"Uwek!! Uwek!! Akh! Astaga."
Entah sudah berapa kali Nova berusaha mengeluarkan sesuatu yang mengganjal di perutnya. Rasanya tak nyaman tiap kali hidungnya mencium aroma yang mengganggu.
Nova memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Beberapa titik bagian tubuhnya sudah mengalami perubahan besar sejak mengandung calon anak pertamanya dengan Angga.
Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, waktu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya sebelum janin berjenis kelamin perempuan itu lahir ke dunia.
Dengan langkah yang terasa berat, juga kepala yang masih pening Nova berjalan menuju tempat tidur.
"Kamu muntah-muntah lagi? Sudah kubilang periksakan ke dokter. Keras kepala sekali," ucap Angga yang sedang berjibaku dengan pekerjaannya. Tanpa melihat ke arah Nova, mulut Angga dengan mudahnya mencibir.
"Aku sudah konsultasi dengan dokter via chat, dokter bilang ini wajar." Nova tidak ingin mengibarkan bendera perang di tengah kondisinya yang melemah. Tenaga hampir habis untuk memuntahkan semua isi perutnya namun Angga malah memojokkannya.
Memang benar, pernikahan tak hanya cukup diisi oleh cinta. Empati dan usaha untuk saling mengerti satu sama lain harus menjadi bumbu dalam pernikahan itu sendiri.
Mengenaskan, Nova bahkan tidak memiliki satupun diantara tiga unsur dalam pernikahan itu.
"Kurangi keras kepala dan sifat pembantah mu itu. Kamu sedang mengandung anakku, jika sampai terjadi sesuatu dengannya, aku tidak akan memaafkanmu," tegas Angga, mengalihkan pandangannya ke arah Nova yang sudah bersandar di kepala ranjang.
"Bukankah kamu memang tidak pernah memaafkanku?" Nova mencibir.
Deg!
Pergerakan tangan Angga di atas dokumen penting miliknya terhenti. Nova memukau pria itu dengan tatapan nanar dan penuh luka trauma. Di pernikahan mereka yang menginjak bulan ke sepuluh, tidak pernah sedikitpun Nova merasakan kebahagiaan layaknya seorang istri pada umumnya.
Angga selalu bersikap sinis dan bermulut pedas pada Nova. Mungkin, nama Angga akan menjadi satu-satunya penyebab luka batin yang dirasakan olehnya.
Mendengar kalimat sang istri, Angga terkekeh, "kamu memang tidak pantas mendapatkan kata maaf. Kalau tidak menikah denganku, nama baik keluargamu yang hampir tercoreng itu tidak akan bisa dikembalikan lagi. Bagaimana kalau semua kolega ayahmu tahu kalau putri tuan Hadinata adalah seorang pembunuh?"
Sebelah sudut bibir Angga terangkat, senyum kejam dan menakutkan seketika membuat bulu roma Nova berdiri. Ia tidak pernah menyangka akan dipertemukan oleh jelmaan iblis berkedok pengusaha tampan seperti Angga.
Keberanian untuk membela diri meluap seketika saat Angga memberikan isyarat pada Nova untuk tak memberikan perlawanan.
"Aku sudah menyuruh asisten rumah tangga untuk menyiapkan gaun dan riasan untukmu. Jangan lupa, malam ini kita akan menghadiri pesta ulang tahun kolegaku," ujar Angga. Pria itu bangkit dari kursi kebesarannya merampas jas yang tersampir di sana dengan kasar lalu pergi meninggalkan Nova sendiri di kamar.
Kepergian Angga meninggalkan perasaan lega dalam benak Nova, bersama pria itu suasana kamar bagaikan neraka. Masih untung hari ini Angga disibukkan dengan banyak pekerjaan sehingga Nova tak harus melayani kebutuhan ranjang pria itu setiap tiga jam sekali.
Gila! Ini memang terdengar gila!
