Share

3. Pemaksaan Pihak Kerajaan

Penulis: D'Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-21 13:21:53

Tiga tahun berlalu.

Beberapa hari lagi putra mahkota kerajaan timur akan berulang tahun. Semua warga menyambut dengan suka cita, bahkan hari itu dijadikan sebagai hari perayaan kerajaan timur oleh Raja Arnawarman.

Karena dunia persilatan mencapai kesepakatan damai, bertepatan dengan hari kelahiran putra mahkota kerjaan Arnawarman. Setiap tahun memang Permaisuri akan mengadakan pertemuan dengan para putri bangsawan dan putri para pendekar.

Tahun ini, dia juga melibatkan Nalini untuk menghadiri pertemuan. Semasa guru besar hidup, Nalini tidak pernah ikut pertemuan-pertemuan yang dia tidak suka. Nalini hidup dengan bebas menentukan apa yang dia mau.

Apalagi acara resmi kerajaan, itu membuatnya bosan. Terlalu banyak tatakrama. Memasang wajah palsu, untuk mendengarkan dan harus bersikap ramah tamah demi menjaga nama baik sang kakek.

Sementara isi pertemuan itu sendiri sebagian besar memuakan Nalini. Pasti akan banyak adu argumen siapa yang paling unggul diantara mereka. Dari mulai adu kekayaan, adu kekuatan serta adu nasib. Sampai berpura-pura menyedihkan tapi dalam setiap kata yang terlontar, seperti tidak ingin tertandingi.

Niatan permaisuri mengumpulkan mereka adalah untuk merencanakan acara hari kelahiran putra mahkota. Seperti yang sudah-sudah, mereka akan berlomba untuk menghadiahkan sesuatu yang istimewa bagi putra mahkota. Dari sudut pandang para putri bangsawan juga sangat menguntungkan.

Selain unjuk kelebihan masing-masing, mereka juga ingin menarik perhatian pihak kerjaan untuk menjaga hubungan baik dengan mereka ke depannya. Hanya Nalini yang selama ini tidak pernah mengumbar hadiah apa yang akan diberikan pada putra mahkota.

Cukup pertemuan singkat mereka saja, sebelum perayaan dimulai. Hadiah yang Nalini berikan juga berupa hasil karya tangannya sendiri. Sederhana dan putra mahkota lebih menghargai itu.

Nalini menyakini hadiah spesial adalah hal yang dibuat dengan penuh cinta, kesungguhan dan ketulusan hati. Serta doa yang dipanjatkan untuk sang penerima, agar terjauh dari karma buruk dan selalu dilimpahi kebahagiaan.

"Nalini, bagaimana kalau kamu membuat pertunjukan tari untuk putra mahkota." Seru permaisuri. Tiba-tiba ditengah pembicaraan mereka. Kebingungan karena melamun, Nalini melihat wajah satu per satu putri yang ada di ruangan itu.

"Tapi Yang Mulia Permaisuri, sebelumnya Nalini tidak pernah melakukan hal seperti ini." Yang barusan berbicara itu berasal dari putri negara bagian Selatan dengan ekspresi merendahkan.

Raja Selatan tidak memilki keturunan laki-laki. Tentu saja dia harus berkoalisi dengan negara lain untuk tetap menjaga otoritasnya dan juga mencari penerus kerajaan yang layak bagi putrinya.

Sejak dahulu, dia menginginkan putra mahkota kerjaan Arnawarman. Walau sudah jelas pertunangan Nalini dan putra mahkota diketahui khalayak umum. Tapi dengan tebal muka, dia terus saja menyanjung dan selalu membuat permaisuri senang dengan sikap manisnya. Tujuannya tidak lain untuk menggantikan posisi Nalini, apalagi setelah kematian guru besar. Semua menganggap Nalini bukan orang yang harus diistimewakan lagi.

"Nalini bisa diajarkan oleh para penari istana. Bagiamana Nalini, kamu bersedia?" Sepertinya tidak ada alasan lain bagi Nalini untuk menolak perintah permaisuri. Walau sangat bertentangan dengan dirinya, Nalini hanya bisa menerima dengan senyuman.

Keesokan harinya.

Kesepakatan itu membuat Nalini harus datang setiap hari untuk berlatih.

"Kira-kira tarian apa yang cocok dibawakan oleh Nona?" Sudah berbagai gerakan dicoba oleh Nalini. Namun para penari istana masih kurang puas melihat hasilnya.

"Jujur saja, aku tidak terlalu bisa mengikuti gerakan kalian." Ucap Nalini sambil merenggangkan punggungnya.

"Saya punya gagasan, Nona pasti handal dalam ilmu pedang. Bagaimana kalau kita coba satukan?"

"Senjata apapun dilarang masuk kedalam aula istana, kecuali senjata para penjaga istana yang sudah diberi perintah khusus." Salah satu dari mereka langsung mengingatkan aturan kerajaan.

"Tidak perlu yang asli. Kita gunakan saja pedang yang terbuat dari kayu?"

Setelah semuanya sepakat, para penari mulai menyesuaikan gerakan tarian khusus bagi Nalini.

