Tiga tahun berlalu.
Beberapa hari lagi putra mahkota kerajaan timur akan berulang tahun. Semua warga menyambut dengan suka cita, bahkan hari itu dijadikan sebagai hari perayaan kerajaan timur oleh Raja Arnawarman. Karena dunia persilatan mencapai kesepakatan damai, bertepatan dengan hari kelahiran putra mahkota kerjaan Arnawarman. Setiap tahun memang Permaisuri akan mengadakan pertemuan dengan para putri bangsawan dan putri para pendekar. Tahun ini, dia juga melibatkan Nalini untuk menghadiri pertemuan. Semasa guru besar hidup, Nalini tidak pernah ikut pertemuan-pertemuan yang dia tidak suka. Nalini hidup dengan bebas menentukan apa yang dia mau. Apalagi acara resmi kerajaan, itu membuatnya bosan. Terlalu banyak tatakrama. Memasang wajah palsu, untuk mendengarkan dan harus bersikap ramah tamah demi menjaga nama baik sang kakek. Sementara isi pertemuan itu sendiri sebagian besar memuakan Nalini. Pasti akan banyak adu argumen siapa yang paling unggul diantara mereka. Dari mulai adu kekayaan, adu kekuatan serta adu nasib. Berpura-pura menyedihkan tapi dalam setiap kata yang terlontar, seperti tidak ingin tertandingi. Niatan permaisuri mengumpulkan mereka adalah untuk merencanakan acara hari kelahiran putra mahkota. Seperti yang sudah-sudah, mereka akan berlomba untuk menghadiahkan sesuatu yang istimewa bagi putra mahkota. Dari sudut pandang para putri bangsawan juga sangat menguntungkan. Selain unjuk kelebihan masing-masing, mereka juga ingin menarik perhatian pihak kerjaan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka ke depannya. Hanya Nalini yang selama ini tidak pernah mengumbar hadiah apa yang akan diberikan pada putra mahkota. Cukup pertemuan singkat mereka saja, sebelum perayaan dimulai. Hadiah yang Nalini berikan juga berupa hasil karyanya sendiri. Sederhana dan putra mahkota lebih menghargai itu. Nalini menyakini hadiah spesial adalah hal yang dibuat dengan penuh cinta, kesungguhan dan ketulusan hati. Serta doa yang dipanjatkan untuk sang penerima, agar terjauh dari karma buruk dan selalu dilimpahi kebahagiaan. "Nalini, bagaimana kalau kamu membuat pertunjukan tari untuk putra mahkota." Seru permaisuri. Tiba-tiba ditengah pembicaraan mereka. Kebingungan karena melamun, Nalini melihat wajah satu per satu putri yang ada di ruangan itu. "Tapi Yang Mulia Permaisuri, sebelumnya Nalini tidak pernah melakukan hal seperti ini." Yang barusan berbicara itu berasal dari putri negara bagian Selatan dengan ekspresi merendahkan. Raja Selatan tidak memilki keturunan laki-laki. Tentu saja dia harus berkoalisi dengan negara lain untuk tetap menjaga otoritasnya dan juga mencari penerus kerajaan yang layak bagi putrinya. Sejak dahulu, dia menginginkan putra mahkota kerjaan Arnawarman. Walau sudah jelas pertunangan Nalini dan putra mahkota diketahui khalayak umum. Tapi dengan tebal muka, dia terus saja menyanjung dan selalu membuat permaisuri senang dengan sikap manisnya. Tujuannya tidak lain untuk menggantikan posisi Nalini, apalagi setelah kematian guru besar. Semua menganggap Nalini bukan orang yang harus diistimewakan lagi. "Nalini bisa diajarkan oleh para penari istana. Bagiamana Nalini, kamu bersedia?" Sepertinya tidak ada alasan lain bagi Nalini untuk menolak perintah permaisuri. Walau sangat bertentangan dengan dirinya, Nalini hanya bisa menerima dengan senyuman. Ke esokan harinya. Kesepakatan itu membuat Nalini harus datang setiap hari untuk berlatih. "Kira-kira tarian apa yang cocok dibawakan oleh Nona?" Sudah berbagai gerakan dicoba oleh Nalini. Namun para penari istana masih kurang puas melihat hasilnya. "Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti gerakan kalian." Ucap Nalini sambil merenggangkan punggungnya. "Saya punya gagasan, Nona pasti handal dalam ilmu pedang. Bagaimana kalau kita coba satukan?" "Senjata apapun dilarang masuk kedalam aula istana, kecuali senjata para penjaga istana yang sudah diberi perintah khusus." Salah satu dari mereka langsung mengingatkan aturan kerajaan. "Tidak perlu yang asli. Kita gunakan saja pedang yang terbuat dari kayu?" Setelah semuanya sepakat, para penari mulai