Home / Thriller / Peta Yang Tak Pernah Ada / Awal Sebuah Misteri

Share

Peta Yang Tak Pernah Ada
Peta Yang Tak Pernah Ada
Author: Flo_ris

Awal Sebuah Misteri

Author: Flo_ris
last update Last Updated: 2025-02-14 20:31:43

Kota Ravenshire, Larut Malam

Ellara Veloz duduk di tepi ranjangnya, terengah-engah dengan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mimpi itu datang lagi. Bukan sekadar bunga tidur, tapi pesan yang terasa begitu nyata.

Seorang pria tua—wajahnya samar, suaranya serak dan berat—berbisik di telinganya, "Pergilah ke desa itu. Ada sesuatu yang harus kau temukan."

Lalu, bayangan sebuah rumah tua muncul. Loteng berdebu. Sebuah peti kayu tua. Tangannya meraba kunci yang tertanam di dalamnya, sebelum semuanya menghilang dalam kabut pekat.

El menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan ketukan aneh di dadanya. Ini bukan pertama kalinya ia bermimpi seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

"Desa tempat kakek tinggal…" bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia menyalakan lampu meja dan meraih laptopnya. Beberapa pencarian di internet tentang desa itu tidak menghasilkan banyak informasi. Tempat itu hampir tidak terdokumentasikan. Hanya ada beberapa artikel lama tentang seorang pria tua yang tinggal di sana bertahun-tahun lalu.

Kakeknya.

Tanpa pikir panjang, keesokan paginya El mulai bersiap. Ia memasukkan beberapa pakaian, jurnal catatannya, dan kamera kecil ke dalam ransel. Perjalanan ini bisa jadi hanya omong kosong, tapi perasaannya mengatakan sebaliknya.

Saat El menuruni tangga rumahnya, suara ketukan di pintu depan membuatnya terhenti. Ia menghela napas sebelum membukanya.

Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan tangan bersedekap, alisnya berkerut tajam. Julian Edward.

“Jadi kau benar-benar akan pergi?” suaranya terdengar setengah kesal, setengah khawatir.

El mengangguk, “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Mungkin hanya perasaan aneh yang tidak berdasar.”

Julian mendengus. “Desa asing di antah berantah, seorang diri, tanpa informasi yang jelas. Itu bukan sekadar ‘perasaan aneh’, El. Itu gila.”

“Aku baik-baik saja. Lagipula, aku hanya ingin melihat-lihat. Mungkin aku akan kembali ke sini dalam sehari.”

Julian menatapnya lama, seakan menimbang-nimbang sesuatu. “Biar aku ikut.”

El langsung menggeleng. “Tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu, Julian. Kau punya pekerjaan, dan aku yakin ini bukan hal yang penting.”

Julian memijit pelipisnya. “El, ini bukan tentang pekerjaan. Aku hanya tidak suka ide kau pergi sendirian ke tempat yang bahkan belum pernah kau kunjungi.”

El tersenyum kecil. “Aku sudah dewasa, Julian. Aku bisa menjaga diri sendiri.”

Julian menghela napas panjang, tahu betapa keras kepalanya sahabatnya itu. “Setidaknya, tetap terhubung denganku. Jika ada sesuatu yang aneh, hubungi aku segera.”

El mengangguk sebelum melangkah keluar, tidak menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah hidupnya.

Karena sesuatu—atau seseorang—sedang menunggu di desa itu. Dan rahasia yang terkubur di loteng kakeknya bukan hanya miliknya seorang.

Julian yang khawatir dengan El bersedekap di ambang pintu, wajahnya masih penuh tekad meskipun El telah menolak keikutsertaannya berkali-kali.

"Aku ikut, El."

El menghembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya di dinding. "Julian, aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak mau merepotkanmu."

Julian menatapnya tajam. "Bukan soal merepotkan. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri ke tempat yang bahkan kau sendiri tidak tahu apa yang menunggumu di sana."

El diam. Ia tahu Julian keras kepala, dan semakin ia menolak, semakin pria itu akan berusaha membantah. Pada akhirnya, ia menyerah.

"Baiklah, terserah. Tapi kau yang nyetir," ujar El sambil melemparkan kunci mobil ke tangan Julian.

Julian menangkapnya dengan mudah, menyeringai kecil. "Keputusan yang bijak."

Mereka memasukkan barang bawaan ke bagasi, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Begitu mesin dinyalakan dan mobil melaju di jalan raya, El hanya duduk diam, menatap kosong ke luar jendela.

Julian meliriknya sejenak sebelum membuka suara. "Apa yang kau pikirkan?"

