Share

Bab 4

"Cari tahu informasi apapun mengenai Davin,” perintah Rose pada orang suruhannya.

Rose yang sudah bangun sejak tadi tidak sengaja mendengar pembicaraan Bagas dan Davin di ruang keluarga. Rose terkejut dan juga marah disaat bersamaan. Terkejut karena ternyata dia sudah pernah bertemu Davin sebelumnya. Marah karena ternyata apa yang dikatakan ibunya mengenai Davin benar. Pria itu tidak ingin menikah dengannya karena telah memiliki kekasih. Tega sekali Davin melakukannya, sementara ia terus menunggu kedatangannya. Setidaknya, jika memang Davin tidak mau menikah dengannya. Dia bisa mendatangi Rose sejak dulu sehingga dia tidak berharap dan memupuk perasaannya sendiri. Rose tidak terima.

"Kayla?" bisik Rose. "Aku harus mencaritahu mengenai wanita itu."

Rose menatap beberapa foto Davin di atas meja panjang. Foto ketika pria itu masih mengenakan seragam SMP hingga sekarang. Rose berjalan mendekat, ia sedikit tersenyum melihat perubahan Davin dari waktu ke waktu. Rose menyadari sesuatu ketika tangannya mengambil salah satu bingkai foto itu. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan, ia senang tapi juga marah.

"Kenapa kamu melakukannya Dav? Tapi ini bukan hanya salahmu. Seharusnya aku langsung menemuimu saat pertama kali nggak lihat kamu di London waktu itu."

Ya, Rose melakukan kesalahan, ia hanya menunggu dan berharap Davin-nya akan datang. Dia tidak mengunjungi Davin ke Indonesia, padahal Davin tidak pernah datang bersama keluarganya. Pria itu selalu memiliki alasan untuk menghindarinya, namun Rose tidak menyadarinya dari awal.

Ceklekk

Mendengar suara pintu dibuka Rose memutar arah kepalanya dengan tangan yang tetap memegang bingkai foto.

"Udah bangun?" Davin masuk dan menghampiri Rose yang berdiri mematung di depan foto-fotonya.

"Udah, baru bangun," bohong Rose dengan senyuman.

"Masih capek?" tanya Davin sedikit kaku.

"Lumayan."

"Kita belum kenalan secara resmi. Ya, meskipun kita temen kecil tapi sepertinya kita banyak berubah," kata Davin apa adanya. "Tapi kita pernah ketemu sebelumnya, kalau kamu masih ingat. Mungkin sekitar..."

"Tiga bulan yang lalu," sela Rose.

"Ya."

"Baiklah, perkanalkan, aku Elza Rose Maharani. Dulu kamu sering memanggilku Rose, kamu marah ketika beberapa orang memanggilku Elza."

Davin tertawa, ia mengingat kejadian itu dengan jelas. Dulu dia yang pertama kali memanggil Rose, seperti bunga mawar katanya dan dia selalu membenarkan ketika ada yang memanggil Rose dengan sebutan Elza.

Davin menjabat uluran tangan Rose. "Aku Davin Rafael Daman, teman kecilmu yang banyak protes."

Kini giliran Rose yang terbahak.

"Aku kaget waktu lihat kamu di sini," kata Davin berterus terang.

"Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Bukan!" sela Davin. "Nggak gitu."

"Aku datang karena kamu nggak pernah mengunjungiku," jawab Rose yang membuat Davin jadi merasa bersalah.

Rose meletakkan bingkai foto yang masih ada di tangannya ke tempat semula, tubuhnya berbalik, membelakangi Davin untuk melihat setiap sudut ruangan itu.

"Apa ini kamarmu?" tanya Rose tanpa menoleh."

"Ya, tapi aku nggak pernah pakek kamar ini sejak setahun yang lalu. Aku udah pindah ke apartemenku."

Jawaban Davin mampu membuat langkah kaki Rose berhenti sejenak. Hatinya panas, ingin sekali Rose berteriak di depan pria itu. Namun, alih-alih melakukannya Rose justru berbalik dan menampilkan senyum terbaiknya di depan Davin. Meskipun Rose tahu alasan perpindahan pria itu karena kekasihnya yang bernama Kayla. Itu pasti.

"Kenapa pindah?" tanya Rose.

"Karena... Ros, sebenarnya ada yang mau aku omongin."

"Tentang apa?" tantang Rose.

Rose ingin melihat keberanian Davin di depannya. Dia ingin melihat kejujuran pria itu.

"Ah, mungkin lain kali."

