"Maaf Nyonya .. tapi ini berkaitan dengan posisi saya di hotel ini, jadi saya ...."
"Tolong saya Tuan Ankara.. saya bisa menjamin keamanan Anda. Saya mohon..."Tak ada cara lain yang bisa Maudy lakukan selain memohon kepada si manajer. Ia tahu jika dahulunya Tuan Ankara telah menjalin hubungan yang baik dengan suaminya."Baiklah ..."Suara Tuan Ankara seperti oase bagi Maudy. Kedua tangan mungilnya menggenggam tangan Tuan Ankara dan mengucapkan terima kasih.Ia sangat bersyukur bahwa Tuan Ankara merupakan rekan baik suaminya. Namun Maudy lebih bersyukur jika kasus kecelakaan suaminya terungkap dan Bima dijebloskan masuk ke penjara. Itu saja.Sehabis menemui manajer Hotel Raffles, Maudy memutuskan untuk melihat lokasi kejadian kecelakaan suaminya, Arga. Sebuah ruangan VVIP yang biasanta hanya disewakan untuk acara-acara penting pejabat.Terlihat dari pintunya yang mewah bergaya klasik dan warna-warna kontras emas yang digunakan telah menambah kemegahan ruangan itu.Satu langkah kakinya mencoba masuk. Tidak ada apa-apa selain bau keputusasaan dan rasa dendam yang berkali-kali membebani dirinya.Sambil melihat ke luar jendela besar, Maudy melongok ke bawah."Tinggi sekali .. bagaimana kau bisa jatuh dari tempat setinggi ini? Apa ada yang mendorongmu jatuh suamiku?" tanyanya pada diri sendiri.Tanpa sadar sudut matanya berair. Ia menangis sambil sesekali meninju dinding pertanda kesal dan marah."Aku akan membalaskan dendammu Arga .. laki-laki jahat itu akan mendapatkan balasan yang setimpal. Percayakan padaku."Dalam keputusasaan itu Maudy tetap akan mengusahakan apa pun demi membalaskan dendam kepada Bima."Agenda selanjutnya adalah bertemu dengan pengacara pilihan Bredy," ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan hotel itu.**Telepon dari Bredy berkali-kali masuk namun Maudy lebih ingin fokus menyetir. Hingga akhirnya ia sampai di depan perusahaan suaminya, Argawica Group."Sudah lama aku tidak menginjakan kaki di gedung ini sebagai diriku sendiri, Maudy istri dari Arga."Langkah kakinya dengan pasti memasuki kerajaan dari suaminya yang merupakan salah satu CEO di perusahaan yang sekarang kepemimpinannya dialihkan kepada Bredy.Tak ada yang berubah kecuali semakin ramainya aktivitas lalu lalang para investor yang mulai tertarik dengan Argawica Group.Maudy berjalan memasuki ruang kerja suaminya yang sudah lama dibiarkan kosong. Tersimpan banyak memori antara ia dan suaminya dahulu di ruangan itu."Selamat siang Nyonya ..." Bredy dengan sigap memberi salam kepada Maudy dan mempersilakannya duduk.Tak lupa dengan pengacara yang langsung berdiri menyalami Maudy sambil memperkenalkan dirinya."Selamat siang Nyonya Maudy .. perkenalkan saya Abraham," sapa si pengacara sambil menyalami Maudy.Terlihat Bredy tampak berkali-kali mengamati Maudy seperti menemukan sesuatu yang aneh padanya."Kenapa Bred? Apa ada yang salah denganku?" Maudy yang menyadari hal itu pun langsung saja menanyakannya."Ah tidak Nyonya .. hanya saja Nyonya Maudy terlihat sedikit berbeda." Bredy sedikit menundukan wajahnya karena tak enak telah mengatakan hal itu kepada Maudy.Mendengar perkataan Bredy membuat Maudy menyadari sesuatu. Rambut fuchsia yang ia sembunyikan dengan wig berwarna hitam ternyata tetap tidak dapat mengembalikan penampilannya seperti Maudy yang dulu."Ah begitu ya? Haha .. mungkin karena aku kesulitan karen belum bisa mengungkap kasus