Share

Bab 2

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-05-19 05:11:48

Setelah kejadian malam itu, Senara menghabiskan waktu berhari-hari dalam kebingungan. Ia memikirkan kembali kata-kata Bima, mencoba mencocokkan kenyataan dengan penjelasan yang diberikan. Setiap detail, setiap nada suara, setiap gerak-gerik terekam di benaknya ia memutar semuanya seperti kaset rusak.

Tapi di tengah segala keraguan, ada satu keyakinan yang terus ia genggam: cinta.

“Mungkin ini ujian,” gumam Senara suatu malam, menatap langit-langit kamarnya. “Mungkin… Tuhan sedang menguji kesabaranku sebelum aku benar-benar jadi istri.”

Ia mencoba berpikir positif. Ia mulai menenangkan hatinya dengan doa. Ia menghindari prasangka, tak lagi memata-matai Bima, bahkan menghapus foto-foto bukti dari malam itu. Ia ingin memulai lagi, dengan hati yang bersih.

Dan waktu terus berjalan.

Gaun pengantinnya sudah selesai dijahit. Undangan sudah disebar, sebagian sudah diterima teman-teman dan kolega. Gedung sudah dibayar, katering sudah dipesan. Tidak ada jalan untuk kembali, pikirnya.

Suatu pagi, dua hari sebelum hari pernikahan, Senara menelepon ibunya.

“Halo, Bu?”

“Nduk, gimana kabarnya? Bagaimana dengan persiapan nya?’’

‘’Alhamdulilah, semua berjalan lancar berkat doa Ibu,” jawab Senara tersenyum.

‘’Maafin Ibu dan Bapak ya Nduk, kami gak bisa bantu banyak, kamu harus mengurus semuanya sendiri di sana.” Ujar sang Ibu dengan nada suara yang begitu lirih.

Orang tua Senara sudah cukup tua, akhir akhir ini Kesehatan nya kurang membaik. Maka darii tu mereka belum bisa datang ke Jakarta untuk membantu persiapan hari bahagia Senara.

Senara memiliki dua kakak. Yang pertama sudah menikah dan ikut suaminya ke Surabaya. Rencana nya, besok kakaknya baru akan datang ke Yogja menjemput ibu dan Bapak barulah mereka berangkat bersama ke Jakarta. Sementara kakak kedua Senara, laki laki belum menikah tapi dia tengah berada di luar negeri.

“Iya Bu, gapapa. Yang penting Bapak sama Ibu sehat, itu sudah sangat lebih dari cukup buat Senara.”

‘’Ya sudah, kalau begitu kamu jaga kesehatan ya Nduk. Besok, Insyaallah, kalau mbak Mu sudah datang, kami langsung berangkat kesana.”

‘’Iya Bu, assalamualaikum,’’

‘’Walaikumsalam ... ‘’ Panggilan ditutup. Tapi Senara masih menatap layar ponsel lama. Ada kekhawatiran kecil yang mengendap, seperti debu yang tak bisa dibersihkan sepenuhnya.

Tapi ia menguburnya dalam-dalam. Sekarang bukan waktu untuk ragu. Bima sudah berjanji akan berubah. Dan cinta, pikirnya, seharusnya punya ruang untuk memaafkan.

Setelah menutup telepon dengan ibunya, Senara merasa hatinya sedikit lebih ringan. Mendengar semangat keluarga besarnya yang bersiap datang ke Jakarta membuat ia merasa dikelilingi oleh cinta dan harapan. Ia menatap gaun pengantin yang tergantung rapi di balik pintu lemari, lalu tersenyum sendiri.

Hanya satu hal yang masih belum dikonfirmasi orang tua Bima. Ia belum mendengar kabar pasti kapan keluarga calon suaminya akan datang ke Jakarta. Tapi ia yakin, Bima pasti sudah mengatur semuanya.

Tak lama kemudian, suara mobil berhenti di depan kosan Senara. Gadis itu menengok dari jendela kamar lantai dua. Itu Bima.

