Beranda / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Misteri di Balik Gerbang

Share

Misteri di Balik Gerbang

Penulis: Flo_ris
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 17:01:10

El menelan ludah. Perasaan aneh kembali merayapi dirinya.

Tanpa ia sadari, sesuatu sedang menunggu di balik gerbang itu. Sesuatu yang telah lama tersembunyi.

"Berhenti sebentar," ujar El, matanya menatap lurus ke depan.

Julian mengerem perlahan dan menepikan mobil. El membuka pintu, turun, lalu berdiri di tepi jalan tanah yang mereka pijak. Matanya menyapu pemandangan di hadapannya. Desa ini… begitu sepi.

Julian ikut turun dari mobil, berdiri di samping El. "Apa yang kau lihat?" tanyanya.

El menggeleng pelan. "Aku hanya merasa aneh. Tidak banyak rumah penduduk di sekitar sini, bahkan jalan yang kita lewati ini sama sekali tidak memiliki pemukiman."

Julian menatap sekeliling, mengangguk setuju. "Kau benar. Seharusnya, kalau ini desa, setidaknya ada beberapa rumah di sepanjang jalan masuk."

El menarik napas dalam. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan."

Mereka kembali ke mobil, dan Julian melajukan kendaraan melewati jalan berbatu yang semakin menyempit. Desa itu akhirnya mulai terlihat lebih jelas, tetapi ada sesuatu yang janggal.

Sunyi.

Padahal, hari masih menunjukkan pukul dua siang, namun suasana desa begitu sepi. Tidak ada anak-anak bermain, tidak ada suara aktivitas warga. Hanya satu atau dua orang yang berjalan cepat, seolah tidak ingin terlihat.

El membuka kaca jendela, berharap bisa bertanya pada seseorang. Ketika ia melambaikan tangan dan mencoba memanggil seorang pria tua yang berjalan di pinggir jalan, pria itu justru berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot mata ketakutan, lalu berlari menjauh tanpa sepatah kata pun.

El tertegun. "Apa-apaan ini?"

Julian memperlambat laju mobilnya. "Kau melihat itu?"

El mengangguk pelan. "Setiap kali aku mencoba bertanya, mereka justru lari ketakutan."

Julian menatap spion, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. "Aku tidak suka ini, El. Desa ini… terasa salah."

El menggigit bibirnya, kebingungan. Namun, tiba-tiba…

Sebuah ingatan melintas di kepalanya.

Ingatan yang bukan miliknya.

Ia melihat sebuah jalan sempit yang bercabang ke kiri, melewati pepohonan tinggi dan rumah-rumah kayu tua. Di ujung jalan itu, ada sebuah rumah besar dengan jendela yang tertutup rapat, seolah telah lama ditinggalkan.

El tersentak, napasnya sedikit memburu.

"Apa yang terjadi?" tanya Julian, melihat wajah El yang tiba-tiba pucat.

El menelan ludah, lalu dengan suara pelan berkata, "Aku… tahu jalan menuju rumah itu."

Julian mengernyit. "Bagaimana bisa? Kau belum pernah ke sini, kan?"

El tidak menjawab. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ingatan itu bisa muncul dalam benaknya. Seolah-olah, seseorang—atau sesuatu—sedang membimbingnya.

"Tetap maju lurus… lalu belok kiri di jalan sempit berikutnya," ucap El lirih, memberi arahan.

Julian ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Ia melajukan mobil sesuai arahan El, meskipun mereka berdua tidak tahu apa yang akan menanti di ujung jalan itu.

Sepanjang perjalanan memasuki pemukiman, El dan Julian memperhatikan sesuatu yang semakin aneh. Tidak ada anak-anak yang bermain di luar. Desa ini begitu sepi, seperti tidak berpenghuni.

Ketika mereka melihat beberapa anak kecil di pinggir jalan, harapan sempat muncul. Namun, saat anak-anak itu menyadari keberadaan mobil mereka, ekspresi mereka langsung berubah. Tanpa sepatah kata pun, mereka berlari masuk ke rumah masing-masing, menutup pintu dengan tergesa-gesa.

El menatap kejadian itu dengan bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa mereka memang sudah waktunya tidur siang?"

Julian melirik ke spion, memperhatikan desa yang semakin jauh di belakang mereka. "Kurasa bukan itu alasannya, El. Mereka takut."

Sejak saat itu, tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Suasana di dalam mobil berubah sunyi. Bahkan musik yang sebelumnya diputar Julian pun terasa tidak pada tempatnya, hingga akhirnya ia mematikan radio.

El menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan gelisah yang mulai menjalari dirinya.

Dan akhirnya, setelah melewati beberapa rumah kayu tua yang tampak nyaris tidak berpenghuni, mereka tiba di depan sebuah rumah besar yang tampak lebih tua dari rumah-rumah lainnya.

