Share

4

Napasku terasa naik turun. Aku benar-benar terhenyak luar biasa. Barang-barang yang semula kuletakan kembali ke dalam laci, dengan tangan yang luar biasa gemetar, kini coba kutelisik untuk kedua kalinya. Kubuka buku tabungan tersebut satu per satu. Memeriksa berapa nominal terakhir yang tercetak. Ya Allah, tiga hari lalu, gadis itu baru saja mencetak saldo rekening dan aku bahkan tak mengetahui apa pun. Uang senilai tujuh puluh lima juta! Aku ingin berteriak senyaring-nyaringnya. Bahkan aku yang pontang panting bekerja keras ini, tak memiliki saldo rekening sebesar itu!

              “Zulaika … kamu sembunyikan semua ini dariku!” lirihku dengan degupan jantung yang luar biasa kencang. Saking tak tahan lagi, aku membawa semua barang Zulaika dari lemari ke atas ranjang. Hampir saja aku tumbang sebab oleng saking syoknya. Ya Allah, kuatkan jantungku. Kuatkan aku demi anak-anakku!

              Satu buku rekening lagi yang berbeda perusahaan dengan buku sebelumnya, kuberanikan untuk membukanya. Kupastikan itu benar-benar nama anakku. Ya, tertulis jelas Zulaika Azzikra di halaman paling depan beserta alamat rumah ini sesuai dengan KTP miliknya. Dadaku sungguh mencelos. Luar biasa aku yang kunilai sudah super perhatian dengan anak, nyatanya tak ada yang kuketahui sedikit pun dari putri yang sehari-hari tinggal bersamaku. Apalagi jika dia kuliah di luar kota dan tinggal terpisah denganku?

              Mataku kembali membelalak besar. Sungguh aku tercekat. Napasku sampai seolah ingin berhenti detik itu juga. Nominal saldo yang dicetak bersamaan tanggalnya dengan rekening sebelumnya, hanya beda waktu sekitar satu jam saja, lebih membuatku luar biasa tak habis pikir. Seratus juta. Ya, bayangkan! Seratus juta dipegang oleh seorang gadis berusia 17 tahun 5 bulan. Apa yang dia kerjakan selama ini? Menjual diri? Berdagang obat-obatan terlarang? Tubuhku menggigil. Aku takut bila ternyata, hari ini anakku masuk bui sebab sebuah perbuatan kriminal. Atau … bagaimana kalau Zulaika malah dibunuh oleh keluarga dari lelaki yang disapanya daddy? Aku yakin bahwa uang-uang ini asalnya juga dari lelaki berwajah seram itu. Bukan tak mungkin bila Zulaika sedang dalam bahaya setiap detiknya, akibat dari hubungan yang aneh di antara mereka.

              Untuk terakhir kalinya, aku melihat nominal deposito yang tertera pada sertifikat berbentuk seperti kertas cek dan disimpan rapi dalam plastik bening tebal yang melindunginya dari debu maupun air. Nominalnya masih di angka fantastis. Seratus lima puluh juta rupiah. Air mataku langsung mengalir deras. Merutuki ketidakmampuanku dalam memenuhi kebutuhan hidup Zulaika, sampai-sampai anak ini terjerumus ke dalam kubangan hitam demi meraup banyak rupiah.

              “Aku harus jemput Zulaika sekarang juga ke sekolah!” gumamku sambil gemetar mengambil semua barang tersebut untuk kubawa ke dalam kamar milikku. Akan kusimpan benda-benda berharga tersebut ke dalam brangkas di dalam lemari pakaian. Ada beberapa perhiasan dan logam mulia di dalam sana. Emas-emas tersebut kukumpulkan sejak masih bersama Mas Danu dengan niatan untuk tabungan kuliah Zulaika dan Ario. Namun, sepertinya tabungan itu tak lagi bermanfaat untuk Zulaika, sebab anak sulungku nyatanya memiliki lebih banyak harta yang entah dari mana asalnya. Itu benar-benar membuat jiwaku kerdil dan self esteem-ku sebagai seorang ibu hancur berantakan. Zulaika jelas tak membutuhkanku secara finansial. Dia makan dan minum di rumah ini, memakai pakaian yang kubeli, dan menggunakan listrik serta internet, hanya demi membuatku tak curiga saja. Sungguh, perbuatanmu begitu melukai perasaan Mami, Nak!