suamiku.""Omong-omong bagaimana kondisi Tuan Arga di sana? Apakah beliau baik-baik saja?" tanya Bredy yang tak sabar mendengar jawaban dari Maudy.Maudy melirik sebentar ke arah si pengacara yang terlihat juga menyimak pertanyaan dari Bredy."Baik .. suamiku kondisinya tentu saja baik jadi tidak usah khawatir. Dan kabar baik lainnya adalah aku mendapatkan bukti baru untuk memperkuat penyelidikan ulang kasus kecelakaan suamiku."Dengan bangganya Maudy mengeluarkan flashdisk ke depan Bredy dan si pengacara."Aku ingin masalah ini diusut sampai tuntas karena ada seseorang yang aku curigai dan memang benar dia orangnya."Bredy mematung tak percaya dengan perkataan Maudy."Maksud Nyonya petinggi perusahaan sebelah itu?" tanya Bredy.Maudy mengangguk. Terlihat wajah bingung Bredy dan si pengacara.Mereka keheranan dan tidak menyangka jika Maudy mengambil banyak peran dan effort untuk kasus ini.**Senyum cerah menghiasi wajah Maudy. Perasaan gelisahnya perlahan luntur bersamaan dengan diterimanya laporan penyelidikan ulang di kantor polisi.Ia telah mempertaruhkan segalanya. Oleh karena itu ia tidak boleh gagal.Di depan layar laptopnya ia masih terus mencari tahu keberlangsungan perusahaan Bima. Sejak benerapa menit laporan penyelidikan ulang itu diterima, dalam sekejap juga langsung bermunculan artikel dan berita mengenai Bima."Awal yang bagus!" soraknya kegirangan.Berkali-kali Maudy mencoba untuk menenangkan dirinya dan jangan terlalu gegabah. Rencananya belum selesai.Tak berapa lama setelah ia berniat untuk makan malam, bel apartemennya berbunyi. Dahi Maudy berkerut, bertanya-tanya siapa yang mengunjunginya. Karena apartemennya yang satu ini tidak banyak yang tahu dan hanya beberapa orang saja.Ting .. Tong ..Bunyi bel dipencet berkali-kali membuat Maudy mau tak mau harus membukakannya. Namun terlebih dahulu dirinya melihat dari monitor keamanan dan hanya gelap, seperti sengaja ditutupi oleh sesuatu."Siapa ya?" Maudy membukakan pintu dan terlihat sosok Bima dengan pakaian yang serba tertutup lengkap dengan masker dan topi itu berdiri di depan Maudy.'Benar .. laki-laki ini pernah mengantarku pulang, dia mengetahui alamatku.' batinnya."Ada apa? Kenapa tiba-tiba datang? Kan sudah aku bilang agar ja-"BRUK.Bima yang sempoyongan langsung terjatuh. Maudy dapat mencium dari baunya jika Bima sangat mabuk dan hampir tidak sadarkan diri.'Merepotkan saja!'Dengan susah payah ia berusaha mengangkat badan Bima ke atas sofa ruang tamunya. Entah apa yang ada dipikirannya, Maudy hanya ingin melihat Bima hancur namun ia juga tidak ingin Bima datang kepadanya seperti ini."Sialan! Semuanya sialan! Awas kau Arga! Aku akan mencarimu dan membuatmu tidak akan pernah bangun lagi! Selamanya!" teriak Bima secara tiba-tiba.Maudy sudah mengepalkan tangannya, bersiap untuk menghabisi laki-laki brengs*k ini. Namun lagi-lagi akal sehatnya kembali. Ia tidak boleh bertindak gegabah.Maudy merapatkan posisinya di sebelah Bima. Menggenggam tangannya untuk memperlihatkan jika ia peduli. Walaupun dalam hatinya tentu saja berbanding seratus delapan puluh derajat."Arga? Siapa dia?"Bima bergumam tak jelas mengatakan apa. Dia justru menarik badan Maudy agar berada di pelukannya."Dia manusia brengs*k! Bukan .. di