Julian menghentikan mobil tepat di depan gerbang berkarat. Ia dan El turun perlahan, berdiri terpaku di tempat, menatap bangunan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Rumah itu tinggi dan gelap, dengan jendela-jendela yang tertutup rapat, seolah menolak cahaya matahari masuk ke dalamnya. Catnya yang pudar dan beberapa bagian dinding yang sudah retak memberi kesan bahwa tempat ini sudah lama tidak dihuni.

El melangkah mendekat ke gerbang, tangannya mencengkeram besi tua yang terasa dingin di telapak tangannya. Ia menatap ke dalam dengan penuh fokus, seakan matanya mampu menembus dinding tebal rumah itu dan melihat apa yang tersembunyi di dalamnya.

Tatapannya kosong, pikirannya melayang jauh…

Sampai suara Julian memecah keheningan.

"El, jangan diam seperti itu. Kau membuat suasana jadi lebih seram."

El tersentak dari lamunannya, menoleh ke arah Julian yang memasang wajah canggung sambil menyandarkan satu tangan di pinggang.

Julian melanjutkan, berusaha mencairkan suasana, "Kalau ini film horor, biasanya kita akan menemukan papan bertuliskan ‘Dilarang Masuk’ atau sesuatu seperti itu."

El menghela napas dan tersenyum tipis. "Tapi kita tidak menemukan papan seperti itu, kan?"

Julian mengangkat bahu. "Benar juga. Jadi… kita masuk?"

El menatap gerbang itu sekali lagi. Lalu, tanpa menjawab, ia mendorongnya perlahan.

Gerbang tua itu berderit keras, suaranya menggema di udara yang hening.

Dengan napas tertahan, mereka berdua melangkah masuk.

Setelah melewati gerbang utama, El dan Julian berdiri di tengah halaman, mengamati sekeliling.

El mengerutkan dahi. "Aku tidak menyangka…"

Julian menoleh. "Apa?"

El menggeleng pelan. "Dari luar, gerbang ini terlihat sedikit mewah. Tapi setelah masuk… rumah ini justru terlihat tua dan terbengkalai. Seperti tidak terawat selama bertahun-tahun."

Namun El mengamati sekali lagi, dia sedikit familiar dengan tempat ini, El baru sadar ternyata tempat ini yang ada didalam mimpinya.

Julian mengamati bangunan di depan mereka. Cat dindingnya sudah mengelupas, beberapa bagian kayu tampak rapuh dimakan usia. Halaman dipenuhi rumput liar, dan udara di sekitar rumah terasa lebih dingin dibandingkan di luar gerbang tadi.

"Ini benar-benar aneh," gumam Julian.

Mereka memandang sekitar sejenak sebelum akhirnya berjalan perlahan menuju pintu utama. Saat tiba di depan pintu kayu besar yang tampak kokoh, El mencoba mendorongnya.

"Hhh... berat sekali," keluhnya sambil berusaha membuka pintu, tapi tidak bergeming.

Julian mendekat. "Biar aku coba."

El mundur, membiarkan Julian mengambil alih. Ia menggulung lengan bajunya dan mendorong pintu sekuat tenaga.

"Hah… ini terkunci atau memang sudah membatu di sini?" ujar Julian, sedikit terengah.

El berpikir sejenak, lalu menoleh ke arah jendela di samping pintu. Salah satu jendela itu sedikit renggang.

"Julian, tunggu sebentar," kata El, berjalan mendekati jendela. Ia meraba celah kecil di antara kusen kayu, mencoba mendorongnya.

Ceklek.

Jendela itu terbuka dengan mudah.

Julian menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Pintu utama tidak bisa dibuka, tapi jendelanya malah tidak terkunci?"

El tidak menjawab. Ia memasukkan tangannya ke dalam, meraba-raba permukaan meja kecil yang berada tepat di bawah jendela.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya tangannya menyentuh sesuatu yang dingin.

Kunci.

El menarik tangannya kembali, membawa kunci tersebut. Ia menoleh ke Julian dengan ekspresi lega. "Aku menemukannya."

Julian tersenyum kecil. "Bagus. Sekarang, mari kita lihat apa yang ada di dalam."

Dengan sedikit keraguan, El memasukkan kunci ke dalam lubang pintu dan memutarnya perlahan.

Klik.

Pintu tua itu berderit, membuka sedikit demi sedikit…

Di baliknya, kegelapan menyambut mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah (2)

    Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah

    Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rahasia di Ruang Bawah Tanah

    Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Perjalanan Panjang

    Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Mantan Tentara Bayaran

    Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pertolongan Pria Asing

    Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pelarian Tanpa Jejak

    ..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rencana Pelarian

    Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ketukan di Ruang Rahasia

    Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status