Share

9-10

"Apa  perlu  ke  dokter?"  tanya  Bintang  sambil duduk di sebelah Purnama.

Purnama menoleh ke arah suaminya. Sejak tadi ia berbaring dan Bintang meninggalkannya entah untuk keperluan apa.

"Nggak usah, Mas. Ini biasa bagi orang hamil. Morning sicknes."

"Tapi kamu lemes gitu, dari tadi tiduran terus."

"Cuma pusing sedikit, nanti juga reda."

"Ada obat yang dikasi dokter?"

"Ada. Vitamin sama obat mual."

"Udah diminum?"

"Udah."

Bintang memperbaiki posisi selimut Purnama, lalu diusapnya kepala Purnama.

"Purnama!" seru kedua mertua Purnama, mereka berdiri di pintu kamar.

"Bintang bilang kamu hamil?" "Iya, Mi."

"Alhamdulillah ya, mudah-mudahan anaknya laki-laki."

"Papi juga pengen cucu laki-laki."

"Laki-laki atau perempuan yang penting sehat, Mi." jawab Purnama sambil mengelus perutnya yang masih rata.

"Orang hamil jangan suka males, biar bayinya juga gak males nantinya. Bergerak, jangan tiduran terus!" kritik sang ibu mertua.

"Iya, Mi, ini lagi pusing dikit jadi istirahat."

"Pusing gitu jangan diturutin, tuman!"

"Iya, Mi."

"Bintang, kamu juga jangan terlalu manjain istri. Anter mami ke pasar!"

"Biasanya gak ke pasar, Mi."

"Mami kan harus masak hari ini," sang ibu mertua menatap ke arah Purnama.

Mendapat tatapan demikian Purnama merasa tak nyaman, sehari-hari yang selalu memasak adalah dirinya. Kondisi dirinya yang kini terbaring memberatkan mertuanya. Ibu mertuanya jarang ada di rumah, ia lebih sering di ruko sehingga urusan memasak untuk Bintang, ayah mertua dan adik iparnya diserahkan pada Purnama.

"Mas, anter mami aja dulu! Aku gak pa-pa kok ditinggal."

"Yaudah kalo gitu aku siap-siap."

Bintang dan maminya keluar dari kamar. Purnama mengembuskan napas, menghadapi ibu mertuanya memang membutuhkan kesabaran ekstra. Namun hari ini Purnama merasa senang, Bintang amat peduli padanya.

Terima kasih ya Dek, kehadiran kamu bikin papa berubah. Mama sayang kamu.

Purnama baru saja akan memejamkan matanya saat gawainya berbunyi, ada panggilan masuk dari Pak Alex.

"Halo, Purnama,"

"Ya, Pak."

"Gimana kondisi kamu?"

"Baik. cuma morning sickness aja."

"Mual?"

"Iya."

"Take your time ya, istirahat yang cukup gak usah mikirin kerjaan kantor. Saya gak mau kamu dan calon baby kenapa- kenapa."

"Terima kasih, Pak, atas perhatiannya."

"Telepon dari siapa? Pak Alex ya?" suara Bintang tiba- tiba terdengar. Purnama langsung mematikan sambungan teleponnya.

"Aku gak suka kamu berhubungan sama dia,"

"Dia kan atasan aku di kantor."

"Pokoknya aku gak suka."

Bintang mengambil jaketnya lalu pergi.

Mata Purnama menerawang langit-langit kamar, Bintang kini sudah begitu baik padanya dan menginginkan dirinya menjauhi Alex. Purnama bingung, bagaimana ia bisa menjauhi Alex jika tiap hari mereka berjumpa di kantor. Haruskah Purnama berhenti bekerja?

Kepala Purnama makin berdenyut memikirkan masalahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidur, ia akan memikirkan hal itu setelah kepalanya tidak lagi pusing.

Matahari telah tinggi saat Purnama membuka matanya, kepalanya tidak lagi terasa pusing seperti tadi pagi. Ia bangkit dari kasur lalu membersihkan diri.

Purnama merasa lebih segar setelah mandi. Ia kini berada di dapur mengecek persediaan makananannya. Di kulkas hanya ada telur, di meja makan pun belum ada nasi.

Ceklek!

Bintang masuk sambil membawa nampan di tangannya.

Ada nasi, sayur dan lauk pauk di atas nampan.

"Ini dari mami," Bintang menaruh nampan di meja makan.

"Mami masak?" Purnama melihat makanan yang dibawa suaminya.