Dia adalah cucu dari seorang guru besar yang pasti sudah terbiasa berlatih pedang setiap harinya. Maka Nalini akan membawakan tarian pedang.

Perpaduan antara gerakan tari yang diajari oleh para penari istana dengan jurus pedang yang Nalini miliki. Mereka juga akan turut serta menjadi pendamping penari pada saat hari perayaan.

Semua sudah diatur sedemikan rupa agar penampilan dari calon putri mahkota tidak tertutup dengan para putri bangsawan dan putri para pendekar.

Seusai latihan, ada utusan yang memberikan pesan pada Nalini bahwa putra mahkota ingin bertemu. Taman samping istana, ada bangunan kecil disana. Sudah pula putra mahkota menunggu dengan sajian teh dan kudapan.

"Putra Mahkota memanggil saya?" Dengan gaya yang anggun Nalini memberikan hormat pada putra mahkota.

"Kita hanya berdua, panggil saja namaku seperti biasanya." Nalini hanya terdiam, dia sudah agak lelah sebenarnya.

Melihat kondisi Nalini, putra mahkota juga tidak terlalu mempermasalahkan perkataan sebelumnya. Dia hanya merasa kalau hubungan mereka semakin merenggang semenjak kematian sang guru besar.

Dengan isyarat tangan, putra mahkota menyuruh Nalini untuk duduk di kursi kosong. "Bicaralah kalau kamu kelelahan dengan semua kegiatan yang Ibunda tetapkan." Putra mahkota menatap Nalini dengan penuh kehawatiran. "Kamu tidak terbiasa melakukan semuanya. Nanti biar aku yang sampaikan pada Ibunda." Apalagi terlihat memar disekitar buku jari yang coba Nalini tutupi dari pandangan putra mahkota.

"Semuanya baik-baik saja. Saya masih bisa mengimbangi kemauan Permaisuri."

"Nalini, aku berjanji setelah kita menikah. Tidak boleh ada yang menindasmu lagi."

Mereka berdua saling bertatapan, sedangkan jauh di lubuk hati Nalini dia mulai mempertanyakan perasaanya. Haruskah dirinya menjadi putri mahkota?

Perkataan putra mahkota tidak bisa dipercayai oleh Nalini begitu saja. Bisa jadi penderitaannya akan lebih dari saat ini. Hanya satu jalan yang bisa ditempuh Nalini. Sekalinya masuk ke dalam istana tidak ada jalan keluar.

Belum pernah ada orang bisa keluar dari dalam istana kecuali dia mati atau diusir secara tidak hormat. Dua-duanya bukan pilihan yang baik dan Nalini tidak mau menyesali keputusannya kelak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   41. Acara Makan Malam

    Belum menjelang malam tapi para bangsawan yang berada di ibu kota dan sudah mendapatan undangan Jahan, sejak pagi mulai berdatangan. Bahkan bangsawan dari luar kerajaan timur pun turut hadir. Siapa yang tidak tahu tentang keluarga bangsawan Altarik yang terkenal dengan kerendahan hatinya walau memiliki harta yang sangat melimpah. “Nona, apa ada sudah memilih pakaian dan riasan seperti apa yang akan anda kenakan saat makan malam.” Pelayan ini memang terlalu patuh pada peraturan, untungnya ada dua pelayan yang Jahan tempatkan untuk melayani Nanda agar dia lebih leluasa. “Aku rasa Nona akan memilihya nanti. Sekarang bagaiman kalau kita bantu bagian yang lain untuk menyiapkan acara makan malam. Pasti mereka kewalahan.” Sekarang Nanda kembali sendiri. Pikirannya masih berkenalan tentang percakapan tadi siang dengan Jahan. Memang lebih baik dia mengaikut arahan Jahan. Lagi pula dengan begitu Nanda tidak perlu merasa bersalah dengan menolak perasaan putra mahkota padanya. Satu jam kemudi

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   40. Ibu Kota Negara Utara

    Kakek itu mengehela napas dan menepuk pundak Janu. “Aku tidak yakin untuk memberitahumu saat ini. Tapi, apa kamu sudah menemukan kunci peti yang lainnya?” Janu menggeleng lemah. Selama ini dia sudah mencari ke seluruh penjuru pondok. Bahkan sampai ke ujung hutan sekali pun tetap saja sisa kuncinya tidak ditemukan.“Apa harus sampai semua peti itu terbuka?”“Kamu pernah mencoba buka paksa peti-peti tersebut, misalnya dengan cara apapun namun masih tidak berhasil bukan?” Kakek itu kembali menyeruput teh nya.“Itu artinya kunci-kunci tersebut enggak berada di pondok atau hutan terlarang sekalipun. Mereka ada di luar dan aku harus mencarinya agar bisa bertemu dengan kakekku?”“Apakah gadis yang kamu sebutkan kemarin sebagai teman adalah orang yang membantumu mempelajari tingkat dasar ilmu bela diri yang ada dalam buku panduan?” Bukannya menjawab pertanyaan sebelumnya, kakek itu malah melemparkan topik lain pada Janu sehingga membuatnya termenung sesaat. Semua hal tidak mungkin hanya kebet