El menggeleng pelan. "Entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang… aneh. Mimpi itu terasa begitu nyata."

Julian menghela napas. "Dan kau memilih mengejarnya, ke desa yang bahkan tidak ada di peta?"

El tersenyum tipis. "Bukankah itu menarik?"

Julian mendengus. "Kau benar-benar tidak berubah."

Sejenak, hening menyelimuti mereka. Julian diam-diam melirik El. Gadis itu memang keras kepala, tapi itulah yang membuatnya semakin peduli. Ia sudah lama menyimpan perasaan untuk El, sejak SMA. Tapi ia lebih memilih berada di sisinya sebagai sahabat daripada mengambil risiko merusak hubungan mereka.

Untuk mencairkan suasana, Julian akhirnya menyalakan musik. "Setidaknya, kita bisa menikmati perjalanan enam jam ini dengan sedikit hiburan."

El hanya tersenyum kecil, membiarkan Julian mengendalikan perjalanan.

---

Peristirahatan Pertama

Setelah dua jam berkendara, perut mereka mulai memberontak. Mereka memutuskan berhenti di sebuah rest area kecil di pinggir jalan.

"Kita makan dulu, sebelum aku berubah jadi monster kelaparan," kata Julian sambil keluar dari mobil.

El tertawa kecil. "Aku juga butuh kopi."

Mereka memasuki sebuah warung sederhana dan memesan makanan. Sambil menunggu, El menyandarkan kepalanya di meja.

"Kau yakin tidak mau kembali saja?" Julian bertanya, setengah bercanda, setengah serius.

El mengangkat kepalanya, menatap Julian dengan alis terangkat. "Kalau aku bilang iya, kau juga akan ikut mundur?"

Julian tersenyum miring. "Tentu tidak."

El tertawa kecil. "Itu dia. Jadi kita tetap melanjutkan perjalanan."

Setelah makan, mereka membeli beberapa botol air dan camilan sebelum kembali ke mobil.

.

.

Peristirahatan Terakhir

Enam jam perjalanan berlalu, mereka akhirnya tiba di rest area terakhir sebelum memasuki desa yang mereka tuju. Mereka turun untuk membeli makanan ringan sebagai bekal.

Saat itulah El menyadari sepasang suami istri tua yang berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dengan seksama. Awalnya, El mengabaikannya. Tapi ketika pasangan itu perlahan berjalan mendekat, ia mulai merasa sedikit gelisah.

"Kalian hendak ke mana?" tanya pria tua itu dengan nada hati-hati.

Julian langsung menjawab, "Kami menuju desa A."

Ekspresi pria itu langsung berubah, seperti kebingungan sekaligus khawatir. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menoleh pada istrinya, lalu tanpa sepatah kata pun, mereka berdua pergi begitu saja.

El dan Julian saling bertukar pandang.

"Apa itu tadi?" tanya El.

Julian mengangkat bahu. "Tidak tahu. Tapi sepertinya mereka terkejut saat mendengar tujuan kita."

El mengernyit, tetapi akhirnya menggeleng. "Lupakan saja. Mungkin hanya kebetulan."

Mereka kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan.

Beberapa kilometer kemudian, mereka melihat sebuah gerbang kayu besar dengan papan tua bertuliskan:

"Selamat Datang di Desa XXX."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah (2)

    Ruangan bawah tanah itu terasa sunyi setelah percakapan terakhir mereka. El menatap kakek Nate dengan penuh harap, menunggu jawaban yang bisa menjelaskan semua kebingungannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan penuh pertimbangan dari pria tua itu. Kakek Nate menghela napas panjang, menggenggam tongkatnya lebih erat sebelum akhirnya berbicara. "El... aku tahu kau ingin jawaban. Tapi saat ini, kita tidak punya waktu untuk membicarakan masa lalu." El mengerutkan kening. "Maksud kakek?" "Saat ini, ada hal yang jauh lebih penting dibanding menjelaskan semuanya padamu. Percayalah, waktunya akan tiba. Kau akan mengetahui semuanya ketika saatnya benar-benar tepat," kata kakek Nate dengan nada serius. El mengepalkan tangannya di atas meja. "Tapi aku berhak tahu! Ini tentang keluargaku, tentang siapa aku sebenarnya! Bagaimana bisa aku terus melangkah tanpa mengetahui kebenarannya?" Nate yang berdiri di samping kakeknya ikut angkat bicara. "El, aku tahu ini sulit. Tapi kakek benar. K