Angga yang seorang Hypersex tidak akan pernah peduli kondisi sang istri. Nova diwajibkan untuk selalu sigap melayaninya, bahkan dalam kondisi perut yang semakin membesar.
Tiap kali mengingat bagaimana Angga memperlakukannya, batin Nova tersiksa. Kamar ini menjadi saksi bisu berapa banyak tangisan yang ditumpahkan Nova saat meratapi nasib percintaannya yang sial.
Belum lagi, tuntutan untuk selalu tampil sempurna di depan semua orang. Persona sebagai istri seorang Savangga Danuel yang bahagia dengan rumah tangga harmonis. Adalah label yang sudah melekat erat dalam diri Nova sejak sepuluh bulan ke belakang.
Tok! Tok! Tok!
Lamunan Nova seketika buyar, seseorang di balik pintu kamar mengacaukan sesi mengasihani diri sendiri yang sedang Nova lakukan.
"Masuk."
"Permisi Nyonya, mohon izin untuk menyiapkan gaun dan riasan untuk acara nanti malam. Tuan Angga sudah–"
"Tolong letakkan di sana saja," sela Nova menunjuk ke arah sudut ruangan tempat ruangan wardrobe berada. "Kamu boleh pergi sekarang."
"Baik, Nyonya." Tanpa banyak kata sang asisten rumah tangga bergegas menyelesaikan perintahnya lalu pergi dengan penuh hormat.
Nova tidak ingin larut dalam kehidupan yang penuh siksaan batin seperti sekarang. Sepuluh bulan memang bukanlah waktu yang lama, tapi bagi Nova semua ini bagaikan sudah ia lewati bertahun-tahun lamanya.
Gerakan kecil di perut sontak mengalihkan perhatian Nova. Agaknya, si bayi dalam kandungannya mengerti kalau Nova sedang tidak baik-baik saja.
Sambil mengelus perutnya yang buncit Nova berkata, "maafin mama ya, sayang. Mama dan papa memang tidak saling mencintai, tapi mama berjanji, mama dan papa akan memberikan kasih sayang dan cinta sepenuhnya padamu. Memberikan kehidupan yang layak dan membahagiakan kamu. Jangan khawatirkan mama, mama bisa melewati ini semua selama kamu sama mama."
Seolah mengerti dengan ucapan Nova, gerakan janinnya semakin brutal. Sesekali Nova meringis kesakitan kala kaki-kaki mungil bayinya tercetak jelas di permukaan perutnya yang mulus.
Di balik banyaknya kepahitan yang harus Nova telan, terselip sebuah anugerah Tuhan yang paling indah. Kehadiran janin di dalam kandungan Nova adalah satu-satunya harapan dan semangat tiap kali Nova hampir kehilangan kewarasannya saat menghadapi Angga.
Perlakuan pria itu di depan kamera dan para kolega, dengan perlakuannya terhadap Nova di balik layar bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda.
Entah sampai kapan Nova harus menelan racun kehidupan berupa pernikahan ini. Nova tidak punya pilihan, melepaskan menjadi beban, bertahan bagai tawanan.
Nova memutuskan untuk menyudahi kesedihannya dan beranjak dari tempat tidur. Jam di dinding menunjukkan pukul enam sore, dalam waktu satu jam kedepan, Nova harus sudah siap dengan penampilan yang mampu memukau banyak mata.
Kecantikannya tak jarang membuat banyak kolega wanita Angga iri, dan hal itu tentu semakin membuat sang suami besar kepala.
"Seharusnya kamu yang merasa beruntung karena telah mendapatkan istri sepertiku. Andai saja aku tidak berada di kos Andre malam itu, mungkin hidupku tidak akan pernah terjerumus ke dalam neraka seperti sekarang!" gumam Nova merutuki kilasan bayangan-bayangan kesombongan Angga yang melekat di kepala.
