Yuk tinggalkan vote dan komen untuk mendukung novel ini.
Melihat sinar putus asa di mata Rose, Luke hampir luluh. Namun ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terkecoh lagi oleh kepolosan yang ditampilkan oleh Rose Black."Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku mengizinkanmu pergi pasti kamu akan kabur.""Luke, kumohon. Aku tidak akan ingkar janji," jawab Rose meyakinkan Luke. Ia benci karena harus memohon pada pria angkuh ini."Kamu boleh pergi ke rumah pamanmu asalkan bersamaku. Aku yang akan mengantarmu ke sana.""Untuk apa kamu ikut denganku?""Tentu saja untuk mengawasimu," tegas Luke."Kembalilah ke kamarmu. Setelah sarapan kita akan berangkat," imbuh Luke lantas berjalan ke kamar mandi.Rose tidak mengerti dengan jalan pemikiran Luke Brown. Entah apa maksud pria ini sehingga ingin terus menempel padanya, seolah ia adalah tahanan yang harus diawasi."Bagaimana jika Luke tahu nama pamanku adalah Josh Black? Dia pasti akan mencurigaiku sebagai Miss Black," batin Rose resah.***Rose hanya diam saja sepanjang perjalanan. Ia merasa
Tubuh Rose menegang. Tangannya serasa lunglai hingga tidak sanggup lagi memegang lukisan itu. Beruntung Luke dengan sigap menyangga lengan Rose."Kamu tidak apa-apa? Berikan lukisannya padaku."Luke mengambil alih lukisan itu dan mengamati setiap goresannya.Sebagai seorang pelukis, dia bisa memahami makna yang tersirat di dalamnya. Sudah jelas lukisan itu dibuat hanya untuk memberikan tekanan mental kepada Rose. Mawar adalah Rose, hitam mewakili nama keluarga Black, dan warna merah darah melambangkan bagaimana sang pengirim menginginkan kematian Rose."Ini lukisan murahan, tidak usah terlalu dipikirkan," ucap Luke menenangkan Rose."Tapi Luke orang ini tidak main-main buktinya kemarin...." kata Rose terbata. Ia tidak meneruskan ucapannya karena tidak mau membuat pamannya bertambah cemas."Rose, jika kamu takut laporkan saja kejadian ini kepada pihak kepolisian. Dan mulai sekarang jangan bepergian sendiri. Harus ada orang yang menemanimu," ucap Josh prihatin."Tidak perlu melibatkan p
Sesuai perkataan Luke, dua buah truk datang ke panti asuhan. Truk yang lebih besar berisi perabotan seperti tempat tidur, meja belajar, dan lemari baju. Sedangkan truk yang lain memuat bahan makanan, snack, dan pakaian untuk anak-anak. Rose sampai kewalahan menerima barang-barang itu. Apalagi anak-anak saling berebut untuk memilih bagian mereka.Dengan dibantu para suster, Rose mengatur tata letak barang, menyingkirkan perabotan lama, dan membagikan pakaian yang sesuai dengan ukuran masing-masing anak. Entah berapa lama waktu yang dia habiskan dalam kesibukan itu. Namun Luke masih belum terlihat. Hanya Suster Kepala yang keluar dari kantornya untuk menemui Rose. Ia terkagum-kagum melihat kondisi panti yang telah berubah total. Ditambah wajah anak-anak tampak begitu ceria."Wow, Luke membelikan banyak sekali barang. Dia sangat dermawan. Nona Rose, terima kasih sudah membantu kami. Kalian memang pasangan yang serasi, sama-sama baik hati. Semoga Tuhan selalu memberkati kalian dengan keba
Rose mengikuti langkah Luke ke arena menembak. Di depan mereka terpasang beberapa papan target yang telah disiapkan. "Pakai perlengkapan ini untuk melindungi diri," kata Luke menyerahkan alat pelindung yang lengkap kepada Rose. Setelahnya Luke mengambil pistol yang telah terisi penuh lalu bersiap membidik papan target. "Perhatikan cara menembak yang benar. Posisikan lenganmu seperti ini. Pusatkan perhatianmu di satu titik target. Konsentrasi penuh, pandangan lurus, lalu tarik pelatuknya," ujar Luke mengacungkan pistolnya. Dalam sekejap, ia menembak berturut-turut dan semuanya tepat sasaran. Rose berdecak kagum melihat keahlian Luke, tapi ia tidak mau memperlihatkannya agar pria itu tidak besar kepala. "Aku sudah memberikan contoh padamu. Sekarang giliranmu," kata Luke menyerahkan pistolnya kepada Rose. "Aku tidak bisa. Aku belum pernah mencobanya." Melihat keraguan Rose, Luke segera bertindak. Ia bergeser dan memeluk gadis itu dari belakang. Tangan Luke membenarkan posisi pistol
