“Tidak...”
Langkah Gohan terhenti. Di hadapannya, reruntuhan Sekte Bersayap telah menjadi lautan darah beku. Mayat-mayat berserakan, tak berwajah, sebagian tergantung di gerbang suci, sebagian tertancap di tiang bendera sekte yang telah robek. Di tengah semua itu, seorang bocah lelaki berdiri sendirian, tubuhnya dibalut jubah yang terlalu besar. Bocah itu menatap Gohan tanpa berkedip. "Ayah... kenapa kau lama sekali datang?" Gohan gemetar. Bukan karena luka di tubuhnya, tapi karena suara itu. Suara anak itu bukan dari dunia ini, ada gema lain, suara ganda, seakan dua keberadaan menumpang dalam satu tubuh. Dan Gohan belum tahu, yang mana yang berbicara sekarang. Angin membisu. Langit di atas menghitam meski belum waktunya malam. Tanah di bawah kaki Gohan merekah pelan, darah merembes dari setiap retakan tanah, menjalar mendekati ujung sepatunya. Suara pedangnya, Pedang Langit yang dulu turun dari awan saat ia“Tidak...” Langkah Gohan terhenti. Di hadapannya, reruntuhan Sekte Bersayap telah menjadi lautan darah beku. Mayat-mayat berserakan, tak berwajah, sebagian tergantung di gerbang suci, sebagian tertancap di tiang bendera sekte yang telah robek. Di tengah semua itu, seorang bocah lelaki berdiri sendirian, tubuhnya dibalut jubah yang terlalu besar. Bocah itu menatap Gohan tanpa berkedip. "Ayah... kenapa kau lama sekali datang?" Gohan gemetar. Bukan karena luka di tubuhnya, tapi karena suara itu. Suara anak itu bukan dari dunia ini, ada gema lain, suara ganda, seakan dua keberadaan menumpang dalam satu tubuh. Dan Gohan belum tahu, yang mana yang berbicara sekarang. Angin membisu. Langit di atas menghitam meski belum waktunya malam. Tanah di bawah kaki Gohan merekah pelan, darah merembes dari setiap retakan tanah, menjalar mendekati ujung sepatunya. Suara pedangnya, Pedang Langit yang dulu turun dari awan saat ia
"Langit berubah warna saat darah turun dari surga." Desas-desus itu berembus di sepanjang Pegunungan Perawan Tua, tempat Gohan terakhir kali menginjakkan kaki sebelum segel langit terbelah. Dan sekarang, saat ia melangkah kembali ke tanah duniawi, langkahnya terasa lebih berat. Bukan karena beban tubuh, melainkan bayangan bisikan Dewa Terkutuk yang masih menggema di kepala. Langkah pertama Gohan menapaki tanah desa terluar Sekte Bersayap disambut keheningan yang mencekam. Tidak ada suara burung, tak terdengar langkah penjaga, bahkan angin seolah menahan napas. Hanya aroma terbakar dan darah yang masih hangat menelusup ke dalam lubang hidungnya. Ia mempercepat langkah. Setiap bangunan yang dilalui, reruntuhan. Setiap rumah yang sempat jadi pelatihan murid, hanya tersisa arang hitam. Dan halaman pusat sekte itu, tempat bendera bersayap putih biasa berkibar megah, kini hanya tiang patah, bercak da
Langit Zhongtian tak lagi bersinar biru. Awan-awan menggulung kelabu, berputar di atas reruntuhan altar kuno yang baru saja retak karena satu napas Gohan. Tubuhnya gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena kekuatan yang tiba-tiba bangkit dari dalam darahnya sendiri. "Berhenti bernapas, atau dunia akan mati." Suara ibunya, Lian Hua, menggema dari dalam pikirannya. Padahal wanita itu sudah lama meninggal. Gohan menggigit bibir. Ia tak tahu apakah itu suara nyata atau sekadar ilusi dari retakan segel di tubuhnya. Tapi dada terasa terbakar, dan setiap helaan napas membuat tanah di bawahnya semakin bergetar. "Kau... adalah kunci," suara kedua terdengar, berat dan dalam, seperti gaung dari dasar neraka. Tiba-tiba altar kuno itu bersinar. Simbol-simbol kuno mengambang, membentuk huruf-huruf asing yang bercahaya merah darah. Udara mengental. Semua terasa seperti mimpi buruk. Yue Xiulan muncul dari balik puing-puing.
Keringat dingin mengalir dari pelipis Gohan, padahal tubuhnya terbakar seakan dililit api surgawi. Setiap tarikan napasnya seperti mendobrak dunia yang rapuh, seperti menorehkan celah halus pada dinding langit yang tak kasat mata. Ia terbangun di tengah kehampaan, menggantung di udara abu-abu yang sepi, sunyi, dan nyaris tidak nyata. "Di mana... ini?" bisiknya. Tapi suaranya tak menggema. Tak ada dinding. Tak ada langit. Hanya kekosongan yang bergolak pelan, seperti danau hitam yang bernafas. Di kejauhan, sesosok bayangan perlahan membentuk. Wajahnya samar, suaranya lebih seperti gema kenangan daripada suara sungguhan. Namun Gohan mengenalnya seketika. "Ibu...?" Sosok itu tersenyum samar. Tidak muda, tidak tua. Seperti potongan mimpi yang pernah ia tinggalkan dalam tidur-tidur penuh luka. Tapi yang membuat jantung Gohan terhenti bukan karena rindu—melainkan karena kata-kata yang keluar dari bibir itu. "Gohan.
Suara gemuruh dari dalam Makam Tujuh Langit masih terngiang di telinga Gohan. Langkah-langkahnya gemetar di antara bebatuan purba, tempat para dewa lama dimakamkan. Sisa darah di sekeliling jubahnya mulai mengering, menyisakan jejak hitam kemerahan yang tampak membusuk di udara. Namun pikirannya tidak tenang. "Apa maksudnya... darah ini menuntut tebusan jiwa suci?" gumam Gohan pelan, suaranya terpantul oleh dinding batu yang menjulang tinggi. Ia menggenggam Mantel Darah Dewa erat-erat. Mantel itu tak terasa seperti jubah, lebih mirip lapisan hidup yang menempel di tubuhnya, berdenyut mengikuti detak jantungnya. Seketika matanya menangkap cahaya di ujung lorong. Langkahnya dipercepat. Nafas memburu. Ketika ia tiba di ruangan terakhir makam itu, jantungnya serasa berhenti. Di hadapannya, terdapat singgasana. Tinggi, menjulang dari batu hitam dengan ukiran naga bersayap. Di atasnya,
"Buka matamu, Pewaris... atau darahmu akan sia-sia." Suara itu—tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam dada Gohan—menyusup seperti racun lembut. Saat kelopak matanya terbuka, dunia di sekitarnya telah berubah. Ia tidak lagi berada di makam batu dingin, tapi di tengah padang langit ungu, tanpa batas, di mana ribuan lentera merah terapung seperti bintang-bintang yang tersesat. Langkah kakinya terasa ringan, tubuhnya mengambang, jiwanya seolah tercerabut dari raganya. Tapi rasa nyeri dari goresan pedang di dadanya masih nyata. Luka itu belum sembuh. Hatinya belum tenang. Di hadapannya berdiri tujuh bayangan kolosal. Setiap bayangan memiliki bentuk berbeda—ada yang bersayap naga, ada yang membawa pedang langit, satu duduk di singgasana tengkorak, dan satu lagi hanya siluet yang terus berubah bentuk. Tapi semuanya menatap Gohan dengan mata kosong, namun menyala dalam satu warna: merah darah. "Siapa kalian?" sua