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ruang Bawah Tanah

    Ketika lift bawah tanah itu semakin mendekati tujuannya, cahaya mulai tampak. Awalnya hanya seberkas samar, namun semakin lama semakin terang, hingga akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang begitu luas. El, Julian, dan bahkan Nate—yang biasanya tak terkejut oleh apapun—terpaku melihat pemandangan di hadapan mereka. Ruangan ini tidak seperti yang mereka bayangkan. Lampu-lampu besar menerangi setiap sudutnya, membuat tempat ini tampak seperti fasilitas penelitian canggih yang tersembunyi jauh di bawah tanah. El melangkah keluar dari mobil terlebih dahulu, matanya menjelajahi sekeliling dengan penuh kekaguman. “Ini lebih besar dari rumahku,” gumamnya tak percaya. Julian mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi rasa penasaran. “Apa tempat ini?” tanyanya pada Nate. Namun, sebelum Nate sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki mendekat. Dari sudut ruangan, seorang gadis muncul. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan emblem kecil di dada kirinya. Rambutnya ditata ra

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rahasia di Ruang Bawah Tanah

    Setelah memastikan bahwa anak buah Liam benar-benar pergi, Nate memberi isyarat cepat kepada El dan Julian. Tanpa membuang waktu, mereka segera naik ke dalam mobil. Nate dengan cekatan menyalakan mesin, lalu menancapkan gas, membuat mobil melaju kencang meninggalkan lokasi. “El, pastikan tidak ada yang mengikuti kita,” perintah Nate dengan nada tegas namun tetap tenang. El menoleh ke belakang, matanya tajam mengawasi setiap kendaraan yang melintas di kejauhan. “Sejauh ini aman. Tapi kita harus tetap waspada,” ucapnya. Julian yang duduk di kursi penumpang depan menggenggam peta erat di tangannya. Perjalanan ini terasa semakin menegangkan, dan mereka tahu bahwa setiap detik sangat berharga. Sementara itu, Nate dengan satu tangan di kemudi, tangan lainnya merogoh ponselnya. Dia segera menghubungi seseorang. “Paman, kami sedang dalam perjalanan. Pastikan ruang bawah tanah sudah siap. Kami tidak bisa mengambil risiko,” ucap Nate dengan suara serius. Dari seberang telepon, terdengar s

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Perjalanan Panjang

    Di sebuah sudut kota yang diterangi lampu jalan redup, Liam Cornelius berdiri dengan tatapan tajam. Rokok di tangannya mengepulkan asap tipis ke udara malam. Wajahnya dingin, penuh perhitungan. Dia tak suka kegagalan, apalagi jika itu terjadi di bawah komandonya."Sebar ke seluruh penjuru kota. Jangan ada satu sudut pun yang terlewat," perintahnya dengan suara berat dan tegas.Beberapa anak buahnya yang masih meringis kesakitan akibat pertempuran di rumah tua sebelumnya hanya bisa mengangguk. Meski tubuh mereka penuh memar, mereka tahu lebih baik patuh daripada menghadapi murka Liam."Kita harus menemukan mereka sebelum mereka bertindak lebih jauh," lanjut Liam. "Orang-orang itu bukan sekadar pelarian biasa. Mereka membawa sesuatu yang penting."Sementara itu, di sisi lain kota…El, Julian, dan Nate berada di rumah El, berusaha memulihkan tenaga mereka setelah malam yang panjang dan menegangkan. El duduk di sofa, tangannya memegang secangkir teh hangat, namun pikirannya melayang jauh.

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Mantan Tentara Bayaran

    Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di perbatasan antara jalan desa misterius itu dan perkotaan. Selama perjalanan keluar, mereka tidak melihat satu pun tanda kehidupan—tidak ada warga desa yang berjalan kaki, tidak ada kendaraan yang melintas. Hanya hutan sunyi yang menemani mereka sepanjang jalan.Namun, begitu roda mobil melewati batas desa dan memasuki wilayah kota, semuanya berubah. Jalanan mulai tampak normal, dengan kendaraan yang berlalu-lalang dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas mereka. Seolah desa yang mereka tinggalkan barusan tidak pernah ada dalam peta dunia nyata.El menarik napas lega, menyandarkan kepalanya ke jendela. “Akhirnya kita keluar juga...” gumamnya.Julian yang duduk di belakang melirik ke arah Nate yang tetap fokus mengemudi. “Sepertinya kita beruntung.”“El lebih dari beruntung,” Nate menimpali, suaranya datar. “Kalian bisa saja tidak keluar hidup-hidup.”Ucapan itu membuat El dan Julian terdiam sejenak. Perasaan lega ka

