LOGINAyu masih membeku. Pesan anonim itu seperti tamparan yang dingin dan keras, memaksanya kembali ke realitas yang menakutkan.
Rangga mengernyitkan dahi. "Ayu, kamu dengar aku? Kenapa tiba-tiba diam?" Ayu menarik napas, berusaha agar suaranya terdengar normal. "Aku... aku enggak apa-apa, Sayang. Cuma kaget saja tadi ada suara aneh di luar," bohongnya, suaranya tercekat. "Suara aneh? Ah, mungkin suara angin, Sayang." "Sudah, kamu istirahat ya. Mungkin kamu berhalusinasi karena capek. Aku matikan videonya, Love You," ucap Rangga sembari menenangkan Ayu. "Iya, Sayang. I love you more," balas Ayu dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ayu cepat-cepat meraih selimut dan menutup tubuhnya hingga leher. Rasa panas karena gairah tadi kini berubah menjadi rasa panas karena malu dan panik. Kamu cantik malam ini, Ayu. Jangan matikan panggilannya... aku sedang menikmati. Kata "menikmati" itu menusuknya. Itu artinya, orang ini sudah menyaksikan keseluruhan obrolan intim mereka. Sejak ia mulai menggoda Rangga, sejak ia melepaskan pakaiannya satu per satu hingga telanjang, ketika ia mencapai puncak kenikmatan. Pikiran itu membuat perutnya mual. Pesan misterius itu membuat Ayu terjaga hingga larut malam. Ayu terus berputar gelisah di atas tempat tidurnya, sebelum akhirnya dapat memejamkan mata. Dalam tidurnya pun rasa panik dan diawasi terus menghantuinya. Ketika pagi datang, Ayu merasa kepalanya sakit bukan main. Pikiran yang bercabang menyebabkan tidurnya tak nyenyak. Tetapi tentu saja dunia tidak akan menunggunya. Ia harus kembali bekerja meski terus merasa diawasi. “Kartu akses, dompet, handphone…,” Ayu bergumam saat hendak keluar dari unit apartemennya. Ia mengunci pintunya rapat-rapat, memastikan berkali-kali dengan begitu gelisah. Tetapi sepertinya dunia seolah tak memberinya celah untuk tersenyum, sebab pemandangan di depan mata memaksa Ayu menghela napasnya. LIFT SEDANG DIPERBAIKI. SILAKAN MELALUI TANGGA DARURAT. “Duh!” Ayu menggerutu sambil membawa langkahnya menuju pintu tangga darurat. Begitu sampai, Ayu menyusuri tangga dengan terburu-buru. Ia percepat tiap langkahnya. Ketika akan memijakan kaki di anak tangga terakhir di lantai 3, seseorang membuka pintu tangga darurat itu dan membuat Ayu tersentak sehingga kehilangan keseimbangannya. Kakinya terkilir dan Ayu jatuh di hadapan orang itu, yang tak kalah terkejutnya. “Ayu!” Ayu mendongak. Suara itu tak asing di telinga. “Daniel?” Daniel, pria yang tengah berdiri tegak di hadapannya. Daniel adalah teman Ayu semasa kuliah yang juga sahabat dekat Rangga. Kini mereka tinggal di apartemen yang sama, namun Daniel tinggal di lantai 3, sedangkan Ayu dan Rangga tinggal di lantai 6. Daniel jugalah orang yang dipercaya Rangga untuk menolong Ayu jika terjadi apa-apa ketika Rangga sedang jauh. Perawakannya sempurna, tinggi, bahu lebar, dengan wajah yang benar-benar tampan. Matanya yang tajam dan senyumnya yang tenang selalu memberinya aura menenangkan. Ayu berkedip beberapa kali melihatnya sebelum rasa sakit di pergelangan kaki menyita fokusnya kembali. “Kamu enggak apa-apa, Yu!?” suaranya menggema di dalam ruang tangga darurat. “Astaga, biar aku bantu.” Daniel