"Jika kau memang lajang .. menikahlah denganku Maudy!"Kedua tangan Bima mencengkeram erat bahu Maudy, menggoncangkannya agar Maudy menuruti apa yang ia mau.Maudy langsung tersadar jika ia tidak boleh lengah. Permintaan gila dari Bima itu harus ditolaknya dengan banyak alasan yang logis.Bagaimana pun juga ia harus tetap mendapat kepercayaan dari Bima agar semua sisi buruk Bima dapat ia korek lebih dalam."Aku akan menepis berita fitnah itu dan mengembalikan kejayaan perusahaanku .. juga nama baikku," Bima terus menatap Maudy dengan tatapan dalam.Maudy terus memberontak dan berusaha melepaskan diri. Semua perkataan sampah yang Bima ucapkan sudah seperti tuas bom yang siap membuatnya meledak kapan saja."Aku sudah menyerah untuk mendekatimu dan mendapatkan kontrak untuk perusahaanku. Lagipula .. sudah tidak tersisa berita baik untukmu."Maudy mendorong Bima jauh darinya. Dalam suasana genting itu terlihat Bima yang seperti sedang menahan amarah dan kekesalan yang mendalam."Jadi ini
Karen dan Bredy saling bertatapan, menunggu seseorang dengan canggung. Asisten pribadi dari masing-masing Maudy dan Arga itu sama sekali tidak tahu-menahu jika Maudy telah mengatur pertemuan untuk mereka bertiga."Sudah lama sekali kita tidak bertemu," ucap Bredy canggung."Ya .. sudah lama sekali."Karen hanya menjawab sesuai porsinya. Hubungan kedua asisten pribadi ini memang kurang begitu baik. Keduanya dulunya adalah sepasang kekasih yang tidak bisa bersama lagi.Melepas segala rasa canggung yang ada, Maudy datang tepat pada waktunya. Tak lupa untuk menyembunyikan penyamarannya pada Bredy, ia selalu menggunakan wig hitam yang mirip dengan model rambut aslinya."Kalian berdua sudah lama?"Karen dan Bredy kompak menggeleng dan berebut untuk menjawab pertanyaan sang Nyonya."Tidak .. maksud saya belum lama Nyonya."Maudy menatap keduanya. Ia teringat kembali dengan cerita dari suaminya mengenai Karen dan Bredy."Tidak usah canggung begitu .. hari ini kita akan membicarakan kemajuan p
"Kenapa kamu segila ini? Aku sudah tidak ada urusan lagi denganmu, lagipula perusahaanmu mengalami loss yang sangat banyak. Kurasa aku tidak membutuhkanmu lagi," ketus Maudy.Tak lupa tangannya sibuk mendorong badan laki-laki yang dibencinya itu agar keluar dari apartemennya.Bima tersenyum simpul. Sambil membalikkan badannya menuju pintu, ia mengucapkan kalimat dengan sangat yakin, "kamu tidak akan bisa lepas dariku Maudy! Aku akan anggap ini sebagai istirahat bagimu tapi .. aku akan terus berusaha untuk mendapatkanmu. Suatu saat kau akan jadi istriku!"BRAK.Pintu dibanting cukup keras, menyisakan perasaan tak karuan pada benak Maudy. Ia berpikir jika dirinya mungkin saja terlalu ceroboh dan terburu-buru.Akibatnya mau tidak mau Maudy harus membuat rencana baru untuk menghancurkan Bima.Dalam keputusasaan itu dirinya berdoa agar suaminya cepat sadar dari koma-nya.Sambil terduduk di lantai yang dingin dan memeluk lututnya sendiri, Maudy mengingat lagi awal mula dirinya ingin sekali
Sebelum meninggalkan apartemennya, Maudy mengamati dirinya lagi di depan cermin.Ada perasaan campur aduk saat melihat penampilannya sekarang yang terlihat sangat menyedihkan. Rambut berwarna fuchsia dan filler bibir yang menempel pada wajahnya sekarang sangatlah terlihat bodoh."Aku akan kembali menjadi Maudy yang dulu."Sambil bergegas keluar ia kembali menghubungi Bredy, memintanya agar menjemputnya beberapa jam lagi karena Maudy akan pergi ke salon langganannya terlebih dahulu.**"Rambut Anda sangat indah Nona .. apakah Anda yakin ingin mengubahnya menjadi hitam?" tanya salah satu karyawan di salon paling terkenal itu."Ya aku yakin, tolong hilangkan semua warna fuchsia pada rambutku yang memusingkan mata ini."Si karyawan sedikit tergelak. Maudy masih senyum-senyum sendiri saat suster yang ia sewa untuk menjaga suaminya tiba-tiba menghubunginya melalui panggilan video. Terlihat sosok Arga, suaminya yang sedang terduduk sambil sedikit kebingungan.Tanpa sadar Maudy meneteskan air