***

              Kuputuskan untuk segera menjemput Zulaika ke sekolah. Masalah ini tak boleh bercokol lama-lama di benak. Aku benar-benar kacau dan rasanya panik luar biasa.

              Mobil yang semula bagiku adalah kendaraan sehari-hari, kini aku bahkan tak mampu hanya sekadar menginjak pedalnya. Lemas. Tungkaiku terasa tak ada daya upaya lagi.

              “Argh! Bagaimana ini?” kesalku sembari memukul setir dengan perasaan gamang. Kuseka air mata yang berlinang dengan menggunakan ujung hijab warna salem yang menutupi aurat. Dadaku sesak sekali. Di saat genting begini, ragaku malah tak bisa diajak kompromi.

              Aku akhirnya menyerah. Keluar dari CRV hitam yang sanggup kubeli lima tahun lalu saat masih bekerja dulu. Mobil inilah yang mengantarku memergoki perselingkuhan Mas Danu dengan istri keduanya yang tak lain adalah rekan kantornya sendiri. Kejadian itu berlangsung hampir empat tahun lalu, sebelum dia menjatuhkan talak. Saat itu aku tak marah atau berang. Aku mafhum dan memaafkan. Ingin memperbaiki rumah tangga. Namun, dia malah lebih bersikap dingin dan ujung-ujungnya minta bercerai dengan alasan bahwa aku terlalu sibuk dan lupa terhadap kewajiban sebagai istri. Well, di saat seperti ini, aku seharusnya fokus dan bukan malah teringat masa lalu yang getir. Akan tetapi, otakku sepertinya sudah benar-benar korslet akibat terkuaknya aib memalukan yang disembunyikan rapat-rapat oleh Zulaika.

              Aku duduk di kursi teras untuk beberapa saat demi menenangkan diri. Kutarik napas dalam-dalam. Bila memang kepanikanku masih berlangsung, alternatif selanjutnya adalah memesan taksi online. Mana mungkin aku bisa menyetir sendiri dalam kondisi seperti ini. Bisa-bisa nyawa jadi taruhannya.

Ketika aku tengah menatap nanar ke arah pot-pot tanaman yang menghiasi halaman, aku dikejutkan oleh dering ponsel dari dalam tas. Aku kaget luar biasa. Jantungku berdegup tak keru-keruan. Langsung saja kurogoh tas tangan warna salem yang letakan di atas pangkuan. Aku semakin syok saat melihat notifikasi masuk. Pesan dari gadis sulungku! Ya, Zulaika telah mengirimiku W******p!

              [Apa yang kamu ingin lihat tadi? I’ve my own privacy! Very disappointed in yo, Mum!]

              Aku menggeleng keras. Tergemap dengan kenyataan di hadapan. Anakku yang tak pernah membantah, kini bertransformasi menjadi gadis rebel yang membuat darahku naik ke ubun-ubun!

              Kutekan tombol panggilan suara. Namun, sial bukan main! Anak itu sudah menonaktifkan paket datanya. Aku tak kehilangan akal. Segera kutelepon via seluler, tapi hasilnya juga tetap tak aktfi.

              Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dan memasukan ponsel ke tas. Buru-buru aku melangkah ke car port untuk memasuki mobil. Tak ada lagi gemetar atau lemas di tungkai. Sebentar lagi, Zulaika akan kudidik habis-habisan! Kalau perlu, pagi ini juga akan kubawa dia ke praktik psikolog untuk mendapatkan konseling akan kenakalan remaja yang tengah menimpanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status