meraih lengan dan pinggang Ayu, membantunya duduk untuk membuat Ayu dalam posisi nyaman. “Agak … sakit,” Ayu berujar lirih. “Ini bengkak, Ayu,” Daniel memegang pergelangan kaki Ayu, membuatnya sedikit terperanjat. “Aku minta maaf, gak sengaja buka pintunya terlalu kencang.” Ayu meringis menatap Daniel. “Gak apa-apa.” Daniel memerhatikan pakaian formal Ayu, lalu kembali menatap wajah wanita itu. “Kamu mau berangkat kerja?” Ada nada khawatir dan rasa bersalah yang terselip di suaranya. “Kamu kuat? Aku antar ya, Yu?” Ayu menggeleng. “Eh, nggak usah, Niel! Aku masih bisa jalan kok.” “Bahaya, Yu. Udah enggak apa-apa, aku antar, ya,” Daniel memandangi Ayu untuk beberapa saat sebelum akhirnya memutar tubuh dan menawarkan lagi. “Naik, Yu. Aku gendong aja.” “Digendong? Enggak usah, Niel, aku bisa....” "Ssst. Aku enggak mau ambil risiko kakimu makin parah. Naik,” pinta Daniel. Ayu akhirnya menurut. Ia memeluk leher Daniel, dan Daniel mengangkatnya dengan mudah. Posisi itu membuat tubuh mereka menempel erat. Meski tertutup kemeja kerjanya, Ayu dapat merasakan jantungnya berdebar dan bulu-bulu di tubuhnya yang naik ketika payudaranya menempel ke punggung Daniel yang bidang. Ayu pikir sudah lama sekali ia tak bersentuhan dengan seorang laki-laki pasca ditinggal jauh oleh Rangga. Pikirannya lantas langsung teringat pada malam-malam ketika Rangga tidak mengangkat teleponnya, ketika suaminya itu terlalu sibuk untuk berhubungan jarak jauh. Ayu akan berdecak kesal sambil mulai menyentuh dirinya sendiri. Ia juga paham bahwa tendensi kecanduan seksual yang ia miliki cukup mempersulit diri ketika suaminya tidak ada dalam genggaman jarak. Namun, Ayu harus puas dengan apa yang mereka miliki sekarang. Pertanyaan Daniel menyentak Ayu dari lamunannya dan kembali fokus. Ayu menggeleng pelan menyadari pikirannya yang mulai melenceng. "Kenapa tadi terburu-buru, Yu? Wajahmu juga agak pucat. Kamu sakit?” Ayu tertegun. Apa kepanikan di wajahnya terlalu kentara hingga Daniel menyadarinya? Namun, Ayu diam enggan bicara. Pikirannya mulai bercabang. Di tengah hasrat yang terus menghantui dan kegelisahannya mengenai seseorang yang memantaunya, Ayu tidak yakin apabila bercerita kepada Daniel adalah pilihan yang tepat. Akan tetapi, Ayu juga menimbang-menimbang tentang bagaimana Daniel yang telah banyak membantunya ketika Rangga sedang jauh. Tersadar akan pertanyaan yang diabaikan, Ayu pada akhirnya memecah hening dengan bercerita. “Aku … diintip,” Ayu memulainya. Ia mulai bercerita tentang teror chat dan video call dengan Rangga yang ia lakukan tadi. Bagi Ayu dan Rangga, Daniel itu sudah bukan lagi orang asing sehingga mereka berdua tidak segan untuk curhat. Tetapi dengan segala pertimbangan, akhirnya tadi Ayu berani mencurahkan kegelisahannya walaupun ini adalah perkara yang intim. Daniel mendengarkan dengan serius, sambil melangkah dengan hati-hati. "Itu namanya cyberstalking, Yu. Pertama, jangan panik, itu yang dia mau. Kedua, jangan pernah dibalas atau dihubungi balik. Langsung blokir, ya. Ketiga, ganti semua kata sandi akunmu, dan pastikan semua akun media sosialmu diatur privat. Kalau terornya makin parah, kita lapor polisi, nanti