“Selamat pagi. Saya Bripka Aris Sunandar, anggota satlantas polresta yang mendapatkan laporan tentang laka lantas di sini. Ibu, ada apa? Apakah Ibu adalah orangtua dari salah satu korban?” Seseorang telah berbicara kepadaku sambil menepuk pundak ini. Aku pun langsung membuka mata. Menatap ke arah sumber suara dengan perasaan yang hancur lebur.
“Motor yang hancur itu … mirip milik anakku, Pak Polisi,” ujarku terbata sambil menunjuk ke arah tepi jalan sana, tempat di mana motor matik warna abu-abu yang hancur lebur itu diamankan.
“Mirip? Apakah sudah dicek nomor platnya?” tanya lelaki berseragam lengkap dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya tersebut.
Aku yang sudah gemetar hebat dan bersimbah air mata, hanya dapat menggeleng. Lututku lemas. Ya, benar, aku belum mengecek nomor plat motor tersebut. Aku juga … tak kuasa untuk melihat wajah mayat di depanku.
“Coba Ibu pastikan dulu. Silakan dilihat wajah korban ini.” Lelaki bertubuh tinggi itu berujar dengan tegas. Sahut-sahutan riuh dari warga yang berada mengelilingiku pun mendesak agar aku lekas melihat ke arah wajah jenazah yang penutupnya telah dibuka tersebut.
Luar biasa jantungku mau copot. Napas ini bahkan rasanya tertahan untuk beberapa detik. Kuberanikan diri untuk melempar pandang ke arah depan sana. Astaghfirullah! Wajah jenazah itu bersimbah darah dengan pelipis yang masih mengalirkan darah segar. Kepala yang sudah tak terlindungi oleh helm tersebut, seakan sudah melengket dengan aspal. Rambut pendeknya sudah basah dengan cairan merah yang mengental. Matanya pun terlihat membelalak. Namun … perempuan itu sama sekali tak mirip Zulaika. Bentuk wajahnya juga bulat, tak lonjong seperti hati milik gadis sulungku. Dari sini juga terlihat ada keloid tebal di tengah dagu mayat anak SMA yang sudah pucat pasi tersebut. Dia memang bukan Zulaika.
“Bagaimana, Bu?” desak ibu-ibu berjilbab hijau yang memang sedari tadi mendampingiku.
Aku menggeleng. Menghapus air mataku, lalu menatap sekeliling dengan wajah yang memohon maaf. “Bukan. Dia bukan anakku. Motornya hanya mirip saja,” kataku lega sekaligus cemas. Takut diteriaki orang-orang sebab sudah membuat yang lainnya panik.
“Ya Allah, Bu! Saya ikut lega. Sudah deg-degan sejak tadi, khawatir Ibu bakal histeris lalu pingsan,” ujar ibu-ibu tersebut memberikan pemakluman.
“Pak Polisi, saya mohon maaf. Ini bukan anak saya.” Aku sampai menangkupkan kedua tangan di depan dada. Memohon maaf sedalam-dalamnya sebab sudah menggemparkan suasana.
“Baik, Bu. Tidak apa-apa. Kami akan membawa jenazah ini ke rumah sakit untuk diidentifikasi.”
Aku pun mundur teratur dan bergegas kembali ke mobilku. Bunyi klakson yang memekik membelah jalanan membuatku semakin panik luar biasa. Kukutuk diriku yang sudah terlalu gegabah. Tak seharusnya aku langsung turun dan menangis histeris seperti tadi. Ke mana akal sehatku sebenarnya? Apakah gara-gara kejadian tadi pagi, kewarasanku perlahan sudah terkikis?
Teriakan caci maki datang dari arah belakang. Para pengemudi motor dan mobil saling menyumpahi mobilku yang sedari tadi mengadang jalanan. Seorang polisi yang tampak membantu mengurai kemacetan, terlihat menatapku sinis saat aku hendak membuka pintu mobil.
“Bu, jangan parkir sembarangan! Mobilnya bisa kami angkut!” bentak polisi bertubuh tinggi besar itu dengan suara yang garang.
Aku hanya mengangguk dan segera masuk. Menyalakan mesin dan menyetel AC dengan suhu paling rendah. Aku butuh udara sejuk untuk membasmi cucuran peluh. Keringat memang sudah membasahi sekujur tubuh sejak di jalan tadi, hingga blus yang kukenakan rasanya sudah total kuyup.