menyesuaikan gerakan tarian khusus bagi Nalini. Dia adalah cucu dari seorang guru besar yang pasti sudah terbiasa berlatih pedang setiap harinya. Maka Nalini akan membawakan tarian pedang. Perpaduan antara gerakan tari yang diajari oleh para penari istana dengan jurus pedang yang Nalini miliki. Mereka juga akan turut serta menjadi pendamping penari pada saat hari perayaan. Semua sudah mereka atur sedemikan rupa agar penampilan dari calon putri mahkota tidak tertutup dengan para putri bangsawan dan putri para pendekar. Seusai latihan, ada utusan yang memberikan pesan pada Nalini bahwa putra mahkota ingin bertemu. Taman samping istana, ada bangunan kecil disana. Sudah pula putra mahkota menunggu dengan sajian teh dan kudapan. "Putra Mahkota memanggil saya?" Dengan gaya yang anggun dia memberikan hormat pada putra mahkota. "Kita hanya berdua, panggil saja namaku seperti biasanya." Nalini hanya terdiam, dia sudah agak lelah sebenarnya. Melihat kondisi Nalini, putra mahkota juga tidak terlalu mempermasalahkan perkataan sebelumnya. Dia hanya merasa kalau hubungan mereka semakin merenggang semenjak kematian sang guru besar. Dengan isyarat tangan, putra mahkota menyuruh Nalini untuk duduk di kursi kosong. "Bicaralah kalau kamu kelelahan dengan semua kegiatan yang Ibunda tetapkan." "Kamu tidak terbiasa melakukan semuanya. Nanti biar aku yang sampaikan pada Ibunda." Putra mahkota menatap Nalini dengan penuh kehawatiran. Apalagi terlihat memar disekitar buku jari yang coba Nalini tutupi dari pandangan putra mahkota. "Semuanya baik-baik saja. Saya masih bisa mengimbangi kemauan Permaisuri." "Nalini, aku berjanji setelah kita menikah. Tidak boleh ada yang menindasmu lagi." Mereka berdua saling bertatapan, sedangkan jauh di lubuk hati Nalini dia mulai mempertanyakan perasaanya. Haruskan dirinya menjadi putri mahkota? Perkataan putra mahkota tidak bisa dipercayai oleh Nalini begitu saja. Bisa jadi penderitaannya akan lebih dari saat ini. Hanya satu jalan yang bisa ditempuh Nalini. Sekalinya masuk ke dalam istana tidak ada jalan keluar. Belum pernah ada orang bisa keluar dari dalam istana kecuali dia mati atau diusir secara tidak hormat. Dua-duanya bukan pilihan yang baik dan Nalini tidak mau menyesali keputusannya kelak."Tuan Muda, Nona Nalini membuat masalah lagi. Kali ini Nona menyekap pelayan yang mengantarkan makanan ke dalam kamarnya." Lapor salah satu pelayan di kediaman Jahan.Jahan hanya tersenyum menanggapi. Namun raut wajah penuh kehawatiran pelayan itu tidak kunjung sirna. "Dia bukan orang jahat, temanmu akan aman disana. Biarkan saja." Jahan seperti harus memberi penjelasan agar para pelayannya tidak khawatir berlebihan.Satu hari berlalu, sekarang sudah tiga orang pelayan yang berada di dalam kamar Nalini.Suasananya canggung sekali. Mereka diam dimeja tamu, sementara Nalini berbaring seharian diatas tempat tidur. Tiga pelayan itu juga manusia, suara perut yang kelaparan sampai terdengar oleh Nalini. "Makan saja hidangan yang kalian bawa. Aku tidak lapar.""Tidak Nona, ini untuk mu. Kami tidak berhak memakan milik tamu Tuan Muda.""Disini hanya ada kita saja dan aku tidak akan mengadukan hal ini pada Tuan Muda mu." Dari mereka bertiga, tidak ada yang berani bergerak sedikitpun. Nal
"Tuan, selama kota dibawah pengawasan anda. Baru kali ini begitu kacau dan ricuh." Ayah Nira bertanya di sela-sela makan malam mereka. Wali kota tersebut menghela napas dengan panjang sambil mengeluarkan selembar kertas keatas meja makan. Sebuah pencarian orang, buronan. Tidak seperti kebanyakan yang berparas seram dan bermasalah. "Karena ada berita yang mengabarkan kalau buronan ini masuk ke kota, kebetulan karena pertandingan besar sedang berlangsung. "Putra Mahkota yang berada disini, langsung menurunkan perintah. Kalau sudah begitu, mana bisa saya melawan perintah mutlak tersebut." Untungnya dimeja itu, hanya terdapat Janu Nira dan saudagar dagang.Anggota lainnya duduk di meja yang terpisah. Kalau tidak mereka bisa heboh melihat lukisan wajah yang terpampang disana. Perempuan itulah yang sempat menolong dan memberikan obat pada rombongan dagang. Serta perempuan itu adalah orang yang sedang Janu cari selama ini. Entah reaksi apa yang akan mereka berikan tentang Nalini. "Se