aku bantu," saran Daniel dengan suara tegas dan meyakinkan. Ayu menghela napas lega. "Iya, Niel. Makasih banyak, ya. Aku jadi agak tenang sekarang." Ketika tiba di parkiran, Daniel membantu Ayu naik ke atas motor. Ayu sempat menangkap mata Daniel yang memandangi wajahnya, namun cepat ia hiraukan itu. “Pegangan, Yu,” kata Daniel sebelum mengendarai motornya dengan hati-hati. Setelah menerjang macet dan debu kota, Daniel menghentikan motornya tepat di depan gedung kantor Ayu. Ia juga membantu Ayu turun dari motor, juga menggandeng tangannya sambil berjalan hingga mendekati pintu masuk. "Oke, sudah sampai. Kalau bisa, langsung kompres pakai es atau oleskan salep, ya. Dan jangan terlalu dipaksa jalan, Yu," kata Daniel. "Iya. Makasih banyak, Daniel," ucap Ayu tulus. Daniel memperhatikan Ayu sekali lagi sebelum berbalik untuk kembali ke motornya. Kemudian Ayu melihat itu: Daniel yang menoleh sesaat dan tersenyum. Ayu harus akui itu adalah senyum yang tampan, tetapi Ayu menangkap sesuatu yang ganjil. Senyum itu terlalu lebar dan matanya tampak bersinar aneh. Ah, mungkin cuma karena aku yang sedang panik dan kelelahan, pikir Ayu, sambil mencoba menenangkan diri. Ketika Ayu melihat Daniel sudah mengenakan helm, Ayu cepat-cepat berjalan dan membuka pintu masuk gedung kantornya dan berusaha melupakan senyum aneh Daniel.Setelah hari itu, selama tiga hari, Ayu tidak lagi merasa diawasi. Tidak ada pesan-pesan misterius di ponselnya dan tidurnya bisa kembali nyenyak. Selama tiga hari pula Ayu dan Rangga tidak melakukan panggilan video untuk memuaskan hasrat mereka. Entah apa alasan Rangga untuk menghentikan hubungan intim itu terlebih dahulu. Meski demikian, Ayu menjadi sedikit frustasi akibat nafsu yang tak terpuaskan. Selain itu…, Ayu juga tidak berhenti memikirkan Daniel. Kadang suara berat Daniel di hari itu terus menyapa telinganya, membuat Ayu teringat apa yang hampir mereka lakukan. Membayangkannya membuat wajah Ayu memanas. “Sial…,” Ayu menghela napas sambil mengusap wajahnya. Ada rasa bersalah yang terus menghantui Ayu tanpa henti. Potret dirinya dan Rangga yang tersenyum bahagia menghiasi beberapa titik di ruangan kamar seolah menjadi saksi atas lakuannya hari itu. Ayu merasa kacau dan malu. Di tengah dilemanya, Ayu tetap menjalankan rutinitas sehari-harinya. Bekerja, pulang l
Ayu refleks melempar ponselnya jatuh, lalu ia dengan cepat meringkuk dan menarik selimut untuk melilit tubuhnya. Kepalanya berputar cepat, seolah mencari-cari seseorang yang mungkin bersembunyi di dalam apartemennya. Jantung Ayu berdebar kencang. Tubuhnya gemetar. Jelas-jelas ia sudah memblokir nomor asing itu, mengikuti perintah Daniel. Namun, kini orang itu kembali menghubunginya dengan nomor yang berbeda dan lebih parah. Tangannya gemetar saat berusaha menjangkau ponselnya yang tergeletak di atas karpet. Susah payah Ayu mencari kontak Rangga, padahal kontak Rangga ia sematkan di paling atas. Ayu tempelkan ponsel itu ke telinga, menunggu Rangga mengangkat teleponnya, namun suaminya itu tidak kunjung menerima panggilan Ayu. Sampai panggilan keenam, suara serak Rangga di ujung terdengar. “Halo? Rangga …,” Ayu menghela napas. Suaranya terdengar begitu payah dan Ayu yakin Rangga dapat merasakannya. “Ay? Sayang?” suara Rangga tiba-tiba terdengar panik. “Kenapa, Ay? Kenapa sua
