Daddy : Sorry, baru ngirim pagi. Segini dulu, ya? Anakku minta uang semesteran soalnya. Nanti kutambah lagi.
Jantungku sungguh rasanya teremas-remas. Bagai ditusuk sembilu. Nominal sepuluh juta bukanlah angka yang kecil. Apalagi bila uang tersebut asalnya dari orang yang entah siapa. Mengapa Zulaika bisa dikirimi uang sebanyak itu oleh lelaki matang yang dipanggilnya ‘daddy’?
Saat kuberanikan diri untuk memperbesar foto yang digunakan akun tersebut, aku sungguh semakin tercengang. Bapak-bapak yang usianya jelas di atasku. Kutaksir mungkin sekitar lima puluh tahun. Bertampang sangar akibat lintang kumis tebal. Hidungnya besar dengan pipi yang tembam. Dari foto separuh badan dengan gaya formal dan berlatar belakang merah, dapat kusimpulkan orang ini badannya gemuk. Astaga, apakah … anakku juga sudah menjual dirinya kepada lelaki tua bangka ini?
Aku sungguh meradang. Terlihat di layar, lelaki itu tengah mengetik lagi.
Bunyi notifikasi memecah suasana hening. Membuatku langsung membelalak lebar untuk kesekian kalinya membaca pesan dari lelaki tak tahu diri tersebut.
Daddy : Kenapa cuma dibaca? Kurang, ya? Jangan marah, dong. Pulang kujemput, ya? Main di apartemen sejam. Nanti kutambah lagi. Oke Zulaika yang manis dan tembem?
Tembem? Apanya yang tembem? Anakku jelas-jelas memiliki postur tinggi langsing dengan pipi tirus. Ya Allah, sakitnya hatiku. Air mata ini mengalir lagi bagi air bah yang menjebol tanggul.
Mengapa Allah tak dari dulu memberiku firasat akan semua tindak tanduk Zulaika yang kukira normal? Apakah alasannya telat pulang sebab mengerjakan tugas atau ikut ekstra itu hanya omong kosong belaka.
Saat aku hendak menyalin nomor si tua bangka itu, alangkah terkejutnya diriku. W******p tersebut sudah keluar alias log out. Hanya menyisakan layar berisikan barcode dengan tata cara masuk ke layanan W******p melalui komputer.
“Argh! Sial sekali!” rutukku sembari memukul meja saking kesalnya.
Aku luar biasa sakit hati. Zulaika pasti baru menyadari bahwa aku tengah membaca pesan-pesan kotor di akun W******p miliknya lewat laptop ini.
Aku tak kehilangan akal. Kamar milik Zulaika yang selama ini hanya sekadar kubersihkan tanpa pernah kugeledah, kini jadi sasaran selanjutnya. Mulai dari lemari meja belajar, tempat tidur, hingga kolongnya pun kuperiksa. Aku tak menemukan barang yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba perhatianku langsung terarah ke lemari pakaian miliknya.
Kuat firasatku bahwa aku bisa menemukan sesuatu di sana. Selama ini, aku memang tak pernah sembaragan membuka barang pribadi milik Zulaika. Termasuk lemari. Sebab, aku sendiri juga mengajarkan kepada anak-anakku arti pentingnya sebuah privasi yang selama ini kuagung-agungkan. Tak kusangka, omong kosong itu malah menjadi bumerang sendiri buatku. Menjadi langkah penghancur yang diam-diam telah memporakporandakan kehidupan anak gadisku.
Lemari itu terkunci. Semua pakaian milik Zulaika kuacak-acak. Kukeluarkan satu per satu dari lemari dan menjatuhi lantai. Tak ada apa-apa di sana. Yang kucari ada sesuatu mencurigakan seperti bubuk kokain, pil ekstasi, atau jarum suntik, bahkan alat kontrasepsi. Bukan tak mungkin bila anak itu telah terlalu jauh perbuatannya.
