El menelan ludah. Perasaan aneh kembali merayapi dirinya.
Tanpa ia sadari, sesuatu sedang menunggu di balik gerbang itu. Sesuatu yang telah lama tersembunyi. "Berhenti sebentar," ujar El, matanya menatap lurus ke depan. Julian mengerem perlahan dan menepikan mobil. El membuka pintu, turun, lalu berdiri di tepi jalan tanah yang mereka pijak. Matanya menyapu pemandangan di hadapannya. Desa ini… begitu sepi. Julian ikut turun dari mobil, berdiri di samping El. "Apa yang kau lihat?" tanyanya. El menggeleng pelan. "Aku hanya merasa aneh. Tidak banyak rumah penduduk di sekitar sini, bahkan jalan yang kita lewati ini sama sekali tidak memiliki pemukiman." Julian menatap sekeliling, mengangguk setuju. "Kau benar. Seharusnya, kalau ini desa, setidaknya ada beberapa rumah di sepanjang jalan masuk." El menarik napas dalam. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan." Mereka kembali ke mobil, dan Julian melajukan kendaraan melewati jalan berbatu yang semakin menyempit. Desa itu akhirnya mulai terlihat lebih jelas, tetapi ada sesuatu yang janggal. Sunyi. Padahal, hari masih menunjukkan pukul dua siang, namun suasana desa begitu sepi. Tidak ada anak-anak bermain, tidak ada suara aktivitas warga. Hanya satu atau dua orang yang berjalan cepat, seolah tidak ingin terlihat. El membuka kaca jendela, berharap bisa bertanya pada seseorang. Ketika ia melambaikan tangan dan mencoba memanggil seorang pria tua yang berjalan di pinggir jalan, pria itu justru berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot mata ketakutan, lalu berlari menjauh tanpa sepatah kata pun. El tertegun. "Apa-apaan ini?" Julian memperlambat laju mobilnya. "Kau melihat itu?" El mengangguk pelan. "Setiap kali aku mencoba bertanya, mereka justru lari ketakutan." Julian menatap spion, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. "Aku tidak suka ini, El. Desa ini… terasa salah." El menggigit bibirnya, kebingungan. Namun, tiba-tiba… Sebuah ingatan melintas di kepalanya. Ingatan yang bukan miliknya. Ia melihat sebuah jalan sempit yang bercabang ke kiri, melewati pepohonan tinggi dan rumah-rumah kayu tua. Di ujung jalan itu, ada sebuah rumah besar dengan jendela yang tertutup rapat, seolah telah lama ditinggalkan. El tersentak, napasnya sedikit memburu. "Apa yang terjadi?" tanya Julian, melihat wajah El yang tiba-tiba pucat. El menelan ludah, lalu dengan suara pelan berkata, "Aku… tahu jalan menuju rumah itu." Julian mengernyit. "Bagaimana bisa? Kau belum pernah ke sini, kan?" El tidak menjawab. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ingatan itu bisa muncul dalam benaknya. Seolah-olah, seseorang—atau sesuatu—sedang membimbingnya. "Tetap maju lurus… lalu belok kiri di jalan sempit berikutnya," ucap El lirih, memberi arahan. Julian ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Ia melajukan mobil sesuai arahan El, meskipun mereka berdua tidak tahu apa yang akan menanti di ujung jalan itu. Sepanjang perjalanan memasuki pemukiman, El dan Julian memperhatikan sesuatu yang semakin aneh. Tidak ada anak-anak yang bermain di luar. Desa ini begitu sepi, seperti tidak berpenghuni. Ketika mereka melihat beberapa anak kecil di pinggir jalan, harapan sempat muncul. Namun, saat anak-anak itu menyadari keberadaan mobil mereka, ekspresi mereka langsung berubah. Tanpa sepatah kata pun, mereka berlari masuk ke rumah masing-masing, menutup pintu dengan tergesa-gesa. El menatap kejadian itu dengan bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa mereka memang sudah waktunya tidur siang?" Julian melirik ke spion, memperhatikan desa yang semakin jauh di belakang mereka. "Kurasa bukan itu alasannya, El. Mereka takut." Sejak saat itu, tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Suasana di dalam mobil berubah sunyi. Bahkan musik yang sebelumnya diputar Julian pun terasa tidak pada tempatnya, hingga akhirnya ia mematikan radio. El menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai menjalari dirinya. Dan akhirnya, setelah melewati beberapa rumah kayu tua yang tampak nyaris tidak berpenghuni, mereka tiba di depan sebuah rumah besar yang tampak lebih tua dari rumah-rumah lainnya. Julian menghentikan mobil tepat di depan gerbang berkarat. Ia dan El turun perlahan, berdiri terpaku di tempat, menatap bangunan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rumah itu tinggi dan gelap, dengan jendela-jendela yang tertutup rapat, seolah menolak cahaya matahari masuk ke dalamnya. Catnya yang pudar dan beberapa bagian dinding yang sudah retak memberi kesan bahwa tempat ini sudah lama tidak dihuni. El melangkah mendekat ke gerbang, tangannya mencengkeram besi tua yang terasa dingin di telapak tangannya. Ia menatap ke dalam dengan penuh fokus, seakan matanya mampu menembus dinding tebal rumah itu dan melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh… Sampai suara Julian memecah keheningan. "El, jangan diam seperti itu. Kau membuat suasana jadi lebih seram." El tersentak dari lamunannya, menoleh ke arah Julian yang memasang wajah canggung sambil menyandarkan satu tangan di pinggang. Julian melanjutkan, berusaha mencairkan suasana, "Kalau ini film horor, biasanya kita akan menemukan papan bertuliskan ‘Dilarang Masuk’ atau sesuatu seperti itu." El menghela napas dan tersenyum tipis. "Tapi kita tidak menemukan papan seperti itu, kan?" Julian mengangkat bahu. "Benar juga. Jadi… kita masuk?" El menatap gerbang itu sekali lagi. Lalu, tanpa menjawab, ia mendorongnya perlahan. Gerbang tua itu berderit keras, suaranya menggema di udara yang hening. Dengan napas tertahan, mereka berdua melangkah masuk. Setelah melewati gerbang utama, El dan Julian berdiri di tengah halaman, mengamati sekeliling. El mengerutkan dahi. "Aku tidak menyangka…" Julian menoleh. "Apa?" El menggeleng pelan. "Dari luar, gerbang ini terlihat sedikit mewah. Tapi setelah masuk… rumah ini justru terlihat tua dan terbengkalai. Seperti tidak terawat selama bertahun-tahun." Namun El mengamati sekali lagi, dia sedikit familiar dengan tempat ini, El baru sadar ternyata tempat ini yang ada didalam mimpinya. Julian mengamati bangunan di depan mereka. Cat dindingnya sudah mengelupas, beberapa bagian kayu tampak rapuh dimakan usia. Halaman dipenuhi rumput liar, dan udara di sekitar rumah terasa lebih dingin dibandingkan di luar gerbang tadi. "Ini benar-benar aneh," gumam Julian. Mereka memandang sekitar sejenak sebelum akhirnya berjalan perlahan menuju pintu utama. Saat tiba di depan pintu kayu besar yang tampak kokoh, El mencoba mendorongnya. "Hhh... berat sekali," keluhnya sambil berusaha membuka pintu, tapi tidak bergeming. Julian mendekat. "Biar aku coba." El mundur, membiarkan Julian mengambil alih. Ia menggulung lengan bajunya dan mendorong pintu sekuat tenaga. "Hah… ini terkunci atau memang sudah membatu di sini?" ujar Julian, sedikit terengah. El berpikir sejenak, lalu menoleh ke arah jendela di samping pintu. Salah satu jendela itu sedikit renggang. "Julian, tunggu sebentar," kata El, berjalan mendekati jendela. Ia meraba celah kecil di antara kusen kayu, mencoba mendorongnya. Ceklek. Jendela itu terbuka dengan mudah. Julian menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Pintu utama tidak bisa dibuka, tapi jendelanya malah tidak terkunci?" El tidak menjawab. Ia memasukkan tangannya ke dalam, meraba-raba permukaan meja kecil yang berada tepat di bawah jendela. