Share

Hujan Yang Tak Reda

Saat mereka kembali ke kabin, hujan turun cukup deras dan membuat pakaian mereka basah. Begitupun dengan cucian yang pagi tadi Diana cuci, alhasil kini dia hanya mengenakan kaos abu-abu dan celana pendek di atas lutut, satu-satunya pakaian yang tersisa di lemari kabin. Sebab, dia memang lupa memindahkan koper berisi pakaiannya ke sini. Semua barang-barangnya masih ada di Villa, begitupun dengan pakaian Evan. Namun, posisi Evan lebih sulit karena kini benar-benar tak punya baju ganti. Alhasil kini Evan mengasingkan diri di atas, membungkus badannya menggunakan selimut dan membiarkan Diana mencuci dan menjemur pakaiannya di teras bawah kabin.

“Lo beneran nggak mau makan?” tanya Diana sambil membuka kembali makanan yang tadi pagi dikirimkan oleh Inggit. Meskipun tinggal setengah dan sudah ada beberapa semut yang singgah tapi lumayan bisa dimakan. Diana jauh lebih tidak tahan kalau disuruh kelaparan. Tidak kuat. “Nyokap lo nggak bakal ke sini, kayaknya. Hujannya terlalu deras. Kalau lo nggak mau, gue habiskan ya?” lanjut Diana dengan berteriak.

Evan yang sebenarnya kelaparan memilih tidak menjawab. Dia memegangi perutnya sendiri, lalu menelan ludah kasar. Sebagai orang yang paling tidak bisa makan-makanan sembarangan, Evan jelas tak mau mengorbankan kesehatannya. Pun sebenarnya dia juga jijik dengan gaya hidup Diana. Mungkin, kalau dia diusir ke tengah-tengah tempat pembuangan sampah pun, Diana akan bisa hidup dengan memakan sampah-sampah yang ada di sana.

Diana sangat berbeda dengan Aira.

Omong-omong Aira, Evan segera meraih ponsel pintarnya yang sedang dicas, lalu menekan layarnya dua kali, membuka layar kunci dan menampilkan foto dirinya dan Aira yang sedang menatap matahari. Itu adalah foto yang diambil beberapa bulan lalu, saat mereka memutuskan liburan bersama ke Bali. Kalau saja yang dia nikahi sekarang adalah Aira, tentu saja Evan tak akan kedinginan. Suasana hujan macam ini merupakan penambah kadar romantis yang sempurna.

Di sisi lain, Diana sedang membersihkan semut-semut kecil dipinggiran roti sebelum menyantapnya. Dia sebenarnya ingin berlari menerobos hujan untuk mengambil makanan tapi itu sangat tidak memungkinkan, mengingat kilatan-kilatan petir yang menyampar di kejauhan. Diana tentu tak mau menjadi Diana Bakar saat dalam perjalanan. Tapi, jujur dia memang masih kelaparan.

Lalu, Diana mengambil pemanas air yang ada di kamarnya untuk menghangatkan badan. Tidak ada kopi, teh apalagi gula. Hanya air panas biasa tapi sangat lumayan untuk membuatnya merasa lebih baik.

“Van!” panggilnya. “Evan, lo sudah tidur ya?”

Masih tidak ada jawaban, Diana menghela napas panjang lalu naik ke atas kasur sambil menggenggam gelas berisi air panas di tangannya. Sebenarnya, sejak awal dia sadar dengan posisinya. Menikahi Evan tidak akan mengubah apapun dalam kehidupannya. Mereka tetap akan jadi orang asing. Tapi, pria itu terlalu kaku.

Evan bahkan tak pernah menganggapnya sebagai saudaranya, sekalipun Oma sudah mengadopsi Diana dan membawanya menjadi bagian dari keluarga Handoyo. Seingat Diana, memang hanya Evan lah satu-satunya orang yang tak menganggapnya di rumah Handoyo.

“Sial! Kenapa malah gue sekarang harus nikah sama dia?” gumam Diana. “Kalau bukan karena Oma, sudah pasti gue nggak akan mau. Secinta-cintanya gue ke dia, tetap saja nggak akan sudi menikahi manusia batu kayak begitu.”