"Iya,"

"Alhamdulillah, baru aja aku mau masak."

"Kamu udah enakan?"

"Alhamdulillah udah gak terlalu pusing."

"Bagus deh, yuk kita makan!"

Purnama memgambil 2 piring kosong untuk mereka makan. Lalu menyendokkan nasi, sayur dan lauk untuk suaminya dan barulah untuk dirinya sendiri.

"Mas hari ini gak ke bengkel?" tanya Purnama sebelum menyuapkan nasinya.

"Enggak,"

"Biasanya jam segini udah di bengkel,"

"Bengkel tutup."

"Loh kok tutup?"

"Alatnya ada yang rusak." ucap Bintang sambil sibuk menyendokkan nasi ke mulutnya.

"Emang gak bisa diperbaiki?"

"Gak bias. Harus beli baru tapi mahal banget harganya."

"Ya beli aja, Mas,"

"Uang dari mana? Mahal gitu."

Purnama tertegun sesaat. Suaminya sedang kesulitan, kesulitan suami adalah kesulitan istri juga begitu ajaran ibunya. Purnama ingin sekali membantu.

"Aku punya sedikit tabungan, Mas."

"Berapa?" Pupil mata Bintang membesar.

"Gak banyak sih tapi ada 5 juta."

"Aku pake ya? Alat itu harus buru-buru dibeli biar bengkel bisa dibuka lagi."

"Mm ...."

"Ayolah, aku butuh banget. Anggep aja investasi, nanti tiap bulan kamu dapet bagian dari hasil bengkel."

"Mas butuhnya berapa?"

"Belum tau pastinya, soalnya aku belum cek harga."

Tanpa pikir panjang Purnama masuk ke kamar dan mengambil dompet lalu mengeluarkan kartu atmnya, "Ini atm aku, pinnya hari pernikahan kita. Mas pake aja berapa butuhnya."

"Wah makasih ya!" Wajah Bintang berbinar.

"Iya."

Purnama bahagia bisa meringankan beban suaminya. Ia merasa rumah tangganya akan membaik dengan perubahan sikap Bintang.

***

Purnama telah   berfikir, demi keutuhan rumah tangganya ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ada rasa khawatir akan rizqi-Nya tetapi ia meyakinkan diri kalau niatnya baik insya Allah rizqi tetap akan mengalir.

Surat pengunduran diri telah ada di tangannya. Purnama mengetuk ruangan Alex.

"Masuk!" suara Alex terdengar cukup keras.

Dengan hati-hati Purnama melangkah ke dalam. Inginnya ia membiarkan pintu tetap terbuka agar tidak ada fitnah namun pintu ruang Alex otomatis tertutup jika tidak diberi penahan.

"Ada apa Purnama?" tanya Alex ramah begitu Purnama berdiri di hadapannya.

"Saya mau ngasih ini." Purnama menyerahkan surat yang terbungkus amplop berwarna coklat.

"Duduk dulu, bumil gak baik berdiri lama-lama."

Purnama mengikuti anjuran atasannya, ia duduk di kursi tepat di seberang Alex. "Makasih, Pak."

Alex membuka amplop itu lalu membaca isinya. "Pengunduran diri?"

"Iya, Pak."

"Kinerja kamu bagus dan gak ada masalah di kantor, kenapa harus ngundurin diri?"

"Morning sickness saya lumayan parah dan saya gak boleh kecapean."

"Kamu bisa istirahat sejenak kalo cape, saya juga gak akan nugasin kamu ke proyek. "

"Mencegah lebih baik daripada mengobati, saya jaga- jaga Pak. Sudah lama kami mengharapkan anak ini."

"Saya berharap kamu gak perlu mengundurkan diri, karyawan seperti kamu berharga bagi perusahaan."

"Keputusan saya sudah bulat, Pak."

Alex    mengembuskan    napas    kasar.    "Kalau    kamu bersikeras saya tidak bisa menahan."

"Terima kasih atas pengertiannya, Pak."

***

"Kamu gak kerja?" Bintang bertanya sambil mengucek matanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi, Purnama yang sedang membersihkan sayuran menoleh pada Bintang.

"Aku resign, Mas." "Kenapa?"

"Kamu bilang ‘kan aku harus menjauh dari Pak Alex, satu-satunya cara ya resign."

"Heum." Bintang duduk di kursi makan lalu mulai menyuapkan nasi gorengnya.

Purnama melanjutkan kegiatannya tidak jauh dari Bintang. Bahan-bahan untuk membuat makan siang disiapkannya.