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang dingin. Kunci. El menarik tangannya kembali, membawa kunci tersebut. Ia menoleh ke Julian dengan ekspresi lega. "Aku menemukannya." Julian tersenyum kecil. "Bagus. Sekarang, mari kita lihat apa yang ada di dalam." Dengan sedikit keraguan, El memasukkan kunci ke dalam lubang pintu dan memutarnya perlahan. Klik. Pintu tua itu berderit, membuka sedikit demi sedikit… Di baliknya, kegelapan menyambut mereka.Sejak mimpi itu, El tak pernah benar-benar tidur dengan tenang. Bahkan saat Nate dan Lucien bercanda atau bertengkar kecil seperti biasa, pikirannya terus kembali ke tempat itu — desa tersembunyi, cahaya yang memanggil, dan keputusan besar yang belum sempat ia buat. Ia belum menceritakan apapun. Bukan karena tidak percaya, tapi karena... ia takut. Takut mereka akan khawatir. Takut mimpi itu membawa pertanda yang terlalu berat untuk dibagi. Malam pun berlalu dalam sunyi. Dan saat fajar masih tersembunyi di balik kabut pagi, mereka bertiga duduk membentuk lingkaran kecil di dekat rerimbunan hutan suci, cahaya dari jalur itu masih terlihat berdenyut lembut dari kejauhan, seperti detak jantung yang hidup di tanah. "Kita terlalu gegabah tadi," kata Nate akhirnya, memecah keheningan. "Kita harus mundur sejenak. Rencanakan semuanya." Lucien mengangguk setuju, lalu menoleh pada wanita tua yang masih berdiri di dekat batang pohon tua, seakan menyatu dengan waktu itu sendiri. "Apakah benar
Langkah El menyusul Nate dan Julian yang sudah berada di depan. Tapi saat mereka mulai menapaki jalanan setapak yang basah oleh embun, sebuah cahaya tiba-tiba menyala dari dalam tas yang dibawa Julian. “Astaga… jamnya!” seru Julian, buru-buru mengeluarkannya. Jam pemberian Lucien—yang sempat menyala dan menunjukkan peta sebelumnya—kembali memancarkan cahaya biru keemasan. Namun kali ini berbeda. Peta yang muncul bukan lagi berupa jalur panjang atau lokasi samar. Kini, dari jam itu terpancar jalur bercahaya yang hidup, melayang di udara seperti benang cahaya, mengarah lurus ke arah timur laut, menembus rimbunnya pepohonan yang membentuk batas hutan suci desa. Mereka bertiga saling pandang. El terpaku, tubuhnya terasa hangat saat mendekati jalur cahaya itu—seolah cahaya itu mengenalnya. Tiba-tiba suara lembut namun tegas terdengar dari belakang mereka. Wanita tua itu—yang sebelumnya menceritakan asal-usul El—berdiri di ujung jalan, membawa tongkat kayu yang dihiasi ukiran simbol ku
Malam itu langit begitu kelam, seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Bintang-bintang tertutup kabut tipis, dan udara terasa berat, menggantung di antara pepohonan yang merunduk diam. Wanita misterius itu berdiri di ambang jalan kecil yang mengarah ke bagian terdalam dari desa, tempat yang bahkan Nate dan Julian tak pernah dengar sebelumnya. “El,” katanya lembut, “tempat yang akan kita datangi ini… disebut Valeyra. Dalam bahasa kuno, artinya ‘ingatan yang belum selesai.’ Di sana, kau akan bisa melihat semua yang selama ini tersembunyi darimu. Tapi ada satu syarat—satu ujian yang harus kau lalui.” El melirik ke belakang, kepada Nate dan Julian. Tapi wanita itu menggeleng. “Hanya kau yang bisa masuk. Hanya kau yang memiliki kunci.” Jalanan itu gelap, hanya diterangi lentera gantung yang menyala redup, menggantung seperti bintang di pohon-pohon tua. “Ujiannya… seperti apa?” tanya El pelan. “Bukan ujian kekuatan atau logika,” jawab wanita itu. “Ini adalah ujian ha