Bagi Diana, Oma bukan hanya orang yang mengurusnya tapi juga satu-satunya orang tua yang dia miliki. Di saat usianya semakin dewasa dan nyaris tak ada yang mau mengadopsinya, Oma datang untuk mengambilnya. Seperti malaikat. Dan jika dengan menikahi Evan bisa membuatnya bahagia, maka Diana akan melakukannya. Meskipun hubungan mereka tidak akan pernah benar-benar sama dengan pernikahan orang lain. Tidak abadi karena dia dan Evan akan bercerai secepatnya, setelah kondisi Oma lebih baik.

Ponsel Diana berdering, buru-buru dia bangkit dan mengambil benda tersebut di atas meja rias.

“Halo, Ma!” sapa Diana.

Inggit menjawab, “Kamu dan Evan bagaimana? Bisa ke sini buat makan siang bareng?”

“Nggak bisa, Ma. Hujannya terlalu deras. Baju Evan juga basah, nggak punya baju ganti.”

“Oalah.” Tidak ada keprihatinan dari cara Inggit bicara. “Kalau begitu, kalian sabar saja dulu ya. Nanti kalau hujannya sudah agak reda, biar Mama minta Mang Ujang untuk mengantarkan makanan dan pakaian buat kalian.”

“Iya, Ma.”

“Omong-omong, bagaimana malam pertama kalian?” tanya Inggit tanpa basa-basi. “Kalau bisa, ini kan mumpung hujan …, hawanya dingin …, kamu dan Evan bisa lah usahakan buat makin ….”

“Makin apa, Ma?”

“Masa kamu nggak paham?”

Diana mengerutkan kening, tapi kemudian menjawab, “Mama jangan mikir macam-macam.”

“Kalian kan sudah sah jadi pasangan. Malah harus macam-macam,” kata Inggit sambil menutup telepon. Membuat Diana buru-buru melemparkan ponselnya ke atas kasur, lalu melompat ke sana juga. Seperti anak kucing yang menggigil, Diana menenggelamkan tubuhnya di atas tumpukan bantal.

Cukup lama dia menunggu hujan reda tapi hingga hampir setengah tujuh malam belum ada tanda-tanda. Dia sempat mengira kalau harus benar-benar puasa sampai esok pagi tapi ternyata, ketika Diana sudah merasakan perih di lambungnya kian menyebar, seseorang datang dari kejauhan, membawa rantang dan memakai mantel hitam, lengkap dengan senter yang dipasang dijidat.

“Mang Ujang kok lama banget!” kata Diana.

Mang Ujang yang baru sampai hanya tertawa lalu menyerahkan rantang dan tas yang dia bawa. “Ini ada baju ganti juga buat Den Evan.”

“Makasih ya, Mang.”

“Sami-sami.” Mang Ujang melirik ke arah pintu kabin yang terbuka. “Suamimu mana?”

Diana buru-buru menjawab, “Di toilet.”

“Ya sudah, kalau begitu sayaa balik dulu, Ning.”

“Sekali lagi makasih ya, Mang!”

Diana kembali ke dalam kamar dan membuka rantang makanan yang ternyata berisi cukup banyak makanan. Sementara di dalam tas tidak hanya ada baju-baju Evan saja, tetapi juga pakaiannya. Karena tak mau rasa laparnya semakin menjadi, Diana segera membungkus baju-baju Evan dalam kresek yang ada di sana, dan dengan nekat dia naik ke atas, tak menghiraukan tubuhnya yang basah kuyup karena hujan.

“Van!”

Tidak ada jawaban.

“Lo ketiduran ya?” kata Diana sambil mengetuk-ketuk pintu kabin. “Gue bawa baju ganti nih buat lo. Gue taruh di depan pintu ya. Kalau lo mau makan ada di bawah.”

Lalu, segera Diana menuruni anak tangga yang licin. Namun, sebelum dia masuk ke kabinnya buru-buru dia menyambar handuk yang tergantung di depan kamar dan mengambil daster abu-abu miliknya. Dia tidak mau makan sambil basah-basahan.

Kalau memang Evan nggak mau makan, Diana tentu akan sangat bersyukur tapi sayangnya, begitu pintu toilet di buka, Evan sudah berada di sana. Hanya  saja dia sudah memakai pakaian lengkap sekarang.

“Mana makanannya?”

“Bisa

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status