Senyum langsung mengembang di wajahnya. Ia bergegas turun, melangkah ringan seperti seseorang yang baru jatuh cinta. Membuka pintu dengan antusias, ia menyambut kekasihnya yang berdiri di depan dengan wajah yang tak biasanya.

“Bim! Aku baru aja selesai telepon sama Ibu. Mereka semua besok pagi berangkat ke sini,” katanya riang. “Kamu gimana? Orang tua kamu jadi datang hari ini, kan? Atau besok pagi juga?”

Bima terdiam. Ia menunduk sebentar sebelum menatap Senara dengan mata yang kosong. Tidak ada senyum. Tidak ada canda. Tidak ada kebahagiaan yang seharusnya mengiringi calon pengantin dua hari sebelum hari bahagia.

“Senara, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu!’’

Deg.

Nada suara Bima membuat dunia Senara tiba-tiba terasa sunyi, ‘’B—bicara apa? Orang tua kamu baik baik aja kan Bim? Mereka jadi datang ke Jakarta kan?”’

Melihat Bima yang hanya diam, Ia melangkah pelan ke dalam, memberi isyarat agar Bima ikut masuk.

Mereka duduk berhadapan. Tidak ada satu pun dari mereka yang bicara selama beberapa saat. Sampai akhirnya, Bima menarik napas panjang.

‘’Ada apa Bim?’’ tanya Senara sekali lagi.

“Senara, maafin aku. Aku gak bisa melanjutkan ini.”

Senara mengerutkan kening, tidak mengerti.

“Nggak bisa lanjut… apa maksudnya ?’’

“Pernikahan ini, Kita. Aku aku mau membatalkannya.”

Jeduaarrr!

Petir menyambar. Tapi ini bukan di langit melainkan di dadanya.

“Apa?” suaranya pelan, tercekat. “Ini… bercanda, kan?”

“Aku nggak bercanda, Senara. Aku tahu ini mendadak. Tapi aku sudah mikir ini berhari-hari. Aku ngerasa... ini semua salah.”

“Bima, yang bener aja dong! ini udah H-2! Semua sudah siap! Undangan disebar, keluargaku besok datang dari kampung! Apa kamu sadar, ini bukan cuma soal aku dan kamu lagi?” seru Senara yang sudah tak mampu menahan air matanya lagi.

“Aku tahu… dan aku minta maaf. Tapi aku nggak bisa lanjut karena hatiku nggak sepenuhnya di sini.”

Deg!

Senara membeku. Ia bahkan tidak bisa menangis. Matanya menatap kosong ke arah Bima, seperti tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

“Kamu tahu… aku udah memaafkan malam itu. Aku pikir itu ujian, dan aku tetap mau bersamamu. Aku tetap percaya padamu,” suaranya mulai bergetar. “Tapi kamu? Kamu bahkan nggak coba berjuang untuk kita. Kamu memilih menyerah.”

Bima tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan keheningan menjawab segalanya.

‘’Apa kamu akan kembali pada mantan kamu?’’ tanya Senara dengan sekuat tenaga

BIma mengangguk pelan, ‘’Aku masih sangat mencintai nya.’’

Dan seketika itu Senara tertawa getir. Cinta? JIka memang Bima masih mencintai mantan nya, lantas mengapa laki laki itu memacari nya, melamar nya dan menjanjikan kebahagiaan untuk nya.

‘’Aku sudah berusaha meyakinkan hati untuk kamu. Tapi ternyata tidak bisa , maafin aku Senara. Anggun masih menetap lekat di hatiku, aku gak bisa melepaskan nya. Aku ingin kembali padanya.” Ujar Bima semakin menyayat hati Senara.

‘’Kenapa? Kenapa baru sekarang Bim? Setelah semua persiapan sudah siap, kenapa—“

‘’Karena Anggun Hamil, dan aku terpaksa harus memilih di antara kalian,’’

Dan seketika itu, Senara berdiri, tubuhnya limbung. Perasaan nya benar benar hancur. Jadi, bisa Senara perkirakan bahwa kedatangan Bima ke Hotel malam itu, bukan hanya sekedar mengantarkan Anggun mencari tempat tinggal.