Setelah beberapa menit terjebak dalam kemacetan, akhirnya aku bisa meneruskan perjalanan dengan kecepatan lumayan tinggi. Tak butuh waktu lama, aku langsung sampai di halaman parkir SMAN 03 bagian sebelah timur yang tampak dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan roda empat lainnya. Untung saja kemampuanku untuk parkir mobil sangat lumayan. Sehingga aku tak kesulitan meski harus mendapat lokasi yang padat dan agak sukar.
Kakiku gemetar lagi saat harus turun dari mobil. Kupacu secepat mungkin langkah ini menuju kantor guru yang berada tepat di bagian depan gedung bercat kuning kentang tersebut. Napasku sampai terengah-engah. Seorang guru piket yang berjaga di meja resepsionis, sampai memandangi dengan tatapan yang penuh heran.
“Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” sapa guru berjilbab warna cokelat yang senada dengan seragam yang dia kenakan tersebut. Guru perempuan itu terlihat masih sangat muda. Kutaksir usianya baru 25-an.
“Pagi juga,” kataku dengan napas yang masih tak beraturan. Kutarik napas dalam-dalam sesaat dan kutenangkan diri sesaat. Aku benar-benar tergopoh-gopoh pagi ini. Semua yang kualami bagai rentetan kejadian ajaib. Bukan main.
“Saya mau ketemu anak saya. Siswi kelas sebelas MIPA tiga.”
“Namanya siapa Bu? Dan ada keperluan apa ya, kalau saya boleh tahu?” Pertanyaan bertele-tele itu entah mengapa malah membuatku jengkel setengah mati.
“Ada urusan keluarga yang mendesak. Saya mohon panggilkan anak saya, Zulaika Azzikra, atau antar saya ke kelasnya sekarang juga,” ucapku tegas dengan senyum tipis yang sekuat tenaga kupaksakan untuk meluncur dari bibir yang sesungguhnya masih gemetar pasca melihat kecelakaan heboh tersebut.
Wajah bu guru itu malah kaget. Ekspresinya seperti orang terheran-heran sekaligus syok. “Loh? Zulaika? Bukannya—” Saat ibu guru tersebut baru saja hendak melanjutkan omongannya, tiba-tiba seorang lelaki berseragam warna khaki keluar dari ruang kepala sekolah dengan sangat tergesa-gesa dan berteriak memanggil nama seseorang. Aku jadi kesal setengah mati sambil deg-degan sebab pembicaraan bu guru yang terputus tersebut. Bukannya apa?
Lelaki yang seingatku adalah kepsek SMAN 03 dan bernama Pak Bhagyo itu wajahnya terlihat pucat pasi dan buru-buru berbicara dengan nada yang panik luar biasa. “Bu Putri! Saya dapat telepon dari polisi. Ini katanya ada dua siswa kita yang kecelakaan di Jalan Manggarai. Dua-duanya tewas! Identitasnya Bagus Pramono dan Dewi Indah Sari. Coba ditelusuri dari kelas mana.”
Aku tersentak mendengarkan ucapan pak kepala sekolah. Jangan-jangan yang kulihat tadi itu … siswa-siswa SMAN 03 yang dimaksud oleh Pak Bhagyo? Namun, aku hanya diam saja. Tak mencampuri pembicaraan mereka.
“Innalillahi! Ya Allah, itu siswa sebelas MIPA tiga, Pak. Ya Allah, mereka sejam lalu izin kepada saya untuk mengantar temannya yang sakit.” Guru yang dipanggil Bu Putri itu tampak sangat histeris.
Aku pun langsung terpancing saat mendengar kelas anakku disebut-sebut. Ya Allah, ternyata mereka satu kelas!
“Bu, Ibu adalah orangtuanya Zulaika, kan?” Bu Putri lalu beralih kepadaku. Wajahnya semakin panik. Menatapku dengan mata yang terbelalak dan ekspresi yang tak keruan.
“Iya, saya ibunya! Ada apa, Bu?”
Aku tentu semakin panik. Lututku langsung lemas lagi. Kenapa dengan Zulaika?
“Mereka berdua tadi mengantar Zulaika pulang ke rumah. Wali kelas mereka, Bu Annisa, sudah memberikan surat izin untuk pulang karena Zulaika mengeluh pusing dan muntah-muntah sejak datang ke sekolah. Ini surat izinnya!” Bu Putri buru-buru membongkar sebuah buku jurnal bersampu batik warna oranye dan mengambil secarik kertas dari sana. Dia lalu memberikan surat tersebut untuk kubaca dan benar saja, tertulis nama Zulaika Azzikra di sana. Izin untuk tidak mengikuti pelajaran dan pulang ke rumah.
