Alya membiarkan Jerry membawa Evan masuk ke dalam kamar pria yang sedang mabuk tak berdaya tersebut. Sedang Alay mengikuti langkah mereka dari belakang tubuh pria yang sama-sama gagah itu. Hanya saja, Jerry terlihat lebih kurus dari sang suami tapi Alya sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun sejak mengirinng kedua pria itu. Sepertinya, Jerry yang mengaku sebagai teman Evan itu sudah sangat tahu dimana kamar suaminya itu berada. Sebab, tanpa Alya kasih tahu pun pria itu sudah melangkah menuju ke kamar sang suami. “Biar aku buka pintunya dulu,” kata Alya, dia mempercepat langkahnya demi bisa membukakan pintu kamar Evan dan memudahkan teman suaminya itu membawa tubuh besar Evan masuk ke dalam.Jerry menunggu sejenak, sebelum akhirnya pria itu benar-benar membawa masuk Evan ke dalam menuju ke ranjang pria tersebut.“Bangke, berat banget sih badan lo. Sialan!” Umpat pria itu setelah berhasil melempar tubuh kekar sang teman.Alya terdiam, dia sama sekali tidak menanggapi umpatan yan
Di balik selimut tebal berwarna abu-abu yang membuat suhu ruangan begitu dingin itu menjadi penghangat boleh balutan selimut dan pelukan hangat dari kulit yang menempel pada tubuh Alya itu mulai Mengusik alam bawah sadar wanita tersebut.Alya mulai menggeliat, dengan begitu perlahan karena kelopak matanya pun mulai terbuka. Menyeimbangkan lampu kamar yang meremang itu bersamaan dengan iris berwarna kecoklatan itu mulai membuka sempurna penuh kebingungan.“Astagfirullah!” gumam Alya dengan suara Pelannya. Tubuhnya terasa hangat dan nyaman dia pun mulai tersadar jika dirinya tidak sedang terlelap pada sebuah bantal empuk yang beberapa hari menemaninya.Dia mulai menoleh, menatap ke atas dan mendapati pria yang tak lain adalah suaminya, Evan, itu masih terlelap dengan kelopak mata yang masih tertutup rapat sempurna. “Astagfirullah, kenapa aku bisa ketiduran seperti ini diperlukan Pak Evan?” Tanya Alya pada dirinya sendiri. Detak jantungnya mulai bertalu tak karuan, saat tersadar jarak
Alya terdiam saat Evan dengan kasar menolak sarapan yang telah disiapkan olehnya. Tak hanya sampai disitu, pria itu dengan Seenaknya saja menuduh dirinya yang tidak tidak. Apa Alya terlihat memiliki niat jahat seperti itu pada suaminya?Seharusnya Evan dapat berpikir realistis, jika Alya memang memiliki melihat seperti itu kenapa tidak dilakukan olehnya sejak dulu. Dan lebih memilih meminta dirinya untuk dinikahi secara siri pada Evan yang Bahkan untuk menuntut apapun itu tidak akan bisa Alya lakukan karena memang pernikahan mereka tidak tercatat pada catatan Sipil. Dan Alya tidak bisa melakukan tuntutan apapun kepada Evan nantinya.Alya masih berdiri di tempatnya, menatap pintu yang sudah kembali rapat tertutup sejak kapan keluar dari sana.“Sabar, Al. Kamu tidak boleh terpancing amarah juga seperti suami itu,” kata Alya pan. Dia menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya dia benar-benar meninggalkan ruang tamu itu dan berlalu menuju ke pantry untuk sarapan seorang diri.Dua piring n
“Bukankah perusahaan ini menyediakan pinjaman untuk karyawannya yang membutuhkan, yang nanti akan dipotong langsung dari gaji bulanan sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan pada perusahaan ini, Pak?” Tanya Alya. Gadis berusia 20 tahun yang saat ini sedang menjadi tulang punggung keluarganya mencoba berargumen pada manajer akunting baru yang tak lain adalah anak dari pemilik pabrik konveksi tempatnya bekerja. Wanita yang sejak beberapa tahun terakhir ini menjadi lemah keadaannya, karena harus mendapati fakta jika sang ibu yang selama ini bekerja keras untuknya dan Safa, adiknya itu harus mengidap penyakit jantung koroner. Pria yang berada di balik meja kerjanya itu menatap tak suka pada Alya yang berusaha mencari simpati kepadanya. Kebijakan baru saja dia buat, tentu saja dia tak akan melakukan pelanggaran atas apa yang sudah diputuskan olehnya. Bagi Evan, permintaan karyawannya itu tak masuk akal. Jumlah yang akan dipinjam bukanlah jumlah sedikit. Melainkan jumlah uang ratusan j