"Menikah? Apa kamu bercanda Luke? Kita tidak saling mencintai dan kamu juga sangat membenciku," tukas Rose tidak percaya. Bahu Rose terguncang pelan menahan gemuruh yang menyesakkan di dalam dadanya. Rose berusaha memalingkan wajahnya dari Luke, tapi pria itu menahan dagunya. "Tatap aku! Mau tahu apa alasanku ingin menikahimu?" tanya Luke dengan tatapan seekor singa yang ingin menerkam mangsanya. Pria di hadapannya ini telah berubah menyeramkan. Sangat berbeda dengan sosok Luke yang dilihatnya di panti asuhan tadi. "Untuk membalas dendam padaku," jawab Rose getir. Hatinya terasa sakit ketika mengatakan itu, layaknya sasaran tembak yang ditembus oleh ribuan peluru. "Tebakanmu sangat akurat, Miss Black. Aku ingin kamu merasakan pernikahan yang menyakitkan sama seperti ibuku. Hidup terikat dengan pria yang mengabaikanmu dan tidak mencintaimu. Itu adalah hukuman yang paling pantas untuk anak perempuan Karen Black." Rose berusaha keras untuk tidak menangis. Ia tidak mau terlihat lemah
Sulit sekali bagi Luke untuk bisa memejamkan mata. Setelah rentetan peristiwa hari ini, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang melintas di pikirannya, terutama rencana pernikahannya dengan Rose.Ia yakin seratus persen jika Rose akan setuju untuk menikah dengannya. Namun ia justru tidak yakin pada diri sendiri. Sisi terang dan gelapnya sedang berperang satu sama lain. Entah dia sanggup atau tidak untuk melancarkan aksi balas dendamnya terhadap Rose. Pasalnya ia tidak terbiasa menyiksa batin seorang wanita. Namun sayang, tidak ada jalan baginya untuk mundur.Luke masih ingat bagaimana mendiang ibunya membuatnya bersumpah untuk membalas perbuatan Karen Black. Dan sebagai anak yang berbakti, ia tidak bisa melanggar janji itu."Lebih baik aku melukis untuk menenangkan diri," pikir Luke turun dari tempat tidur.Luke mengambil peralatan melukisnya lalu berjalan menaiki tangga. Pikirannya tertuju pada lukisan Rose yang belum selesai. Hari Senin gadis itu harus membawa lukisanny
Saat terbangun, Rose melihat sisi sebelah kiri tempat tidurnya telah kosong. Artinya Luke telah keluar dari kamar itu. Namun ia mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Rose menyibakkan selimutnya lalu bergegas turun dari tempat tidur. Dia ingin melihat apa yang terjadi di dalam mansion."Selamat pagi, Nona Rose. Kenapa Anda turun dari tempat tidur? Tuan Muda mengatakan Anda kurang sehat akibat kejadian teror semalam," tanya Esme cemas. Dia sedang membersihkan sisa-sisa pecahan kaca di kamar Rose bersama dua orang pelayan wanita lainnya."Aku baik-baik saja, Esme. Ada keributan apa di bawah?""Tuan Muda sedang marah besar kepada Ben dan para petugas keamanan, Nona.""Kenapa dia marah?""CCTV di bagian depan mansion rusak tapi mereka tidak melaporkannya kepada Tuan Muda."Mendengar laporan dari Esme, Rose bergegas menuruni tangga. Tanpa menghiraukan penampilannya yang masih menggunakan gaun tidur, Rose berjalan ke ruang tamu. Ia melihat Luke berdiri dengan wajah tegang di depan par
"Ini dokumen perjanjiannya, Tuan Luke. Silakan dibaca dulu," ucap Tuan Franklin menyerahkan map file berwarna biru kepada Luke.Luke membuka map tersebut lalu membaca isinya dengan teliti. Bola mata lelaki itu bergerak ke kiri dan ke kanan, menelusuri setiap kalimat tanpa ada yang terlewatkan. Selesai membaca, senyuman puas merekah di bibirnya. Rose yang duduk di samping Luke hanya tertunduk dalam diam. Ia merasa seperti orang yang paling bodoh di dunia karena menjerumuskan diri sendiri ke dalam lubang buaya.Mereka bertiga sedang duduk bersama di satu meja berbentuk persegi panjang. Rose tidak mengerti mengapa Luke memilih restoran Italia sebagai tempat untuk membuat kesepakatan dengannya. Mungkin ini adalah bagian dari rencana besar Luke untuk merayakan kemenangannya."Baca dan tanda tangani. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja pada Tuan Franklin," ucap Luke menyodorkan perjanjian itu ke tangan Rose.Dengan wajah datar, Rose menerimanya. Yang dilakukan Luke hanyalah se