Duniaku rasanya mau runtuh. Ke mana anakku? Bahkan yang mengantarnya pulang, sekarang malah kecelakaan dan tewas di tempat.
“Zulaika saya lihat tadi dibonceng oleh Dewi pakai motornya anak Ibu. Sedangkan Bagus naik motor sendiri. Sepertinya, saat Bagus dan Dewi mau pulang ke sini, mereka malah kecelakaan. Ya Allah anak-anak itu! Bagaimana ini Pak Bhagyo! Orangtua mereka pasti marah besar sebab keduanya keluar di jam belajar. Ya Allah!” Bu Putri yang semakin histeris dan panik itu sontak membuat darahku seolah mau henti mengalir. Jantung ini serasa mau kolaps. Aku lemas luar biasa saat menyadari bahwa secara tak langsung, Zulaika jadi sebab kepergian dua anak-anak remaja itu.
Ya Allah, ujian apa ini? Dosa apa yang pernah kubuat terhadapmu, sampai-sampai aku rasanya tak sanggup lagi untuk sekadar menghirup oksigen buat melanjutkan hidup.
Saat para guru tiba-tiba muncul dan menyerbu ruang di mana aku berdiri, entah mengapa pikiranku malah menjadi semakin kacau. Aku hanya ingin segera mencari Zulaika, meskipun hati kecilku sangat keberatan untuk pergi begitu saja di tengah kekalutan orang-orang mengenai kematian dua teman putriku. Bagaimana pun juga, mereka tewas sebab mengantar Zulaika, yang sama sekali tidak ada di rumah. Bahkan nomor ponselnya pun tak dapat dihubungi. “Ibu, saya turut berduka cita sedalamnya atas kematian dua teman-teman Zulaika. Namun, saya harus pamit untuk mencari anak saya. Kalau Ibu bilang mereka pergi sejam lalu, seharusnya Zulaika sudah ada di rumah dari tadi. Namun, nyatanya dia tak ada di rumah.” Aku berusaha untuk berbicara pada Bu Putri, di tengah hiruk pikuk para guru yang beberapa pecah tangisnya. “
Dengan jantung yang masih berdegup kencang dan rasa ngeri yang entah semakin menyiram jiwa, aku terpaksa untuk memberanikan diri melanjutkan perjalanan ke rumah. Pikiranku tak menentu. Bercabang jadi tentang banyak hal. Ada Zulaika, teror karangan bunga, dan kecelakaan dua orang teman anakku tersebut. Sebagai seorang janda tanpa pilar penyangga kehidupan, aku sangat terbebani tatkala harus masuk ke pusaran masalah pelik seperti ini. Tak ada tempat mengadu, tak ada tempat berdiskusi. Sementara keluarga besarku jauh berada di seberang pulang sana. Itu pun hanya saudara-saudara kandung yang telah memiliki keluarga masing-masing. Orangtua tempat meluahkan curahan hati sudah lama berpulang. Hanya pada Allah saja aku bisa mengadu sekarang. “Ya Allah, aku mohon lindungi Zalika. Semoga dia sudah ada di rumah,”
“Tolong pertemukan saya dengan Yeslin. Saya mohon,” bisikku pelan dengan wajah yang memelas pada sang pembantu. Namun, pembantu tersebut bergeming. Dia masih saja menunduk dan diam seribu bahasa. “Bukakan kunci pagar ini. Saya ingin masuk dan saya janji tidak akan membuat keributan.” Aku terus memohon. Mataku mulai berkaca sebab hendak menangis saking kesalnya. Akan tetapi, aku tak bisa main kasar, sebab akan menyusahkan diriku sendiri. “Ibu akan marah pada saya,” balasnya dengan suara yang lirih. Pembantu tersebut seperti ingin berbalik badan. Namun, segera kucegat dan kutarik pelan lengannya. “Tolong, Bu. Anak saya hilang. Saya hanya ingin menyampaikan kepada keluarga ini.”