El masih menatap wanita itu dengan kebingungan yang membuncah. Jemarinya menggenggam gelas air yang tadi disuguhkan, dingin dan bening seperti kristal. Ia tak berpikir macam-macam saat meneguknya perlahan, hanya ingin menghilangkan haus dan menenangkan degup jantung yang tak juga mereda sejak mereka tiba di desa ini. Namun, begitu tetes terakhir air itu menyentuh tenggorokannya, tubuh El menegang. Sejenak, dunia di sekitarnya menjadi hening. Suara obrolan samar dari Nate dan Julian menghilang, berganti dengan desiran angin dan denting suara lonceng kecil, seolah berasal dari tempat yang jauh. Napas El tercekat. Pandangannya kabur, tapi tidak gelap. Justru sebaliknya—terang. Terlalu terang. Seketika, serangkaian gambar melintas dalam pikirannya. Terlalu cepat, terlalu kabur—tapi sangat nyata. Ia melihat seorang anak kecil berlari-lari di tengah taman yang dipenuhi bunga bercahaya. Cahaya itu bukan seperti cahaya matahari biasa, tapi memancar dari kelopak-kelopaknya sendiri. Anak i
Di tengah kebingungan mereka yang berdiri terpaku di depan rumah berlapis emas itu, tiba-tiba Lucien, yang sejak tadi lebih banyak diam dan mengamati, mengerutkan kening. Sebuah dorongan aneh muncul di benaknya, mendorongnya untuk membuka peta yang terhubung dengan jam pintarnya—perangkat yang selama ini mereka andalkan dalam perjalanan.Dengan gerakan cepat namun hati-hati, ia menekan permukaan jam, dan seketika peta holografik muncul melayang di atas pergelangannya. Cahaya lembutnya menyinari wajah Lucien yang mulai menunjukkan ekspresi serius. Ia memperbesar tampilan, fokus pada titik lokasi tempat mereka berdiri saat ini.Lalu ia membeku.“Guys...” suara Lucien pelan, nyaris berbisik. “Lihat ini.”Julian dan El segera menoleh. Nate yang berdiri sedikit di belakang juga ikut melangkah mendekat.Di layar peta, ada satu titik menyala terang, lebih kuat dibandingkan tempat lain yang mereka lewati selama perjalanan. Warna merah keemasan yang menyala lembut, mencolok di antara wilayah-w
Dengan penuh pertimbangan dan ketegangan yang menyesakkan dada, mereka akhirnya melangkah masuk melewati gerbang pohon raksasa itu. Seolah ada lapisan tak kasat mata yang mereka tembus—sekejap kabut menyelimuti pandangan, membuat langkah mereka limbung.Namun, hanya dalam beberapa detik, kabut itu sirna. Mata mereka terbuka lebar saat melihat pemandangan yang tak pernah mereka duga.Di hadapan mereka terbentang sebuah pemukiman luas—sebuah desa yang tampak begitu hidup. Rumah-rumah kayu dengan arsitektur klasik berdiri rapi, dihiasi lentera gantung yang menyala redup meski hari masih terang. Jalanan dipenuhi oleh orang-orang—pria, wanita, anak-anak—berpakaian khas yang tak mereka kenali, seolah berasal dari zaman atau dunia yang berbeda. Mereka lalu-lalang dengan wajah damai dan aktivitas biasa: membawa keranjang, berbincang di depan toko, atau menimba air dari sumur desa.“Apa ini...” bisik El, matanya berkaca-kaca karena bingung sekaligus takjub.Julian melangkah maju perlahan, eksp