Alya kembali ke ruang kerjanya dengan mata sembab dan langkahnya yang gontai. Banyak pasang mata yang menatap penuh tanya saat melihat kondisi yang terjadi kepada Alya. Tentu saja semua orang yang melihat keadaan Alya tidak seperti biasanya itu saling bertanya satu sama lain. Dan mereka hanya mengira jika sesuatu buruk terjadi pada ibu gadis tersebut.Tiba di ruang kerjanya, sambutan pertama yang Alya dapatkan adalah tatapan cemas dari Vira, rekan kerja satu profesi dengannya yang menjadi desain tiap pakaian yang diproduksi oleh pabrik tekstil tersebut.Vira yang mendapati keadaan temannya yang sedang tidak baik-baik saja itupun tidak tinggal diam. Dia segera mendekat, menatap penuh tanya kepada wanita yang terbiasa ceria itu masuk dengan mata sembab yang masih memerah.“Apa yang terjadi?” Vira yang mendapati sang teman sedang tak baik-baik saja itu pun menjadi panik. Setelah mereka melakukan absensi masuk bekerja, Vira sudah tidak mendapati temannya kembali masuk ke ruang kerjany
“Maaf.” Vira yang sebelumnya terlihat antusias mendengar keluhan dari Alya itu tiba-tiba meminta maaf pada temannya. Dia menatap sendu pada Alya, setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh rekan kerjanya tersebut. Vira tidak mampu berbuat banyak. Sebagai teman yang baik dia hanya mampu mendoakan semoga kalian bisa melewati ujian hidup yang terjadi pada dirinya dan keluarganya tersebut.“Kenapa Mbak minta maaf. Mbak ga salah apa pun loh,” kata Alya. Wanita yang semula sudah bersiap menumpahkan cairan kristal di balik kelopak matanya itu tiba-tiba terkekeh pelan. Dia mengulas senyum cantiknya, menatap pada sang teman karena Vira yang sama sekali tidak melakukan kesalahan malah meminta maaf kepadanya.“Al.” Wanita yang menetap sendu kepada Alya itu bukan suara, masih dengan tatapan nanarnya. Dia berucap, “mbak minta maaf. Kali ini habis tidak bisa membantu lebih untukmu dan keluargamu. Jujur saja Mbak juga habis memberikan pinjaman kepada Mas Emir untuk biaya pendidikannya. Jad
Alya merasa lemas seketika, saat harus menyadari panggilan untuk datang ke sekolah Safa, adiknya. Selain tak bisa mengabaikan masalah biaya yang harus ia dapatkan untuk pengobatan ibunya. Alya juga tidak bisa membiarkan Safa mengalami kesulitan di ujung kelulusan yang sudah di depan mata.Ternyata seperti ini rasanya sekolah di swasta. Semua harus serba dengan uang. Bahkan, saat harus mengikuti ujian akhir pun. Uang masih harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. “Ada apa lagi?” Tanya Mbak Vira pada Alya. Alya menoleh pada sang teman, menghela nafas beratnya, sebelum akhirnya membuangnya dengan perlahan.Dia menatap pada Vira sekilas, sebelum akhirnya mengalihkan tatapan pada jalanan menuju ke ruang kerja mereka.“Panggilan dari sekolah Safa, Mbak. Sebentar lagi Safa akan ujian akhir, wali kelasnya meminta Alya untuk datang ke sekolah mengenai perihal uang akhir tahun Safa yang belum terbayar lunas.” Alya sama sekali tidak menutupi gambar yang baru saja ia dapatkan dari wal
“Woi! Lo bisa nggak naik motor!” Teriak seorang pejalan kaki yang hampir saja tertabrak oleh Alya yang tidak menyadari lampu merah menyala di perempatan jalan yang sedang dilaluinya.“Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Saya kurang berhati-hati,” ujar Alya yang hampir saja menabrak pejalan kaki yang hendak menyerang jalan yang ia lalui untuk kembali pulang menuju ke rumah sakit. “Al. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu harus hati-hati mengendarai sepeda motor. Kamu pasti sedang ngelamun, makanya hampir saja menabrak orang.” Alya menoleh, dia mengangguk pelan. Membenarkan kalimat Mbak Vira akan fakta yang terjadi pada dirinya. “Iya, Mbak. Alya minta maaf,” jawab Alya. “Apa ganti mbak saja yang bawa motornya?” Tawar Mbak Vira untuk berganti membawa sepeda motornya. Alya menggeleng, “Tidak perlu Mbak. Alya akan lebih berhati-hati lagi.” Tanpa mereka sadari, kejadian yang baru saja mereka alami tersebut tak luput dari sepasang mata yang memperhatikan mereka dari dalam mobil mewah yang dikendar