Aku lebih terhenyak kembali saat membaca keterangan di bawah foto lelaki berkumis tebal tersebut. Bonaventura Aditio, CEO PT Sinar Abadi Pulp. Dia … CEO? Lelaki yang mengirimi bukti transfer sepuluh juta rupiah tadi pagi itu adalah seorang CEO tempat Mas Danu bekerja? Kukucek mataku. Memastikan bahwa mata tua ini tak salah melihat. Namun, ingatanku akan foto profil dan gambar di depan sana persis sama. Wajahnya sangat mirip. Ya, CEO itulah yang kontaknya telah diberi nama Daddy oleh Zulaika. Aku yang masih terduduk di depan setir, buru-buru melepas sabuk pengaman. Turun dari mobil, tanpa mematikan mesin. “Pak satpam, tolong izinkan aku berjumpa dengan Pak Danu. Sebentar saja,” kataku sambil memohon-mohon. Menan
BERAWAL DARI KEBENCIANPOV ZULAIKA “Papi terpaksa harus menceraikan mamimu. Dia keras kepala, egois, dan selalu ingin menang sendiri. Kamu tahu kan, Ika, Papi capek seharian bekerja. Namun, mamimu lebih mementingkan pekerjaannya di kantor ketimbang mengurusi kita sekeluarga.” Ucapan Papi malam itu membuatku tertegun. Acara ulang tahunku yang ke-14 seharusnya dirayakan meriah malam ini meski hanya di rumah. Kue cantik lengkap dengan lilin yang kami beli bersama sejak sore tadi, kini nganggur di hadapan. Semua persiapan sudah kami bertiga lakukan. Mulai dari beli makanan cepat saji yang nikmat, menghias ruang makan dengan balon-balon serta ornamen lainnya, plus beli minuman kola dengan ukuran jumbo dengan niat memeriahkan pesta. Kado ulang tahun pun sudah Papi kasih untukku, berupa s
BAHAGIA PAPI, BAHAGIAKU JUAPOV ZULAIKA “Mami akan berhenti bekerja. Sidang cerai pertama kami Senin besok akan digelar. Jadi, kalian harus membiasakan hidup tanpa laki-laki tidak bertanggung jawab itu.” Kalimat Mami menjadi pembuka dalam pagi Minggu yang suram. Sarapan di depan meja menjadi semakin hambar. Aku yang memang tak suka masakan-masakan Mami, memutuskan lebih baik tidak menyentuh hidangan di hadapan. Aku dan Ario hanya bisa saling pandang. Kami tak menjawab apa-apa. Lebih baik diam. Toh, pendapat kami tak akan membuat perubahan apa pun. “Ika, Ario. Ayo, lekas makan. Setelah itu, bantu Mami beres-
BAGIAN 13TERSIBAKNYA TABIR RAHASIAPOV ZULAIKA Sarapan yang Papi buatkan langsung tandas. Aku kenyang. Saat aku hendak mengambil minum di kulkas, aku terpana untuk ke sekian kalinya dengan rumah ini. Isi kulkas Papi sangat lengkap. Macam-macam pilihan minumannya. Ada jus kemasan, susu UHT, dan beberapa yoghut berbagai rasa. “Enak sekali di sini. Pasti Tante Yeslin yang siapkan. Perhatian sekali dia sama papiku,” ujarku dengan hati yang sedikit perih.Seharusnya, Mami bersikap begini. Kalau saja Mami penuh kasih, perhatian, dan tidak mengabaikan Papi, perceraian itu pasti tak akan pernah terjadi. Sekarang, sejak Papi meninggalkan rumah, kami sudah mulai kacau balau. Mami yang baru berwacana buat berhenti kerja tapi masih saja sibuk seharian di kantor, lupa untuk menyi
POV ZULAIKATERJEBAK DALAM KUBANGAN HITAM Papi membelikanku sebuah gaun selutut dengan kedua lengannya yang buntung. Gaun itu berwarna peach dengan bahan brokat tembus pandang yang dilapisi puring. Namun, lapisannya hanya sampai paha saja, sehingga dari paha sampai ke lutut tampak transparan. Astaga, ini terlalu minim. Aku merasa kurang pede dengan pakaian begini sebenarnya. Seperti orang yang mau pergi ke pesta ulang tahun saja. “Pi, ini nggak berlebihan?” tanyaku sambil keluar dari kamar pas. Papi malah senyum. Dia mengacungkan kedua jempolnya ke depanku. “Bagus! Keren sekali. Pas di tubuhmu. Ambil yang itu saja. Warnanya juga manis.” Papi seperti sangat bangga atas baju pilihannya tersebut. Aku s