwira senior? Bawahan almarhum ayahnya? Atau seseorang yang sengaja ingin mengaduk masa lalu… agar kembali meledak? Ia masuk ke dalam mobil, tapi bahkan sebelum jari menyentuh setir, ia menyadari sesuatu. Spion tengahnya sedikit berubah posisi. Ia tahu betul ia tidak p
Lorong rumah sakit militer itu dinginnya tidak wajar malam itu, seolah AC sengaja dinaikkan untuk membekukan orang-orang yang masih sadar. Lampu neon putih di langit-langit berkedip sekali, lalu stabil kembali. Reina Armanda berjalan pelan sambil melepas sarung tangan bedah, ujung jarinya memerah karena terlalu lama menggenggam alat operasi. Enam jam operasi darurat, tiga prajurit dengan luka tembak di perbatasan, dan dua nyawa yang hampir tidak kembali. Tapi justru bukan itu yang membuat napasnya berat.Ia merasa malam ini ada sesuatu yang menunggu namun bukan rasa lelah. Di ujung lorong, suara dua perawat yang berpapasan tiba-tiba merendah begitu melihatnya lewat. Bukan karena wibawanya sebagai dokter bedah militer, tapi seperti ada bisik-bisik yang sudah mendahului langkahnya. Salah satu dari mereka bahkan sempat menatap Reina dengan ekspresi seperti hendak bicara… lalu mengurungkan diri. Reina mengabaikannya. Begitu membuka pintu ruang istirahat dokter, ia mengira ruangan it