Rose tersenyum mengejek, ternyata Davin benar-benar berubah. Dulu Davin tidak pernah berbohong padanya. Sepertinya Rose harus tinggal lebih lama di Indonesia, ia ingin mengenal Davin lebih dalam.

"Ah, sepertinya aku sudah mengganggu istirahatmu. Kamu pasti masih lelah karena perjalanan jauh. Kamu bisa tidur di sini."

"Ya."

Davin berlalu meninggalkan Rose di kamarnya, namun saat akan melewati daun pintu pria itu kembali menoleh, menatap punggung Rose yang bersiap akan istirahat kembali.

"Ros, kalau kamu udah nggak capek, aku mau ajak kamu jalan-jalan."

"Okay, kutunggu janjimu," kata Rose sambil tersenyum.

Rose dan caranya menunggu, seperti katanya barusan. Dia akan terus menunggu janji Davin. Meskipun kenyataannya, dia terluka dalam penantiannya.

***

Sore ini sesuai janjinya, Davin mengajak Rose mengunjungi taman mini  Indonesia Indah yang terletak di Jakarta Timur. Sebuah taman yang ternyata tidak mini sama sekali.

"Apa tadi namanya?" tanya Rose yang sedang berjalan di samping Davin.

"Taman Mini Indonesia Indah," jawab Davin.

"Ini nggak mini sama sekali Dav."

"Aku juga pernah memikirkan itu dulu."

"Aku belum pernah ke sini sama sekali," tutur Rose.

"Ya, kamu pindah ke London di usia tujuh tahun dan nggak pernah balik lagi ke sini."

"Kenapa aku merasa kamu seolah ngomong. Aku kangen kamu Ros." Rose menatap Davin kemudian tersenyum.

"Pede, aku nggak ngomong gitu ya."

Rose yang semula merasa senang langsung teringat tentang perkataan Davin tadi pagi. Ya, pria itu tidak pernah merindukannya, tidak seperti dirinya yang bahkan hampir setiap hari memimpikannya.

"Ah, kayaknya emang aku yang kepedean." Rose menutupi perasaannya. "Kamu harus sering ngajak aku jalan Dav. Kalau bisa keliling Jakarta."

"Emang kamu sampai kapan di sini?"

"Sebulan, dua bulan, aku juga nggak tahu. Tapi aku mau menetap di sini. Kamu udah tahu rencanaku kan?"

"Hah? Belum." Davin terkejut mendengar jawaban Rose. Dia pikir wanita itu hanya akan berlibur selama satu atau dua minggu saja.

"Kalau gitu, aku kasih tahu kamu sekarang. Jadi kamu harus jadi tour guide-ku selama aku di sini."

"Ros..."

"Gratis kan?" Rose tidak membiarkan penolakan keluar dari mulut  Davin.

"Ya, tentu."

Rose langsung berjalan mendahului Davin yang masih berpikir di tempatnya.

"Dav," panggil Rose.

"Ya?"

"Ayo!" ajak Rose.

Davin berjalan mengikuti Rose, berusaha menyamai langkah wanita itu. Mereka berjalan dalam diam. Rose dengan kemenangannya, sementara Davin masih dengan kebimbangannya. Bingung, antara harus mengatakan pada Rose mengenai Kayla atau tetap diam dan berusaha mengenal wanita itu. Jujur saja, Davin khawatir akan menyakiti hati Rose ketika wanita itu tahu tentang Kayla.

***

Rose yang penasaran dengan museum di taman mini tersebut meminta Davin mengantarnya ke sana.

"Emang tempatnya nggak pernah sepi ya Dav?"

"Iya. Kamu nggak suka keramaian?"

"Nggak terlalu sih," jawab Rose. "Kalau kamu?"

"Kalau aku sih malah suka yang rame. Nggak rame nggak seru."

Rose terus mengajak Davin bicara, ia sudah memutuskan untuk lebih mengenalnya.

Tiba-tiba ada dua anak kecil yang sedang berlarian di samping mereka dan hampir saja menabrak Rose jika Davin tidak menarik tubuh wanita itu. Davin menarik tubuh Rose hingga memeluknya.

"Hati-hati ya dik," kata Davin sedikit kesal. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya pada Rose yang masih berada di pelukannya.

"Hah?" Rose sempat terdiam beberapa saat karena jantungnya yang tetiba berdetak cepat. "Nggak pa-pa,"

Davin melepaskan tangannya pada pinggang Rose, ketika mendengar dering ponselnya sendiri. Sebuah panggilan dari Kayla.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status