"Nalini, deng--" "Nanda! Namaku, tolong panggil aku dengan itu. Nalini sudah mati di hari saat orang-orang menjebaknya." Putra mahkota dan Jahan terdiam dan saling padang untuk sesaat. "Dengar, saat ini dirimu sedang menjadi buronan di semua kerajaan. Tempat yang paling aman adalah bersembunyi di sini." "Oh ya? Aku rasa tidak begitu. Lebih baik penjarakan aku seumur hidup atau bunuh saja sekalian!" Nalini maju ke hadapan putra mahkota sambil memasang wajah yang menantang. Tidak ada raut ketakutan sama sekali.Sekilas Nalini memandang pada tempat penyimpanan pedang di dekat pintu masuk. Nalini jadi memikirkan sebuah rencana. Dia terus mendesak putra mahkota hingga Nalini bisa menjangkau tempat pedang tersebut. Selajutnya, gerakan tangan Nalini sangat cepat, dia mencabut pedang dari sarungnya dan hendak menebaskan pada batang leher dirinya.Namun gerakan tangan Jahan tidak kalah cepat untuk menghentikan aksi bunuh diri yang akan Nalini lalukan. Jaha cekatan melemparkan jarum-jar
Putra mahkota kerajaan timur memang benar memilki cinta yang besar pada Nalini. Namun Jahan tidak merasakan cinta itu akan kuat untuk beberapa tahun kedepan. Akan terlalu banyak hal yang direlakan putra mahkota untuk bisa bersama Nalini. "Sebenarnya aku kurang nyaman dengan situasi ini. Aku tidak suka kamu terus memandangi Nalini." Putra mahkota menutup tirai untuk memisahkan Nalini dengan mereka. "Aku hanya sedang menebak kelanjutan apa yang terjadi setelah Nalini terbangun di kerjaan timur.""Aku sudah mengatur semuanya dengan baik. Walau tidak suka, kamu diam saja. Karena amarahku belum cukup reda untuk menganggapmu sebagai sahabatku lagi." "Kalau aku bilang untuk kebaikan Nalini, apa Yang Mulia Putra Mahkota bisa memahami itu?" Hening sesaat dianatara mereka, putra mahkota juga enggan menanggapi pertanyaan terkahir Jahan. Kereta kuda berhenti, Jahan harus kembali berpura-pura terbaring. Artinya dia akan tidur di samping Nalini. Suka tidak suka, putra mahkota harus merelakan
Janu hanya bisa menghela napas panjang, begitu pintu gerbang ditutup dan menampilkan rombongan kereta kuda yang hanya terlihat sepersekian detik oleh dirinya. Kericuhan mulai lagi terjadi, bahkan sekarang penjaga kota mulai menunjukan sisi keras mereka. Tidak segan untuk mendorong, memukul dan melakukan serangan fisik lainnya bagi siapapun yang menentang. "Jika ingin semua ini cepat selesai, kendalikan diri kalia dan ikuti aturan yang berlaku!" Beberapa luka lebam didapatkan oleh para pengunjung kota. Para penjaga juga tidak memandang status mereka. Bangsawan dan rakyat biasa juga terkena hantaman penjaga. Seolah mereka mendapat kekuatan yang sulit dibantah, karena mendapat kuasa yang diturunkan langsung oleh keluarga kerajaan. "Kerajaan kami akan mengadukan sikap kalian yang kasar pada para tamu seperti ini.""Silahkan saja! Ini masih wilayah kekuasaan negara timur. Kalian bisa pulang hanya tinggal nama." Jauh dari keramaian, Nira masih saja menghadang Janu untuk maju kearah p
"Sudahlah, hentikan semua keributan ini dan kembali pada pos masing-masing." "Terima kasih Yang Mulia Putra Mahkota." Penjaga itu bangkit sambil undur diri dan diikuti oleh beberapa rekannya. Sementara para pengawal berjirah emas masih dia didalam kamar. "Apa masih ada urusan yang mau kamu sampaikan kepadaku?" "Mengapa Yang Mulia pergi keluar dari istana dan Ibu Kota secara diam-diam, tanpa pengawalan sama sekali?""Aku hanya tidak mau menimbulkan keributan. Lagi pula banyak dari para bangsawan yang lain datang kesini untuk menonton pertandingan dengan menggunakan pakai merakyat."Tadinya aku hanya ingin menonton pertarungan final yang katanya akan spektakuler. Ternyata sahabatku terluka dan aku datang untuk mengobatinya. "Sayang sekali obat-obatan disini tidak selengkap di ibu kota. Makannya aku berencana untuk membawanya pulang bersamaku."Oh iya, tolong sekalian siapkan kereta kuda untuk membawa sahabatku dan bagaimana kalau penjagaan kota di perketat. "Siapa tahu berita soal