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   39. Nanda Altarik

    Nanda berjalan dengan sangat tergesa-gesa. Beberapa pelayan mengekor dibelakangnya dan begitu sampai depan ruang pribadi Jahan, penjaga pintu mencoba untuk menghentikan Nanda, itu juga tidak berhasil. Nanda masuk begitu saja kedalam ruangan.“Jahan! Apa yang kamu lakukan--” Tanpa tahu siapa yang sedang bersama dengan Jahan. Nanda terdiam ketika tahu tidak hanya Jahan yang berada di ruangan itu. Nanda kemudian berbalik melihat penjaga pintu yang mengekor padanya. “Kenapa kamu tidak mengatakan kalau didalam sedang ada tamu?” Langsung saja penjaga pintu mendapat tatapan tajam dari Nanda. Jahan membebaskan penjaga itu dari amukan adiknya, dia langsung memberi isyarat untuk meninggalkan mereka bertiga dalam ruangan.“Selamat siang Nanda, bagaimana istirahatmu setelah melakukan perjalanan panjang?” Nanda cukup terkejut dengan reaksi putra mahkota yang seperti baru saja melakukan pertemuan pertama mereka. Namun itu tidak bukan masalah, yang penting saat ini adalah rencana Jahan yang dirasa

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   38. Kisah Empat Sekawan

    Janu masih menatap kakek itu dengan tatapan tidak percaya. Antara dia salah dengar atau dia benar mendengar semua itu. Untu memastikan semuanya, Janu mencoba mengambil posisi kuda-kuda yang benar dan mengambil napas yang sudah dilatihnya selama ini dengan Nanda. Melakukan ancang-ancang dan menghitung dalam hati, hingga hitungan ketiga. Kapak itu berhasil dicabut dari alas potong kayu.“Kakek! Ini berhasil lihat—“ Antusias Janu tertahan begitu dia mengingat kalimat yang sebelumnya kakek itu ucapkan. “Bagaimana Kakek tahu hal seperti tadi.”“Itu bukan sembarangan kapak. Itu adalah senjata pribadi miliku. Pasti ada banyak pertanyaan dalam kepalamu saat ini. Duduklah temani aku minum teh, kalau tidak keberatan aku ingin menceritakan kisah lama.” Janu tergugu dan dengan patuh melakukan semua perkataan kakek itu, tanpa membantah satu pun.Dua cangkir teh sudah tersaji diatas meja, mereka menikmatinya dengan bermain catur kuno yang diperkenalkan oleh para pedagang yang singgah. Janu awalnya

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   37. Penawaran Jahan

    Sejenak Jahan mengerutkan kening melihat reaksi Nalini yang tidak memperhatikan percakapan mereka sebelumunya. Bahkan Nalini mulai turun dari ranjang, bergerak dengan gusar keseluruh ruangan membuka apapun yang menutupi pandangan. Nalini menyingkap kain pentup meja, membuka seluruh pintu disana, membongkar laci-laci dan pintu lemari.“Dimana barang-barangku, kamu simpan?” “Harusnya semua yang ada di kamar ini adalah barang milikmu. Aku hanya memindahkan dari buntalan kain yang kamu bawa.”“Pedang, Seingatku aku selalu membawanya dan baru sadar sejak tinggal disini hanya pedang peninggalan Kakek yang belum aku lihat.”“Maksudmu ini.” Jahan menekan bagian bawah ranjang yang tidak terlihat secara kasat mata dan sebuah mekanis sederhana membuat laci rahasia muncul dibawahnya. Pedang tersebut tersimpan dengan aman bersama dengan Nalini di kamar ini. Segera Nalini menghampiri dan mengambil pedang tersebut. Membuka dari sarungnya, mengamati setiap lekukan pada pedang. “Oh, sungguh ke

  • Pusaka Legendaris Sang Guru Besar   36. Pria Tua Misterius

    Seorang pria tua tertegun melihat kemampuan Janu yang bisa mengalahkan lima pemuda dalah waktu yang sangat singkat. Bahkan penilaian Janu terhadap pedang legendaris juga membuatnya kagum. Janu sangat mengenali pedang tersebut dan dapat membedakan dengan yang palsu.“Anak muda, kamu tahu pedang apa yang barusan dibuang itu?”Janu menoleh melihat sosok kakek tua yang rentan dengan sebuah tongkat kayu menopang tubuhnya saat berajalan. Janu melihat kesana kemari untuk memastikan ada orang lain yang datang bersama kakek tersebut. “Apa Kakek terbiasa berjalan sendirian, ditengah hutan dan malam-malam seperti ini.”“Tenanglah aku tinggal tidak jauh dari sini. Hanya keluar sebentar untuk melihat ada keributan apa.”“Ah, maaf membuat Kakek khawatir.” Pandangan pria paruh baya itu tertuju pada pemuda yang berjatuhan dibelakang Janu. “Kakek tenang saja, mereka masih hidup dan cuman kehilangan kesadaran sejenak.” Lanjut Janu, tidak mau disalah pahami sebagai kasus pembunuhan.“Dari tampang mereka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status