Share

3

Daddy   : Sorry, baru ngirim pagi. Segini dulu, ya? Anakku minta uang semesteran soalnya. Nanti kutambah lagi.

              Jantungku sungguh rasanya teremas-remas. Bagai ditusuk sembilu. Nominal sepuluh juta bukanlah angka yang kecil. Apalagi bila uang tersebut asalnya dari orang yang entah siapa. Mengapa Zulaika bisa dikirimi uang sebanyak itu oleh lelaki matang yang dipanggilnya ‘daddy’?

              Saat kuberanikan diri untuk memperbesar foto yang digunakan akun tersebut, aku sungguh semakin tercengang. Bapak-bapak yang usianya jelas di atasku. Kutaksir mungkin sekitar lima puluh tahun. Bertampang sangar akibat lintang kumis tebal. Hidungnya besar dengan pipi yang tembam. Dari foto separuh badan dengan gaya formal dan berlatar belakang merah, dapat kusimpulkan orang ini badannya gemuk. Astaga, apakah … anakku juga sudah menjual dirinya kepada lelaki tua bangka ini?

              Aku sungguh meradang. Terlihat di layar, lelaki itu tengah mengetik lagi.

              Bunyi notifikasi memecah suasana hening. Membuatku langsung membelalak lebar untuk kesekian kalinya membaca pesan dari lelaki tak tahu diri tersebut.

              Daddy   : Kenapa cuma dibaca? Kurang, ya? Jangan marah, dong. Pulang kujemput, ya? Main di apartemen sejam. Nanti kutambah lagi. Oke Zulaika yang manis dan tembem?

              Tembem? Apanya yang tembem? Anakku jelas-jelas memiliki postur tinggi langsing dengan pipi tirus. Ya Allah, sakitnya hatiku. Air mata ini mengalir lagi bagi air bah yang menjebol tanggul.

              Mengapa Allah tak dari dulu memberiku firasat akan semua tindak tanduk Zulaika yang kukira normal? Apakah alasannya telat pulang sebab mengerjakan tugas atau ikut ekstra itu hanya omong kosong belaka.

Saat aku hendak menyalin nomor si tua bangka itu, alangkah terkejutnya diriku. W******p tersebut sudah keluar alias log out. Hanya menyisakan layar berisikan barcode dengan tata cara masuk ke layanan W******p melalui komputer.

              “Argh! Sial sekali!” rutukku sembari memukul meja saking kesalnya.

Aku luar biasa sakit hati. Zulaika pasti baru menyadari bahwa aku tengah membaca pesan-pesan kotor di akun W******p miliknya lewat laptop ini.

              Aku tak kehilangan akal. Kamar milik Zulaika yang selama ini hanya sekadar kubersihkan tanpa pernah kugeledah, kini jadi sasaran selanjutnya. Mulai dari lemari meja belajar, tempat tidur, hingga kolongnya pun kuperiksa. Aku tak menemukan barang yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba perhatianku langsung terarah ke lemari pakaian miliknya.

              Kuat firasatku bahwa aku bisa menemukan sesuatu di sana. Selama ini, aku memang tak pernah sembaragan membuka barang pribadi milik Zulaika. Termasuk lemari. Sebab, aku sendiri juga mengajarkan kepada anak-anakku arti pentingnya sebuah privasi yang selama ini kuagung-agungkan. Tak kusangka, omong kosong itu malah menjadi bumerang sendiri buatku. Menjadi langkah penghancur yang diam-diam telah memporakporandakan kehidupan anak gadisku.

              Lemari itu terkunci. Semua pakaian milik Zulaika kuacak-acak. Kukeluarkan satu per satu dari lemari dan menjatuhi lantai. Tak ada apa-apa di sana. Yang kucari ada sesuatu mencurigakan seperti bubuk kokain, pil ekstasi, atau jarum suntik, bahkan alat kontrasepsi. Bukan tak mungkin bila anak itu telah terlalu jauh perbuatannya.

              Aku kecewa terhadap penemuanku. Nihil. Tak ada barang apa pun.

              Mataku lalu tertuju pada sebuah laci yang berada di tengah-tengah lemari pakaian. Laci itu terlihat dikunci. Tak ada kunci yang tercantel di sana. Sekuat tenaga kutarik, tapi tak juga dapat terbuka.

              Aku langsung putar otak lagi. Laci yang terkunci itu harus kucongkel dengan sesuatu. Teringat lagi dengan ujung gunting, aku pun bergegas untuk mencarinya di dapur. Berbekal barang tajam tersebut, aku berusaha untuk membongkar kunci laci menggunakan ujung gunting dan sekuat tenaga memutarnya searah dan voila! Usahaku ternyata berhasil. Laci tersebut berhasil kubuka tanpa harus merusaknya secara berlebihan.

              Kedua mata ini langsung membelalak besar. Dua buah buku tabungan, selembar sertifikat deposito, polis asuransi jiwa, dan sebuah kotak perhiasan berwarna hitam dengan bahan bludru. Tanganku gemetar luar biasa. Usia Zulaika baru 17 tahun 5 bulan. Aku tak pernah membawanya ke bank untuk membuka rekening, mendaftarkan asuransi, apalagi mendepositokan sejumlah uang untuknya. Dari mana anak ini mendapatkan benda-benda tersebut.

              Luar biasa lemas lututku saat membuka kotak perhiasan tersebut. Sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk tetesan air bertahta berlian yang menyilaukan mata. Di bawah kotak tersebut, tepatnya bertumpuk dengan buku tabungan dan polis asuransi, terdapat selembar sertifikat berlian dari Gemological Institute of America yang menunjukkan bahwa karat berlian pada liontin itu senilai 0,5. Astaghfirullah, tentu bukan harga yang murah untuk nilai demikian.

              Zulaika, anakku yang tak banyak bicara. Tiba di rumah menghabiskan waktu di kamar. Jika aku masuk, dia terlihat sedang menikmati serial drama Korea sambil mengemil makanan ringan. Nilainya tak pernah anjlok meskipun hobi menonton. Peringkatnya pun tak pernah di bawah tiga besar. Dia cantik, berprestasi, tak pernah memakai baju yang terbuka. Malam Minggu atau malam hari libur lainnya pun, anak itu minta izin keluar baik-baik kepadaku dengan ditemani beberapa teman perempuannya.

              Tidak, aku rasanya tak sanggup untuk mempercayai apa yang baru saja kulihat dengan mata kepala sendiri. Apa mungkin anakku sudah bermain peran dan menipu orangtuanya selama ini?

              Zulaika, sekejam inikah kamu kepada Mami?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Natalia Vamelia
sumpah greget bgt bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status