"Kamu mabuk lagi, ya?" Ganendra menanggapi santai amarah Hilda.
Lain halnya dengan Jingga yang tampak ketakutan. Tanpa sadar dirinya meremas lengan kekar Ganendra, membuat konsentrasi pria itu sedikit terganggu."Sandra sudah menceritakan semua! Dia bilang kalau kamu hendak mengadakan resepsi besar-besaran! Keterlaluan kamu, Ga! Memangnya siapa Jingga sampai-sampai kamu istimewakan melebihi aku!" cerca Hilda tanpa jeda."Harus berapa kali kujelaskan padamu tentang siapa Jingga," timpal Ganendra malas."Aku yang lebih dulu masuk ke dalam hidupmu, Ga!" seru Hilda semakin tak terkendali."Masuk secara paksa," ralat Ganendra. "Masa kamu lupa, Hil. Papa yang begitu bersemangat menjodohkan kita, dan kenyataannya kita tidak cocok.""Kurang ajar!" umpat Hilda. "Aku tidak akan menyetujui rencanamu, Ga! Akan kugagalkan pesta kalian! Lihat saja nanti!" ancamnya sebelum mengakhiri panggilan secara sepihak."Bagaimana ini, PakSejak Ganendra meninggalkannya di mall tadi siang, Jingga belum bertemu dengan pria itu lagi. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan suaminya tak juga pulang.Rasa hati ingin menghubungi Ganendra, tapi Jingga tak memiliki kontaknya. Sungguh konyol dia memikirkan hal itu. Sepertinya, hanya Jingga satu-satunya istri di dunia yang tidak mengetahui nomor telepon pasangan sendiri."Hah." Jingga mengempaskan napas pelan. "Kenapa aku mesti sedih? Bukankah sedari awal, pernikahan ini hanya permainan?" gumamnya lirih.Jingga pun berusaha mengalihkan galaunya dengan mengutak-atik ponsel baru. Sewaktu di gerai ponsel tadi, Ganendra sempat membantu memindahkan seluruh memori dari telepon genggam lama ke yang baru. Gadis cantik itu tersenyum samar membayangkan raut Ganendra yang tampak antusias, lebih dari Jingga sendiri.Larut dalam lamunannya akan sosok Ganendra, Jingga sampai tak menyadari ketika pintu kamarnya dibuka pelan dari luar. Kamar itu memang tak dikunci, menging
"Aku sedang istirahat syuting di cafe Batavia," jelas Hilda. "Ke sini saja, kutunggu."Ganendra tak berpikir dua kali untuk segera menginjak pedal gasnya menuju kawasan yang dimaksud. Baginya, setiap detik sangatlah berharga. Entah mengapa, pria itu merasa ada sesuatu yang salah dan mengganjal saat menyadari bahwa Jingga menghilang, dan kemungkinan besar berada dalam bahaya.Sepuluh menit kemudian, Ganendra sudah tiba di halaman parkir cafe. Hilda sudah menunggunya di pintu masuk dengan wajah semringah."Hei, apa kabar? Sudah berapa hari kita nggak ketemu? Aku kangen sekali," sapa Hilda manja. Jemarinya usil bermain di dagu Ganendra."Bisa kita bicara berdua saja? Jangan di sini," pinta Ganendra dengan nada datar dan dingin. Sigap dirinya mencekal tangan Hilda, karena tak ingin wanita cantik itu menyentuh wajahnya lebih jauh lagi. "Terserah kamu. Kita ngobrol di hotel juga boleh," timpal Hilda setengah menggoda."Kita bicara di mobil." Ganendra memberikan isyarat pada Hilda agar men
Seluruh asisten rumah tangga tak ada yang berani membantah. Mereka patuh terhadap perintah Ganendra dan keluar dari ruang kerja dengan tertib. Tinggallah Darni yang tampak ketakutan. Sejak tadi, wanita itu menundukkan kepala. Dia tak berani membalas tatapan tajam Ganendra yang terus terarah kepadanya. "Maaf, Tuan," ucap Darni kikuk. Ganendra paham benar, wanita di hadapannya itu tengah menyembunyikan sesuatu yang besar. Tinggal sedikit ancaman saja, dia yakin bahwa Darni pasti akan mengungkapkan semuanya. "Anda tahu siapa saya dan Papa kan, Bu? Bayangkan akibatnya jika anda berani berbohong kepada saya," ujar Ganendra penuh penekanan. "Saya tidak bermaksud untuk berbohong, Tuan." Raut wajah Darni memelas sambil menangkupkan kedua tangan ke dada. "Tidak bermaksud? Jadi, memang anda berbohong?" pancing Ganendra. "Saya ...." "Siapa yang menyuruh anda, Bu Darni?" desak Ganendra. Bukannya menjawab, Darni malah menangis dan bersimpuh di hadapan Ganendra. "Saya tidak punya pilihan, Tu
Wajah Ganendra merah padam. Ada perasaan aneh yang tak dapat dia jelaskan saat mendengar bahwa Jingga telah mati. Separuh akal sehatnya seolah melayang. "Apa maksudmu mati, Hil?" sentaknya seraya mencengkeram kedua lengan Hilda kuat-kuat. Ganendra tak peduli tatkala asisten Hilda dan para kru film memandangnya dengan sorot bertanya-tanya. "Lepas, Ga. Sakit," rintih Hilda. Namun, Ganendra malah semakin mengeratkan cengkeramannya. "Tidak ada lagi alasan bagiku untuk tidak menyeretmu ke penjara sekarang juga," desis Ganendra. "Ayo!" Kesabarannya sudah hilang. Dia menarik tangan Hilda agar bersedia ikut dengannya. "Tunggu, Ga! Jangan!" Hilda mengelak. Sekuat tenaga dirinya berusaha melepaskan diri dari pria bertubuh tinggi dan tegap itu. "Apa perlu kuumumkan di sini sekalian, kalau kamu sudah menculik dan membunuh Jingga?" ancam Ganendra. "Ssst, diam, Ga!" Hilda berusaha untuk menutupi mulut Ganendra, tapi pria rupawan itu menghindar.