“Keluar, Bima.” Usir nya menunjuk eka rah pintu.

“Senara, maafin aku.”

“Keluar sekarang!!” teriak Senara dengan nafas memburu.

Bima berdiri dengan berat hati. Ia melangkah keluar tanpa satu kata pun lagi. Senara menutup pintu dengan tangan gemetar. Saat suara langkah Bima menghilang, tubuhnya ambruk ke lantai.

Air mata yang tadi tertahan kini jatuh deras. Isaknya pecah di tengah kamar sepi yang penuh dengan rencana-rencana yang tak akan pernah jadi kenyataan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona sang MANTAN   Bab 8

    Ruang ganti pengantin itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar dari AC yang terdengar mengisi udara. Harum bunga melati dan wangi kosmetik bercampur menjadi aroma khas hari pernikahan. Tapi suasana hatinya tak setenang itu.Senara menegakkan tubuhnya perlahan, menatap para kerabat yang masih ramai di ruangan.“Maaf Pak, Bu, mbak dan Mas. Senara mau bicara sama Jati dulu,’’ ucap Senara pelan seraya menatap keluarganya satu persatu.‘’Iya Nduk, bapak sama Ibu tunggu diluar ya.” Bu Ayu mengangguk dan mengusap lengan putri bungsunya sebentar sebelum akhirnya mengajak cucunya keluar.‘’Iya Buk,”‘’Jangan lama lama Dek, penghulunya udah dateng soalnya,” kata mbak Nanda.‘’Iya mbak,”Butuh beberapa detik, namun akhirnya satu per satu kerabat dan panitia keluar meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Pintu ditutup rapat, menyisakan hanya dua orang dengan beban yang tak terucapkan di dalam hati masing masing.Senara berdiri di depan cermin besar, gaun putihnya menjuntai anggun samp

  • Pesona sang MANTAN   Bab 7

    Jati duduk di tepi ranjang kontrakannya yang sempit, menatap layar ponsel kosong tanpa niat membukanya. Di atas meja, undangan pernikahan Senara dan Bima masih terbuka, lembaran yang tadi siang diberikan oleh Senara dengan tangan gemetar.“Gila. Ini gila,” gumamnya. Ia menggaruk rambutnya yang acak-acakan, menarik napas panjang.Pikiran Jati berloncatan, tentang Senara, tentang masa SMP mereka, tentang waktu itu saat ia duduk sendiri di pojokan kelas, dan Senara datang, duduk di sebelahnya tanpa canggung. Tentang senyum Senara yang menyelamatkannya dari rasa sepi yang tak dimengerti anak-anak seusianya.Kini, perempuan yang sama, memintanya menyelamatkan satu-satunya hari penting dalam hidupnya.Pernikahan. Bukan cinta. Bukan lamaran romantis. Tapi sebuah permintaan putus asa.Jati menghela napas.“Kalau waktu itu dia bisa nyelametin gue, apa sekarang giliran gue?” Ia terdiam sejenak. “...Atau ini cuma gila doang?”Dan malam itu akhirnya Jati tidak tidur.__Gedung pernikahan sore itu

  • Pesona sang MANTAN   Bab 6

    Senara masih duduk di trotoar, memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap Jati yang kini berdiri, berkacak pinggang, memandangnya seperti menatap makhluk aneh dari planet lain. “Jati… aku serius. Ayo kita menikah besok,” ulangnya, kali ini lebih mantap, seperti seseorang yang sudah siap mempertaruhkan seluruh hidupnya pada sebuah keputusan gila. Jati membeku di tempat. Bibirnya terbuka sedikit, tapi tak ada kata yang keluar. Ia benar-benar tak paham. “Lo... ngomong apaan sih?” tanyanya dengan suara pelan, seolah takut jawaban itu memang nyata. “Menikah. Besok. Di gedung yang sudah disewa. Keluarga aku udah datang dari kampung. Dekorasi udah jadi. Makanan udah dipesan. Semua tinggal jalan,” Senara bicara cepat, nyaris seperti membaca naskah dari kepala. “Tadinya buat aku dan Bima, tapi... dia pergi. Dan sekarang... aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak bisa batalkan semua ini. Aku nggak bisa bikin malu orangtuaku.” Jati menatap Senara lama, nyaris tanpa kedipan. Otaknya masih