Aku kecewa terhadap penemuanku. Nihil. Tak ada barang apa pun.
Mataku lalu tertuju pada sebuah laci yang berada di tengah-tengah lemari pakaian. Laci itu terlihat dikunci. Tak ada kunci yang tercantel di sana. Sekuat tenaga kutarik, tapi tak juga dapat terbuka.
Aku langsung putar otak lagi. Laci yang terkunci itu harus kucongkel dengan sesuatu. Teringat lagi dengan ujung gunting, aku pun bergegas untuk mencarinya di dapur. Berbekal barang tajam tersebut, aku berusaha untuk membongkar kunci laci menggunakan ujung gunting dan sekuat tenaga memutarnya searah dan voila! Usahaku ternyata berhasil. Laci tersebut berhasil kubuka tanpa harus merusaknya secara berlebihan.
Kedua mata ini langsung membelalak besar. Dua buah buku tabungan, selembar sertifikat deposito, polis asuransi jiwa, dan sebuah kotak perhiasan berwarna hitam dengan bahan bludru. Tanganku gemetar luar biasa. Usia Zulaika baru 17 tahun 5 bulan. Aku tak pernah membawanya ke bank untuk membuka rekening, mendaftarkan asuransi, apalagi mendepositokan sejumlah uang untuknya. Dari mana anak ini mendapatkan benda-benda tersebut.
Luar biasa lemas lututku saat membuka kotak perhiasan tersebut. Sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk tetesan air bertahta berlian yang menyilaukan mata. Di bawah kotak tersebut, tepatnya bertumpuk dengan buku tabungan dan polis asuransi, terdapat selembar sertifikat berlian dari Gemological Institute of America yang menunjukkan bahwa karat berlian pada liontin itu senilai 0,5. Astaghfirullah, tentu bukan harga yang murah untuk nilai demikian.
Zulaika, anakku yang tak banyak bicara. Tiba di rumah menghabiskan waktu di kamar. Jika aku masuk, dia terlihat sedang menikmati serial drama Korea sambil mengemil makanan ringan. Nilainya tak pernah anjlok meskipun hobi menonton. Peringkatnya pun tak pernah di bawah tiga besar. Dia cantik, berprestasi, tak pernah memakai baju yang terbuka. Malam Minggu atau malam hari libur lainnya pun, anak itu minta izin keluar baik-baik kepadaku dengan ditemani beberapa teman perempuannya.
Tidak, aku rasanya tak sanggup untuk mempercayai apa yang baru saja kulihat dengan mata kepala sendiri. Apa mungkin anakku sudah bermain peran dan menipu orangtuanya selama ini?
Zulaika, sekejam inikah kamu kepada Mami?
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 137EXTRA PARTPOV YESLINBERATNYA TERPURUK Gagal dapat warisan, hampir masuk penjara, dan dicampakkan oleh kekasih hati adalah segelintir kepahitan yang harus kuteguk dalam hidup. Begitu berat perjalanan ini. Namun, mau tak mau aku harus menjalaninya dengan tabah hati. Hidupku sempat terpuruk dalam lubang kelam yang menyeramkan. Terlunta-lunta usai dibuang oleh keluarga Mas Danu dan keluargaku sendiri. Hidup berpindah menumpang dari rumah teman yang satu ke rumah teman yang lainnya. Sebulan lamanya aku seperti gelandangan. Sampai urat maluku rasanya sudah putus. Ah, kalau ingat masa-masa itu, aku selalu ingin menjatuhkan air mata.Mimpi untuk memiliki seluruh harta warisan Mas Danu pun juga sirna. Hingga saat ini, segala aset mantan suamiku telah berada di tangan keluarga besarnya. Rumah mewah yang begitu kubangga-banggakan itu pun telah ditempati oleh Bu Pipit dan Poppy. Mereka sekarang menuai hasil yang sangat banyak, tanpa mau membagiku barang se