Saat membuka kotak berisi gaun malam yang akan ia pakai, Nova menemukan secarik amplop berwarna biru di sisi gaunnya. Tidak ada yang menarik dari amplop itu. Sehingga Nova memilih untuk mengabaikannya.
"Mungkin hanya kartu ucapan seperti biasa, sebaiknya aku tidak perlu terlalu memikirkannya," ucap Nova sambil berlalu meninggalkan ruang rias menuju ruang ganti.
Nov harus mempersiapkan diri dan menjadi tamu paling berkelas diantara deretan istri pengusaha-pengusaha tersohor lainnya. Jika tidak, Angga akan memberikan hukuman sekaligus mimpi buruk untuknya malam ini.
Empat jam sisa penerbangan sebelum mendarat di Jakarta dilalui Angga, Nova, bahkan Chris dalam keheningan. Namun, dibanding Chris yang tidak mendapatkan efek apapun dari tragedi tadi, ada Angga yang kini melangkah di sepanjang lounge bandara dengan segala pikiran berkecamuk. Meski begitu, perhatiannya terhadap Nova dan bayi mungil, Noah, tetap menjadi prioritasnya. Ia memastikan setiap hal berjalan dengan lancar dan dua orang itu selalu berada dalam keadaan nyaman. Mereka sudah mendarat di Jakarta. Lalu lalang orang-orang di sekitar mereka sempat membuat Angga kesulitan untuk mengawasi Nova dan Noah. “Kenapa kau tidak menugaskan pengawal untuk berjaga, huh?” ucap Angga pada Chris di depannya, memimpin langkah mereka keluar dari lounge. Wajah pria itu memucat, “Maaf, Tuan. Aku pikir kita akan pulang dengan jet pribadi milikmu,” sahut Chris. Resiko pekerjaan menjadi tangan kanan Angga, ia harus mengingat dan peka akan segala detail hal tentang bosnya itu. Tidak hanya Angga, ia juga h
Angga duduk termangu di kursinya. Gelisah di dadanya mulai berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Beberapa kali ia menampar pipinya, hanya demi merasakan sakit di sana. Ini bukan mimpi. Apa yang ia dengar dari Nova tadi nyata adanya. Disaat Angga berperang dengan pikirannya sendiri, seseorang di sampingnya terlelap dalam tidur. Setelah melewati momen menegangkan karena Noah yang rewel, Nova terlelap kelelahan. Sekilas Angga memperhatikan setiap hal yang membuat dunia Angga jungkir balik karenanya. “Permisi, Tuan. Apakah Anda ingin segelas teh atau kopi?” Suara lembut pramugari membyarkan semua lamunan Angga beserta bayangan tentang Nova di kepalanya. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita cantik, dengan pakaian serba ketat berwarna biru dan sanggul rabut yang rapi dan lici. Tidak lupa senyum ramah yang merupakan sebuah kewajiban dalam pertunjukan selama penerbangan Seoul ke Jakarta. Angga tersenyum tipis membalas sapaan itu. Kopi bukan
Di lobi bandara, tiga orang berdiri sambil menyibukkan diri menata perasaan masing-masing. Selain tiga orang itu, ada Chris yang sibuk menurunkan koper bersama supir pribadi Mario. Sesekali pria itu mengecek ponsel, memastikan mereka tidak datang terlambat. “Semuanya sudah siap, Tuan. Kita bisa masuk sekarang,” ucap Chris. Di balik jas fit body yang dia kenakan, Chris nampak lebih gagah hari ini. Angga menoleh padanya, “Baiklah kalau begitu kita pergi sekarang.” Ia mendekati Mario dan Nova yang kini sedang berbicara serius. “Nova, sudah waktunya kita berangkat,” kata Angga. Ia juga beralih pada Mario, “Dan Mario, terima kasih karena sudah membantu kami sejauh ini,” ucap Angga kemudian meraih pundak Nova mendekat padanya. Seakan ia benar-benar ingin menunjukkan bahwa Nova adalah miliknya. Mario menelisik setiap gelagat Angga yang terlihat semakin posesif. Sorot matanya menyimpan banyak arti yang tidak bisa diterjemahkan oleh Angga. Lalu, seulas senyum tipis terukir di wajah Mario.
