Like, komen, and share. Update Senin-Jum'at, kalau rajin Sabtu dan Minggu juga update. Terimakasih sudah membaca cerita ini, pantau terus sampai akhir ya.
Tidak ada reaksi dari Fikri membuat Sukma jadi kebingungan, ia ingin sekali mendekat dan melihat reaksi pria itu yang mungkin saja terlalu syok dengan apa yang dikatakannya barusan. 'Gue salah, ya?' batinnya sambil meringis. 'Harusnya gue nunggu waktu yang tepat, seenggaknya sampe gue baikan sama Fikri.' Di detik ini, Sukma mulai merasa menyesal. Meski sangat penasaran, harusnya ia membicarakan hal sepenting itu dalam keadaan tenang. Raut wajahnya mulai tidak karuan, ingin meminta maaf namun egonya menghalangi. "I-itu...," Sukma terlihat merasa amat bersalah. "I-itu mu-mungkin aja saya salah lia...." "Kamu nggak salah liat," Fikri menghela nafas, berbalik dan menatap Sukma dengan wajah yang terlihat biasa. Sukma amat terkejut, karena berbanding dengan reaksi Fikri berbanding dengan perkiraannya. 'Dia sama sekali nggak nyangkal dan malah kelihatan biasa aja?' berarti yang Sukma bertanya-tanya, matanya melongo menatap Fikri yang terlihat menghela nafas sekali lagi. "Ka-kamu...?"
"Ha~, lembur dadakan," oceh Sukma begitu turun dari mobil online pesanannya. Tidak seperti biasanya yang lebih senang menggunakan ojek online karena harganya lebih bersahabat, malam ini Sukma terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk memesan mobil online karena ia sangat kelelahan. Padahal jam baru menunjukan pukul 09.00 malam, namun Sukma terlihat seperti karyawan yang melakukan kerja lembur sampai tengah malam. Saat hendak naik lift, Sukma begitu terkejut karena melihat Fikri juga memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Sukma segera membenarkan posisinya berjalan, lebih tegak dan tidak loyo seperti sebelumnya. Seperti tidak melihat apapun, Fikri mengabaikan keberadaan Sukma yang berdiri di sampingnya. Begitupun dengan Sukma, ia mencoba mengabaikan Fikri sampai keduanya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang tengah dengan santai. Sampai sesuatu membuat Sukma penasaran, sebuah tanda merah yang jelas terlihat sekilas oleh ekor matanya. Sebuah tanda merah yang menarik perhatiann
"Ada apa lagi?" tanya Chintya dengan wajah lemas, kala menemukan Sukma menatap komputernya dengan tatapan kosong. Tentu saja tidak ada jawaban dari temannya itu, ia terlalu sibuk dengan pemikirannya hingga tidak bisa mendengar apapun suara yang datang dari luar. Selama beberapa hari ini, Sukma merasakan kosong. Meski sudah memiliki suami, ia merasa hidup sendiri. Kadang, rumah yang ia tinggali terasa seperti berhantu. Sukma bahkan sampai menggulung selimut sampai ke kepalanya kala mulai merasakan perasaan aneh, seperti melihat bayangan di jendela atau merasa ada suara yang datang begitu saja. Alhasil, ia jadi tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisi rumahnya sangat berbeda saat ada Fikri, meski keduanya tidur terpisah, namun Sukma merasa aman dan tidak merasakan ada hal yang menakutkan. "Ha~" Kembali terdengar helaan nafas, membuat Chintya berdecak dan mendekat ke meja Sukma. "Woi! Udah jam makan siang nih, jangan bengong aja!" Sukma tersentak, hampir saja terlonjak karena saking
Seorang gadis dengan pakaian sederhana, begitu terkejut saat merasakan sebuah tangan menggenggamnya dari belakang. Begitu menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi dengan perawakan yang diidamkannya, kulit mulus, senyum senantiasa terpancar di wajahnya.Pria itu menatap Sukma dengan penuh kasih, membelai pipinya lembut, kemudian mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang. Sukma hanya diam, ia bingung dengan adegan yang sedang dilakukannya. Ia tidak kenal pria itu, namun sudah beberapa hari ia bertemu dengannya dan melakukan adegan sama... dalam mimpinya.Ada rasa nyaman saat tangannya digenggam pria itu, Sukma tersenyum. Keduanya berjalan beriringan menuju sebuah tempat yang tidak terlihat, dipenuhi cahaya menyilaukan membuat Sukma memejamkan mata.Lalu saat matanya terbuka, cahaya lampu kamar temaram menyambutnya. Sukma mengerang, mengedarkan pandangan ke sekitar.Ia menghela nafas, merasa kecewa. "Mimpi itu lagi," gumamnya sambil memegang dadanya yang terasa sakit.