Ceklek!

Pintu rumah Purnama terbuka, seperti biasa bapak mertuanya datang untuk sarapan.

"Loh Purnama ada di rumah? Gak kerja?"

"Enggak, Pih. Saya resign."

"Loh kenapa?"

"Mual-mual mulu tiap pagi." Purnama beralasan, ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada sang mertua.

"Orang hamil kan biasa mual-mual. Tahan-tahan dikitlah." Sang mertua ikut mengambil nasi goreng dan duduk di sebelah Bintang.

"Kerjaan jadi gak bener, Pih."

"Ah payah, mau makan apa nanti kalo gak kerja?" Mendengar ucapan mertuanya, Purnama merasa kesal.

"Kan ada Mas Bintang yang punya kewajiban menafkahi saya." Selesai   berkata,   Purnama meninggalkan mertuanya menuju ke kamar. Bisa saja ia mendebat mertuanya tetapi Purnama tidak mau bertengkar dengan ayah dari suaminya hingga ia memilih menghindar.

***

Purnama terkejut melihat saldo di rekeningnya. Ia berniat belanja dan mampir terlebih dahulu ke sebuah mesin ATM untuk mengambil uang. Namun ternyata uangnya hanya tersisa Rp. 200.000 saja.

Tadi pagi Bintang mengembalikan kartu ATM-nya seraya berterima kasih dan mengecup keningnya.

Setidaknya uangku untuk mendukung usaha suami. Hibur Purnama pada dirinya sendiri.

Dengan sejumlah uang yang baru saja ditariknya dari mesin ATM, Purnama berbelanja kebutuhan dapur. Setelah itu ia pulang dengan mengendarai ojek.

Sampai di rumah, Purnama beristirahat. Kondisi hamil membuatnya cepat lelah apalagi ini hamil muda. Sejenak Purnama terlelap di kamarnya.

Sayup-sayup terdengar suara Bintang bercakap-cakap dengan seorang pria. Purnama terbangun dari tidurnya.

Dilihatnya sang suami sedang bersama sahabatnya duduk di teras rumah. Sebagai tuan rumah yang baik, Purnama membuatkan keduanya minum.

Dua gelas kopi diletakkan di atas nampan dan dibawa Purnama menuju teras.

"Gimana bengkel lu setelah dipasang penglaris?"

"Lumayan, jadi lebih banyak yang dateng."

"Hebat juga ya mbah Dogol, mantap."

"Harusnya bisa lebih laris kalo gue pake yang 10 juta."

"Emang lu pake yang berapa?"

"Yang 5 juta, itu juga duit bini gue."

"Tapi lumayan kan sekarang, nanti kalo ada duit pasang lagi aja yang 10 juta."

Purnama membeku sesaat mendengar pembicaraan suaminya.

Jadi uangku untuk masang penglaris bukan beli alat bengkel, astaghfirullah!

Purnama merasa dibohongi, hatinya sesak. Ia berjalan mendekati suaminya yang terdiam saat melihatnya.

Purnama lahir di keluarga yang agamis, ia paham betul dasar-dasar dalam agama Islam. Dan pergi ke dukun adalah syirik, sebuah dosa besar.

Ia menaruh dua gelas kopi di meja dekat suaminya lalu menatap Bintang dengan tatapan marah.

Teman Bintang merasa tak enak melihat wajah Purnama yang menyiratkan kemarahan. "Gue balik dulu, Bro, ada urusan."

Begitu teman Bintang pergi, Purnama mengungkapkan kekesalannya.

"Mas bohong sama aku!"

"Bohong apa?"

"Uang aku bukan buat beli alat tapi buat ke dukun kan?"

"Aku butuh penglaris biar bengkelku gak sepi,"

"Aku gak rela, Mas, kalo uangku buat bayar dukun!"

"Kalo bengkel itu laris, kan kamu juga yang untung."

"Tapi ke dukun itu dosa, Mas. Syirik!"

"Yang penting bengkel laris, dapet duit. Aku bakal balikin duit kamu, tenang aja!"

"Ini bukan masalah duit dikembaliin apa enggak, Mas udah bohong sama aku dan Mas melakukan dosa besar dengan pergi ke dukun."

"Sok suci kamu! Nanti kalo dapet duit juga kamu mau!"

"Aku bukan sok suci, aku cuma mengatakan yang sebenarnya,"

"Berisik!"

Bintang pergi sambil membawa kotak rokoknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status