"Kau harus pulih dulu sayang .. baru nanti kita pikirkan mengenai hal itu ya?"Arga mengangguk mengerti walaupun kenyataannya ia belum memahami betul apa yang sedang Maudy dan Bredy tertawakan.Tak berapa lama, Bredy bangkit dari duduknya berniat untuk meninggalkan dua orang itu agar dirinya tidak mengganggu, "saya permisi untuk pergi ke luar sebentar Nyonya."Maudy mengangguk dan sejujurnya ia lebih merasa bahagia jika berdua saja dengan suami yang sudah sangat dirindukannya itu."Jangan memaksakan diri untuk berpikir keras .. kau harus istirahat dulu sampai pulih .. apa kau mau makan sesuatu sayang?"Tanpa Maudy duga, Arga membelai rambutnya dan mengecup keningnya pelan."Aku merindukanmu Maudy," ucap Arga.Setengah terharu namun lebih banyak gemas dengan suaminya yang bertingkah seperti anak kecil itu membuat Maudy tersenyum senang."Aku juga merindukanmu."CUP.Sebuah kecupan manis di bibir Arga berhasil Maudy lakukan. Ia sudah sangat merindukan saat pertama kali Arga mengecupnya
Maudy menghela napas, ia kemudian menjelaskan semua hal dengan jujur. Barangkali pada saat ia menjelaskan, suaminya itu akan dapat mengingat sedikit kejadian pilu yang menimpanya setengah tahun lalu."Kau mengalami kecelakaan sayang .. kau terjatuh dari lantai empat di sebuah hotel."Maudy melihat raut wajah suaminya dalam sekejap langsung berubah, seperti sedang menahan sesuatu yang membebani dirinya."Aku terjatuh? Apa itu karena kesalahanku sendiri? Bagaimana kronologinya?"Maudy menghela napasnya. Ternyata benar sesuai dugaannya jika suaminya tidak mengingat kejadian naas yang membahayakan dirinya itu.Pertanyaan Arga tak Maudy jawab. Hanya ada hening yang perlahan memenuhi ruangan paling mewah di rumah sakit itu.Keheningan baru hilang saat Bredy masuk ke dalam ruangan. Membuat Maudy langsung mengalihkan pembicaraan karena ia sendiri juga tidak ingin suaminya memaksakan diri untuk mengingat kejadian itu di saat kondisinya belum begitu pulih."Kalau belum ada yang bisa kau ingat t
"Sayang .. apa kau sekarang sudah lebih baik?"Dilihatnya keringat sampai membasahi baju suaminya. Terlebih saat melihat wajah suaminya yang pucat, Maudy menjadi panik. Namun ia tahu jika dirinya harus berusaha untuk tetap tenang.CUP.Sebuah kecupan di dahinya membuat Maudy merasa tenang seketika. Ternyata suaminya lebih mengkhawatirkan dirinya, bukan sebaliknya."Jangan panik sayang .. aku sungguh tak apa-apa. Aku sudah tidak lagi melihat ke arah jendela.""Aku marah karena kau jadi begini karena si brengs*k itu!" Tak sengaja ia mengucapkan kalimat itu di depan suaminya.Maudy tidak boleh membuat suaminya bekerja lebih keras untuk memikirkan kasus kecelakaannya itu. Atau hal tersebut malah bisa menjadi boomerang untuknya sendiri.Beberapa menit ia hanya diam sembari menenangkan dirinya. Tanpa disadari, pundaknya kini menjadi sandaran kepala suaminya yang telah tertidur nyenyak."Maafkan aku ..." gumamnya dengan perasaan yang tak tentu.**"Aku sudah tiba di Jakarta, tolong jemput ak