“Haa~aaah.” 'Mulai lagi,' batin Sukma saat mendengar ibunya mengeluh panjang. “Punya anak perawan, kerjaannya cuma tiduuur seharian. Gimana mau dapet jodoh, kalo kerjaannya cuma rebahan.” Seperti biasa, omelan sang ibu membuat Sukma mendelik. “Jodoh itu udah ada yang ngatur, Bu. Lagian kan hari ini memang libur, jadi wajar dong kalo aku nggak kerja dan cuma rebahan.” Sang ibu yang tengah sibuk di dapur membuat kue, mendelik ke arah anaknya yang berada di ruang tengah. “Tetep harus diusahain, kalo kamu nggak gerak, ya nggak bakal dateng tuh jodoh.” Mata Sukma berputar jengah. “Anak Bu Lia dapet jodoh tuh, walau nggak gerak.” “Karena dijodohin,” balas ibunya cepat membuat Sukma langsung menghela nafas lelah. “Kalo gitu kamu harusnya mau Ibu jodohin sama anaknya temen Ibu.” “Kenapa tiba-tiba bahas soal jodoh jodohan,” kesal Sukma yang langsung merubah posisinya menjadi duduk. Tidak bisa dipungkiri, saat membahas soal jodoh, darah Sukma jadi naik hingga ke ubun-ubun. “Memangnya
Sukma mengusap wajahnya beberapa kali, matanya menatap lurus ke depan memandangi dedaunan yang jatuh dan terinjak oleh pejalan. Meski taman sore itu terlihat cukup ramai, namun ia tidak bisa mendengar suara apapun selain ucapan Hanan saat di cafe tadi. Gue mau tunangan sama Sisil, doain ya biar lancar sampai hari pernikahan. 'Oh, shit!' Jerit Sukma yang hanya bisa dituangkan dalam hatinya. Ia mengerang kesal, membuat beberapa pasang mata menatapnya dengan bingung. "Padahal gue udah berharap banget, kenapa tiba-tiba Hanan tunangan sama Sisil?" gerutunya sambil memeluk lutut, Sukma tengah duduk di salah satu kursi taman itu. "Sisil? Dia itu siapa sih, gue aja nggak kenal. Padahal selama di kantor, kayaknya dia udah kelihatan suka banget sama gue, tapi kenapa tiba-tiba udah mau tunangan aja. What the hell!" cerocosnya, ia sudah tidak peduli lagi jika ada orang lain yang mendengar ocehannya itu. Sukma mendengus kesal, mengacak rambutnya asal. Para pejalan yang kebetulan tengah melewat
“Bu, aku keluar ya!” seru Sukma sambil menuruni tangga, ia sudah mengenakan jaket dan kaos oblong serta celana olahraga. “Mau kemana? Udah malem,” balas sang ibu yang langsung beranjak ke luar rumah dan menghampiri Sukma yang tengah mengenakan sandal. “Mau jajan, Ibu mau nitip?” Sejenak ibunya terdiam, kemudian tersenyum. “Boleh deh, minyak, tepung, sama gula ya. Udah pada abis.” Dahi Sukma mengerut. “Kan aku bilang mau jajan, bukan ke warung. Nitip yang bisa dimakan kek,” kesalnya. “Itu juga bisa dimakan, udah ah.” Sang ibu kembali masuk ke dalam, membuat Sukma mendengus dan beranjak begitu saja dengan raut tidak mengenakan. 'Udah dibilang mau jajan, malah nitip begituan. Jadi harus ke warung juga,' batinnya kesal. Untuk meredakan kekesalan di hati, makan memang solusi terbaik. Ada banyak pedagang di daerah tempat tinggal Sukma, sehingga ia tidak perlu repot pergi jauh jika hanya untuk membeli jajanan. Mulai dari pedagang cemilan populer hingga jadul, berjejer rapi di sekita
“HAH?!” Fikri mengelap wajahnya membuat Sukma sadar jika air yang ada di mulutnya telah keluar dan menyembur tepat ke wajah pria itu. “Ah, maaf, maaf!” paniknya seraya mengambil tisu, mencoba membersihkan sisa air yang masih menempel di wajah Fikri. Namun sebelum tangannya menyentuh wajah Fikri, pria itu mengisyaratkan agar Sukma kembali duduk. Ia mengelap sendiri wajahnya dengan tisu, kemudian kembali menatap Sukma dengan tenang. Wajah Sukma terlihat sangat bersalah, namun ia duduk kembali sesuai dengan apa yang diminta oleh Fikri. “Jadi apa jawaban kamu?” Tidak ada jawaban, Sukma terlihat begitu bingung dengan pertanyaan itu. Otaknya masih melayang pada semburan air dari mulutnya yang mengenai wajah pria tampan di hadapannya, Sukma benar-benar merasa bersalah. Karena tidak mendapat jawaban apapun, Fikri menjentikan jarinya beberapa kali di hadapan Sukma. “Hah? A-ah, apa?” Sukma bereaksi agak lama. “Jadi,” Fikri menghela nafas. “Apa jawaban kamu?” tanya pria itu sekali lagi,