Sore itu, setelah melewati hari yang terasa begitu panjang dan pulang kembali ke apartemennya, Ayu sekarang tengah memijat-mijat kakinya sambil berbaring di atas kasur. Kaos polos dan celana pendek telah menempel pada tubuhnya setelah berganti baju selepas pulang kerja. Tak lama, ponsel Ayu berdering. Panggilan dari Rangga. Ah, ia lupa mengabari pada Rangga bahwa ia terjatuh tadi karena terlalu sibuk bekerja, lagipula Rangga juga pasti sibuk bekerja tadi. “Sayang, kakimu terkilir? Tadi Daniel cerita,” Rangga terdengar khawatir. “Aku tadi jatuh, tapi udah enggak terlalu sakit,” Ayu menjelaskan keadaannya sambil memijat-mijat pergelangan yang masih sedikit nyeri. Mendengar penjelasan sang istri, Rangga dapat menghela napas lega. “Syukurlah tadi ada Daniel. Kamu tau, ‘kan, Ay? Daniel itu fisioterapis, dia ahli pijat dan urut. Aku sudah memintanya untuk datang ke tempatmu. Biar kakimu dipijat saja, supaya cepat sembuh.” Ayu terkejut, meskipun Daniel sahabat mereka, tetapi men
Ayu masih membeku. Pesan anonim itu seperti tamparan yang dingin dan keras, memaksanya kembali ke realitas yang menakutkan. Rangga mengernyitkan dahi. "Ayu, kamu dengar aku? Kenapa tiba-tiba diam?" Ayu menarik napas, berusaha agar suaranya terdengar normal. "Aku... aku enggak apa-apa, Sayang. Cuma kaget saja tadi ada suara aneh di luar," bohongnya, suaranya tercekat. "Suara aneh? Ah, mungkin suara angin, Sayang." "Sudah, kamu istirahat ya. Mungkin kamu berhalusinasi karena capek. Aku matikan videonya, Love You," ucap Rangga sembari menenangkan Ayu. "Iya, Sayang. I love you more," balas Ayu dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ayu cepat-cepat meraih selimut dan menutup tubuhnya hingga leher. Rasa panas karena gairah tadi kini berubah menjadi rasa panas karena malu dan panik. Kamu cantik malam ini, Ayu. Jangan matikan panggilannya... aku sedang menikmati. Kata "menikmati" itu menusuknya. Itu artinya, orang ini sudah menyaksikan keseluruhan obrolan intim mereka. Sejak i
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Ayu duduk di ruang tamu yang hening. Di seberang meja, layar laptop menyala, memancarkan wajah Rangga dengan senyuman khasnya yang hangat. Saat ini, Rangga tengah berada di Perth untuk menjalankan tugas perusahaan memimpin proyek luar negeri. Di sana, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Enam bulan sudah sejak kepergian Rangga ke Australia, yang membuat mereka terpisah jarak ribuan kilometer."Gimana harimu tadi, Sayang? Aku lihat foto steak yang kamu kirim. Enak, ya?" tanya Ayu sambil menyeruput teh hijau melati hangat favoritnya. Rangga tertawa. "Lumayan sih, tapi rendang daging buatanmu tetap juara, Sayang. Di sini semua serba keju, aku bosan." Mereka mengobrol ringan tentang urusan kantor, hal-hal yang terjadi seharian, dan janji kapan Rangga bisa pulang. Tapi, di balik obrolan itu, ada ketegangan yang tidak asing. Selama enam bulan ini, sesi video call adalah ritual bagi mereka. Bukan hanya untuk saling bertukar kabar, tetapi juga untuk pele