"Jingga ... bangun," ucap Ganendra lirih seraya menepuk pelan pipi Jingga. Namun, kelopak mata gadis itu masih tertutup rapat. "Coba mulutnya ditetesi air, Pak," saran si manajer resort. "Boleh, coba bawakan air," timpal Ganendra. "Ini sudah saya siapkan." Pria berseragam batik itu menyodorkan segelas air. Ganendra menoleh dan memperhatikan pin papan nama yang tersemat di dada kanan, bertuliskan nama 'Rudi'. "Maaf, aku baru memperhatikan namamu. Jadi, kamu yang bernama Rudi?" tanya Ganendra. "Benar, Pak. Dulu Pak Atmawirya yang memercayakan resort ini pada saya," jelas pria bernama Rudi itu sopan. "Baiklah. Terima kasih, Rud. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya tanpa bantuanmu," ucap Ganendra tulus. "Yang penting istri anda selamat, Pak," balas Rudi. "Ah, iya." Perhatian Ganendra beralih sepenuhnya pada Jingga. Kulit mulus gadis cantik itu tergores di sana-sini. Tampak bekas lumpur yang mengering, mengotori muka
"Siapa bilang kamu orang ketiga? Asal kamu tahu, ya. Aku bebas berhubungan dengan siapapun yang kumau. Kamu bukan orang pertama yang masuk dalam kehidupan pernikahanku, dan pastinya bukan pula yang terakhir," ucap Ganendra."Kalau ada yang patut disalahkan dalam masalah ini, Hilda lah orangnya. Dia terlalu serakah, berharap agar aku bersedia patuh hanya kepadanya. Itulah kenapa aku menikahimu, sebagai tameng jika ada perempuan-perempuan lain macam Hilda yang berusaha mengikatku," papar Ganendra panjang lebar. "Apa kamu mengerti, Jingga?" Jingga mengangguk pelan. Sebulir air menetes dari sudut mata. Entah hubungan macam apa yang akan dia jalani bersama Ganendra ke depannya. Dia hanya bisa bertahan demi sebuah perjanjian."Bagus, sekarang berhenti menangis!" Ganendra langsung mengusap pelipis Jingga yang basah. "Mulai sekarang, lakukan peranmu sebaik-baiknya dan jangan pernah melibatkan perasaan di antara kita," tegasnya.Hati Jingga semakin perih mendengar kalimat itu. Betapa bodohnya
"Tidak bisa begitu, Ga!" sentak Hilda tak terima."Semua terserah kamu. Itu satu-satunya syarat agar kamu terlepas dari jerat hukum," ujar Ganendra enteng."Ga, dengarkan aku ....""Kuberi waktu satu hari untuk berpikir. Besok pagi-pagi, aku kembali ke Jakarta. Semoga saat itu kamu sudah mengambil keputusan." Selesai berbicara demikian, Ganendra langsung mematikan teleponnya.Rasanya sudah terlalu lama dia meninggalkan Jingga. Ganendra tak tenang, sehingga dia buru-buru kembali ke kamar.Tampak seorang pegawai resort tengah meletakkan semangkuk bubur di nakas samping ranjang. Sementara petugas puskesmas sibuk membereskan peralatannya."Bagaimana keadaan istriku?" tanya Ganendra pada Rudi yang turut membantu para petugas kesehatan itu."Baik, Pak," sahut salah seorang petugas, sebelum Rudi sempat membuka mulut. "Tekanan darah normal, seluruh tanda-tanda vital juga normal. Kami juga sudah melepas infusnya," lanjut si petugas."Syukurlah," Ganendra mengempaskan napas lega. "Jadi, aku bisa
Ganendra merasa bersalah telah membuat Jingga kelelahan. Dia bahkan harus membantu gadis malang itu keluar dari bath up dan membopongnya sampai ke ranjang. "Aku capek sekali, Pak," keluh Jingga. "Pakai baju dulu, biar tidak masuk angin," sergah Ganendra, padahal dia sendiri juga hanya memakai handuk yang terlilit di bawah pinggang.Ganendra lalu meraih kaos yang tadi dipakai oleh Jingga. "Sementara ini dulu. Nanti kusuruh Rudi mencarikan baju ganti," ujarnya. "Terserah bapak, deh," Jingga mengulurkan tangan, seolah menyuruh Ganendra memakaikan kaos untuknya. Anehnya, Ganendra malah menurut. Dengan telaten, dia memakaikan kaos beserta celananya, sedangkan Jingga sudah tak kuasa menahan kantuknya. Begitu mudahnya gadis itu terpejam dan mendengkur pelan. "Ya, ampun," gumam Ganendra. "Selelah itukah kamu, Ngga? Maaf, ya," ucapnya meskipun tahu bahwa sang istri tak akan bisa mendengar. Melihat Jingga pulas tertidur, Ganendra buru-buru mengenakan kemeja dan celana, kemudian meraih ponse