  • Pesona sang MANTAN   Bab 5

    "Gue nggak nyangka kalau sekarang lo berubah sejauh ini!" ucap Jati sambil masih menatap Senara dengan tatapan penuh heran sekaligus kagum. Mata Jati menyapu wajah Senara pelan-pelan, seolah memastikan bahwa sosok di hadapannya benar-benar gadis SMP yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Namun yang berdiri di depannya sekarang adalah perempuan dewasa dengan sorot mata yang jauh lebih tajam dan sikap yang tegas. Senara tersenyum miring, lalu melipat tangannya di dada. “Emangnya cuma aku aja yang berubah? Kamu pun juga berubah banyak. Terutama soal penampilan!” Ia menggeleng kecil, tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jati yang dulu ia kenal adalah bocah gemuk dengan rambut acak-acakan dan gigi berantakan. Ia sering jadi sasaran bully di sekolah. Tak ada yang mau duduk sebangku dengannya, apalagi berteman. Semua menjauhinya seperti ia wabah penyakit. Semua… kecuali Senara. Waktu itu, Senara lah satu-satunya yang menghampiri Jati saat semua orang memilih menjauh. Ia y

  • Pesona sang MANTAN   Bab 4

    Senara duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi gemerlap lampu dan irama dentum musik yang menghentak dada. Gelas minumannya masih utuh, tak tersentuh sedikit pun. Cairan bening di dalamnya hanya bergetar setiap kali bass dari musik menghantam udara. Ia tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin hening di tengah kebisingan. Kepalanya masih terasa berat. Perutnya sesekali mual. Tapi anehnya, suara musik dan cahaya yang menyilaukan justru membuat pikirannya perlahan-lahan tumpul. Tidak sepeka tadi. Tidak sesakit tadi. Ia menatap kosong ke depan, lalu sesekali memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam suara-suara asing. Seolah semua luka dan pengkhianatan bisa diredam, diganti oleh irama yang tak mengenal siapa dirinya. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, suara musik terputus oleh teriakan. Dua pria di dekat meja tengah mulai saling dorong. Entah karena minuman, entah karena wanita Senara tidak peduli. Awalnya ia hanya melirik sebentar, lalu kembali memalingkan waja

  • Pesona sang MANTAN   Bab 3

    Pagi datang terlalu cepat bagi seseorang yang tidak tidur semalaman. Senara terbangun bukan karena alarm, tapi karena perutnya melilit hebat. Rasa nyeri itu naik hingga ke dada, seperti ditusuk-tusuk dari dalam. Napasnya pendek, dingin keringat membasahi leher dan punggung. Ia tahu gejala ini. Asam lambungnya kambuh dan kali ini lebih parah dari sebelumnya. Ia menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, membuka aplikasi ojek online dan memesan kendaraan ke rumah sakit terdekat. Hujan tipis turun saat ia melangkah keluar dari kosan, dengan tubuh yang limbung dan langkah terseret. Wajahnya pucat. Matanya sembab. Tapi tak ada waktu untuk peduli pada penampilan. Motor datang. “Ke rumah sakit, ya, Mas,” katanya pelan sambil berusaha menahan mual. Perjalanan yang hanya 15 menit terasa seperti seumur hidup. Di tengah jalan, ponselnya berbunyi beberapa kali. Notifikasi pesan masuk dari grup keluarga: “Senara, kami sudah otw,’’ tulis Nandini, kakak pertama Senara disertai foto-foto wajah ce

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status