Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan.
"Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki.
Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah.
"Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah.
"Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja.
"Apa lagi?" Safira menatap Gilang.
"Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Ikuti terus kisah Gilang dan Safira ya? Makasih sudah membaca..
Menjelang istirahat, Safira ke luar kelas, hendak menuju kantin. Namun, seorang siswi memanggilnya. "Safira," Safira menoleh. Safira tak kenal siswi itu tapi dia sempat melihat nametag gadis itu bertuliskan Risa Indira. Safira tak sengaja terpandang ke tangan Risa yang memegang sebuah kotak kecil. "Safira, kan?" "Iya, ada apa?" "Ini dari Gilang buat lo." Risa menyodorkan kotak kecil di tangannya ke Safira. Safira melirik kotak itu, kotak kecil bersampul kertas kado berwarna merah muda motif kotak-kotak. "Terima aja. Dia nitip ini ke gue buat lo, katanya sebagai hadiah," jelas Risa saat melihat Safira seperti enggan menerimanya. Safira menerima kotak itu. "Makasih." Risa tersenyum, "sama-sama. Gue duluan, ya." Risa berlalu mendahului Safira, entah hendak ke mana. Safira menilik kotak itu dengan heran. "Apa, sih, nih?" Dia berjalan menuju bangku panjang depan koridor membuka kotak itu di sana. Ternyata isi
Safira duduk di meja belajarnya. Memperhatikan gelang bermata berry merah itu dengan saksama. Dia masih tak habis pikir, Gilang memberinya gelang. Jauh dalam lubuk hatinya, dia yakin, cowok itu punya maksud tertentu. Apa tujuan cowok itu mendekatinya? Jawaban dari pertanyaan itu yang sedang dia pikirkan. Apa pun itu Safira yakin bukan seperti yang Riri katakan kalau Gilang menyukainya. Itu sama sekali tidak masuk akal menurut Safira. Tidak mungkin lelaki seperti Gilang menyukai perempuan seperti dirinya. Ponsel Safira di atas meja bergetar. Ada notifikasi masuk. Lamunan Safira seketika buyar dan perhatiannya teralihkan ke ponsel di dekatnya. Safira segera meletakkan gelang yang di pegangnya ke atas meja, meraih dan mengecek ponselnya. Ada pesan di sosial medianya. Safira mengklik pesan itu. Gilang Angkasa: Gimana gelangnya? Suka? Safira membelalak. Lelaki itu bahkan sudah tahu sosial medianya dan bah
Hari-hari terus berlalu. Entah bagaimana, hubungan Safira dan Gilang semakin akrab. Mereka sering chatingan. Gilang selalu menghubungi Safira lebih dulu dan Safira tak pernah ada alasan untuk tidak membalas pesan lelaki itu meski pun dia sibuk. Jujur, jauh dari orang tua membuat Safira kekurangan perhatian, meski pun ibunya sesekali menelepon dan menanyakan keadaannya tiap kali. Tetap berbeda dengan jika dia serumah dengan orang tuanya. Dan perhatian-perhatian kecil yang Gilang berikan padanya membuatnya lebih nyaman. Dan yang paling membuatnya nyaman adalah cara Gilang menyikapinya. Lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik. Berbeda dengan lelaki-lelaki yang Safira kenal sebelumnya. Semakin ke sini Safira semakin menyadari kalau Gilang tak seburuk yang dia pikir.Entah kenapa Safira sering merasa senang setiap kali mendapat pesan dari lelaki itu. Meski pun awalnya dia risi dengan pesan-pesan Gilang. Mereka saling curhat, bertukar cerita satu
Viona berjalan tergesa hingga tangannya menyenggol gelas teh es entah milik siapa yang ada di tepi meja, menyebabkan isi gelas tersebut tumpah membasahi baju dan celana Gilang yang tengah sibuk makan. Tentu, tak ada yang tahu kalau Viona melakukan itu dengan sengaja. Beberapa siswi di kantin itu menoleh ke arahnya. Gilang yang tengah makan terkejut bukan main tatkala dia merasa tubuhnya dingin karena ketumpahan air dari gelas yang ada di dekatnya.Dua teman Gilang, Gio dan Farhan hanya menggeleng-geleng. "Eh, Kak, maaf, Kak. Gue nggak sengaja. Aduh maaf banget," Dan Gilang lebih terkejut lagi melihat perempuan yang tak dia kenali tiba-tiba muncul di hadapannya dan meminta maaf. Ternyata perempuan itu yang menyebabkan bajunya basah.Belum sempat Gilang menyahut, Viona dengan sigap mengusap-usap baju Gilang dengan jemarinya. "Oh, nggak papa. Serius, nggak papa," elak Gilang ketika tangan Viona terarah ke celananya lagi. Lelaki itu menj