Semilir angin menerpa wajah Nova , terasa menyegarkan namun tidak mampu mengangkat sedikit beban berat yang sedang ia pikul saat ini. Ia duduk sendirian di taman yang terhubung langsung dengan kolam renang gedung apartemen Mario seorang diri. Pandangannya mengedar, memperhatikan aktivitas penghuni lain gedung ini yang berlalu lalang di depannya. Di mata Nova, mereka terlihat seperti hidup tanpa beban. bebas tertawa dan bertukar senyum dengan orang-orang yang mereka cintai. “Apakah mereka begitu menikmati hidup mereka?” Nova berkata lirih. Pada angin, pada percikan air kolam yang berterbangan tipis dan mengenai wajahnya. Kini ia berada di tengah-tengah orang-orang individualis. Mereka hanya akan mengurus permasalahan hidup mereka sendiri alih-alih menaruh simpati pada sosok yang duduk sendirian di kursi taman seperti Nova. Di saat sendiri seperti ini, Nova tidak bisa mengendalikan pikirannya. Bayangan masa lalu kelam terus menerus mengisi setiap sudut pikiran Nova tanpa ampun. Seper
“Kamu suka cincinnya?” Angga duduk di samping Nova ikut menatap cincin lamaran yang baru saja disematkan di jari Nova. Wanita itu mengangguk cepat. Matanya tidak lepas dari jari manis yang dilingkari cincin berlian warna biru muda. “Cantik sekali cincinnya. Kamu sangat tahu seleraku.”Angga terkekeh. Tingkah Nova sangat menggemaskan. Bibir tebal nan ranum itu terus berceloteh melayangkan kekagumannya akan benda itu. “Aku memilih cincin yang sama cantiknya dengan kamu,” sahut Angga memuji. “Gombal!” seloroh Nova sambil menepuk lengan Angga. “Kamu memang berbakat berkata manis, hm?” “Boleh kalau sama istri sendiri ‘kan?”Nova mendelik, “Kita belum resmi menikah lagi, ya. Jangan sesumbar.” Rintik hujan di luar sana semakin menambah kesan romantis. Angga tidak kuasa menahan diri untuk tidak melekatkan tubuhnya pada tubuh Nova. ia terkesan tidak peduli dengan Noah yang terus mengoceh di dalam stroller bayi tak jauh dari sofa. “Kalau begitu, aku akan mempercepat jadwal pernikahan kedu
Denting bunyi alat makan yang beradu dengang mangkuk memenuhi setiap sudut kamar hotel tipe suite itu. Di meja makan kecil yang terasa intim, dua orang menghitung setiap detik dengan rasa bahagia di dada. Sekali lagi, Nova menuangkan beberapa jenis sayuran dan daging ke dalam mangkuk milik Angga. Begitu juga sebaliknya. “Aku belum pernah makan apapun sampai menambah porsi tiga kali. Kamu berhasil membuat berat badanku naik, ya,” ucap Angga sambil tertawa renyah. Senyumnya lebar, lepas tanpa beban. Kerutan halus di matanya, menjelaskan betapa tulus perasaan yang sedang pria itu tunjukkan di depan Nova. Nova ikut tertawa, hatinya tergelitik hanya dengan mendengar celotehan Angga barusan. Setelah sekian lama meredam senyum, hari ini adalah hari pertamanya tertawa begitu keras dan lepas. Suaranya mengudara bebas, seakan masa lalu tidak pernah membebani hidup Nova. “Berat badanku juga akan naik karena dari tadi kamu isi daging ke mangkukku tanpa henti, Angga,” sahut Nova tidak mau kal