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pertolongan Pria Asing

    Di tengah ketegangan yang mencekik, El dan Julian membeku. Tangan mereka masih saling menggenggam erat, mencoba menemukan kekuatan dalam satu sama lain.Tiba-tiba, suara benturan keras terdengar dari luar. Suara pukulan, desahan kesakitan, dan tubuh yang terhempas ke lantai menggema di seluruh ruangan.El menelan ludah. “Mereka bertengkar?” bisiknya nyaris tak terdengar.Julian menggeleng pelan, matanya tajam menatap pintu kayu di hadapan mereka. “Aku rasa ini bukan sekadar perkelahian biasa…”Suara gaduh semakin brutal, terdengar jeritan dan suara sesuatu yang jatuh keras ke lantai. Kemudian—hening.El menahan napas, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tidak ada satu pun suara dari luar. Hanya ada keheningan yang mencekam.Kemudian, suara langkah kaki terdengar. Tidak terburu-buru, tapi tegap dan penuh keyakinan.Julian langsung berdiri di depan El, siap melindunginya jika yang datang adalah musuh lain.Pegangan pada gagang pintu berderit pelan. Lalu, pintu terbuka.Di ambang pintu, b

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Pelarian Tanpa Jejak

    ..Julian menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan mendorong pintu loteng. Setiap gerakan dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Engsel yang sudah berkarat membuatnya harus bekerja ekstra pelan agar tidak berderit dan menarik perhatian siapa pun yang masih berjaga di bawah.Begitu celah pintu cukup terbuka, Julian mencondongkan tubuhnya sedikit untuk mengintip ke bawah. Matanya awas, menyapu setiap sudut ruangan. Keheningan masih menyelimuti tempat itu, tetapi ia tidak bisa gegabah.Ia berbalik, menatap El yang masih berjongkok di loteng dengan ekspresi cemas. Julian memberi isyarat dengan satu jari di depan bibirnya, lalu perlahan menuruni loteng.Setelah kedua kakinya menginjak lantai, Julian tetap diam di tempat, menajamkan pendengarannya.Hanya ada suara angin yang berdesir di luar dan sesekali bunyi nyamuk yang beterbangan. Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari para penjaga di bawah.Julian kembali mendongak ke atas dan memberi isyara

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Rencana Pelarian

    Suasana mendadak menjadi hening.El masih memeluk Julian erat, tetapi perlahan, ia melepaskan diri. Tubuhnya gemetar, meskipun udara di ruangan itu tidak begitu dingin. Tatapannya penuh kecemasan saat ia menoleh ke arah Julian.Julian dengan sigap mematikan lentera di tangannya. Seketika, ruangan itu tenggelam dalam kegelapan pekat. Tidak ada cahaya sedikit pun yang bisa menuntun pandangan mereka.Di bawah, terdengar suara langkah kaki yang perlahan semakin mendekat. El bisa merasakan napasnya sendiri yang tersengal karena gugup."Mereka masuk ke kamar di bawah kita," bisik Julian sangat pelan, hampir tidak terdengar.El menelan ludah, tangannya meremas kuat lengan Julian. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ketakutannya menahan suaranya.Julian menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki itu berputar di dalam kamar, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu. Terdengar suara benda digeser, mungkin meja atau kursi yang ada di dalam ruangan tersebut."Sepertinya mereka sedang memeri

  • Peta Yang Tak Pernah Ada    Ketukan di Ruang Rahasia

    Ruangan itu sunyi, hanya ada suara napas lembut El yang tertidur pulas di samping Julian. Cahaya redup dari lentera kecil di sudut ruangan memberikan sedikit penerangan di tengah kegelapan.Namun, tiba-tiba El merasakan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Matanya perlahan terbuka, dan ia langsung menyadari sesuatu—ia harus buang air kecil.El menggigit bibirnya, ragu untuk membangunkan Julian. Tapi jika ia pergi sendiri, itu terlalu menyeramkan. Ruangan ini begitu sunyi dan asing, apalagi mereka masih berada di tempat yang penuh misteri.Dengan hati-hati, El mengulurkan tangannya dan mengguncang lengan Julian pelan."Jul... Julian..." bisiknya lirih.Julian mengerjap pelan, kelopak matanya bergerak sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Matanya yang masih sedikit mengantuk menatap El dengan teduh, seolah bertanya tanpa kata-kata."Ada apa?" suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.El menelan ludah, merasa malu untuk mengatakannya. Tapi ia tidak punya pilihan lain."Aku... ma

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status