Bel tanda pulang baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Koridor menuju pintu ke luar tampak penuh oleh siswa yang hendak pulang. Terdengar suara bercakap-cakap, sesekali tertawa. "Ciee ...." Riri tak henti-hentinya menggoda Safira yang hanya bisa tersenyum simpul. Riri sempat melihat kedekatan Safira dan Gilang di koridor depan toilet tadi. Hal itulah yang membuatnya terus menggoda sahabatnya yang selama ini di kenal tak pernah dekat dengan cowok karena pemalu. Tapi tadi Riri bisa melihat bagaimana raut wajah Safira saat berinteraksi dengan Gilang. Dia jadi semakin yakin kalau sahabatnya itu telah jatuh cinta. "Apaan, sih, biasa, aja, deh," sahut Safira, tapi dia sendiri masih tak bisa menyembunyikan wajahnya yang malu dan tak dapat dimungkiri bahwa perasaannya memang senang setiap kali mengingat moment-moment-nya bersama Gilang. Setelah memakai sapu tangannya, Gilang tak langsung mengembalikannya. Katanya, dia ingin mencucinya sendiri sebagai be
Safira menemukan bungkusan hitam menggantung di pagar kosannya. Isinya terdapat bungkusan dan teh gelas--bungkusan itu sepertinya bungkusan nasi. Gilang membelikan semua untuknya. Safira mengamati sekitarnya. Mencari keberadaan Gilang, tapi sepertinya lelaki itu memang sudah tak ada. Cewek itu pun masuk ke dalam dengan membawa bungkusan itu. Di dalam kamar, Safira mengirimi Gilang pesan. Safira: Makasih nasi gorengnya. Tau aja gue laper. Gilang: Tau dong ... Aku kan malaikat penolongmu ...Safira terpaku membaca kalimat di pesan itu.Gilang menggunakan kata 'aku kamu'. Untuk sesaat, jantungnya berdegup kencang. Tapi dia berusaha menetralkan perasaannya dan membalas pesan itu dengan tenang. Safira: Tapi sebenarnya lo nggak perlu repot-repot ngasi makanan segala. Gue jadi nggak enak. Gilang: Nggak pa-pa. Itu sebagai ucapan terima kasih gue ke lo. Gilang kembali menggunakan 'lo gue'. Safira: Terima kasih buat a
Viona menatap kerumunan para senior yang tengah asyik bercanda ria di kantin. Di sana juga ada Gilang. Lelaki itulah yang menjadi sasarannya. Viona menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Kali ini dia sendiri, tidak ada Shasa yang biasa setia menemani. "Gue harus berani. Ya, kali ini harus berhasil," ucapnya meyakinkan dirinya. Dengan segenap keberanian, perempuan itu pun berjalan mendekati kerumunan itu--seiring dengan jantungnya yang bertalu-talu--lebih tepatnya mendekat ke posisi di mana Gilang berada.Bau asap rokok yang menyatu dengan aroma makanan menguar tatkala Viona tiba di depan pintu kantin. "Kak Gilang!!" Teriakan itu menarik perhatian semua yang ada di kantin. Gilang yang tengah bersantai sambil nge-teh bersama Gio dan Farhan, seketika menatap gadis yang memanggil namanya itu. Dia lagi, dia lagi. Gilang berdiri dan mendatangi gadis itu. Keningnya berkernyit. "Lo ini kenapa, sih? Ada perlu apa la
"Gimana? Deal?" Gilang menatap Viona intens. Sementara Viona menatap lelaki itu takut-takut. Gilang menaikkan alisnya ketika melihat tak ada tanda-tanda Viona akan menjawab. "A-apa nggak ada cara lain, Kak?" tanya Viona akhirnya. Dia tampak keberatan dengan syarat yang Gilang ajukan. "Nggak ada." Gilang menjawab tegas. "Kalau lo mau jadi pacar kakak syarat yang harus lo penuhi, ya, itu. Kalau nggak mau, ya, terserah. Nggak ada yang maksa. Tapi lo juga nggak bisa maksa kakak buat jadi pacar lo, kan?" Viona terdiam menatap ke lain arah. Menimbang-nimbang syarat yang Gilang ajukan. Melihat Viona yang hanya terdiam, Gilang memutuskan untuk pergi dari tempat itu. "Kak ...." Namun panggilan dan pegangan tangan Viona pada pergelangan tangannya menghentikan langkahnya. Gilang menoleh, "gimana?" "Iya, Kak, gue mau." "Mau apa? Yang jelas, dong." "Gue mau lakuin apa yang kakak minta." Gilang mengernyit, t