Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut di wajah Nalini.
Menggelitik pipi, membuat dia terbangun."Ah, apakah ini surga?" Ucap Nalini dalam hati.Dirinya tengah terbangun di sebuah pondok kecil yang menghadap hamparan padang rumput sejuk.Seingat Nalini siang tadi terkena tusukan pedang pengawal putra mahkota.Begitu dia hendak bangun, seluruh badanya terasa sakit.Apalagi pada bagian dada sebelah kiri."Eh, kamu jangan bangun dulu!"Seorang pria asing membantu Nalini untuk tetap berbaring diatas ranjangnya."Akhirnya sadar juga. Sudah lima hari sejak aku menemukan mu di pinggir sungai."Penjelasan pria tersebut membuat Nalini terkejut."Racun di luka mu juga semakin membaik."Otomatis Nalini melotot pada pria itu. Jika dia mengobati lukanya berarti dia juga membuka baju Nalini.*Ah, maaf kurang ajar. Tapi kalau enggak diobati, kamu akan demam dan luka itu menimbulkan infeksi.""Heh, apa kamu juga bisu? Dari tadi aku ngomong sendirian.""Apa kamu tidak punya tatakrama ketika berhadapan seorang wanita?" Nalini langsung menyolot."Ternyata bisa bicara. Apa itu tatakrama, aku terbiasa hidup di alam liar."Nalini langsung saja melihat sekitar dan tidak ada siapa pun selain mereka berdua."Namaku Janu. Sejak kecil aku sudah hidup di gubuk buatan Kakek.""Lalu kemana Kakekmu? Sejak tadi aku tidak melihatnya.""Ah, jangan tanya, dia selalu datang dan pergi sesuka hatinya."Nalini kembali terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi setelah dia dibawa ke kediaman putra mahkota.Walau dia tidak sadarkan diri, tapi dia bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan putra mahkot di sana.Bersama bawahannya, raja dan permasuri serta Arkana yang turut hadir."Jadi asal mu dari mana dan bagaimana ceritanya kamu bisa hanyut di sungai?"Nalini merasa kurang sopan tidak memperkenalkan diri."Na--""Na?""Nanda. Aku berasal dari barat dan... Ah aku tidak ingat. Mungkin kepalaku terbentur bebatuan."Waktu yang singkat untuk Nalini menyadari keputusannya merahasiakan identitas asli.Lebih waspada setelah beberapa kejadian yang dia alami belakang ini."Ahey, aku memang liar tapi aku enggak bodoh. Dikepalamu enggak ada luka."Pria itu memang bodoh. Nalini setidaknya tahu aliran sungai yang mengairi empat negara.Tidak ada yang mengalir dari wilayah barat ke utara.Sumber mata air berawal dari negara bagian timur yang akan mengalir ke dua bagian negara, utara dan selatan.Kemudian bermuara di wilayah negara bagian barat."Aku minum terlalu banyak air. Iya oleh sebab itu ingatanku melemah.""Iyakah?"Dengan memasang wajah yang meyakinkan Nalini membuat perdebatan diantara mereka meredam."Baiklah aku akan membuat obat dan makanan dulu."Janu masuk sambil menenteng kantung yang terbuat dari serat kayu kemudian dianyam rapih.Benar dia berasal dari alam liar, semua yang ada disini sangat alami dan sederhana."Kalau boleh tahu, kita berada dimana?""Hutan terlarang perbatasan dari Utara dan timur."Dulunya dijadian tempat peperangan terakhir dunia persilatan.Banyak korban yang berjatuhan dan dibiarkan begitu saja.Akibatnya tidak banyak orang yang berani menginjakan kaki di hutan ini.Mereka mempercayai bahwa arwah yang penuh dendam telah menguasai hutan.Tidak ada yang keluar hidup-hidup dari hutan tersebut."Selama kamu tinggal disini, apa pernah ada orang lain yang datang atau setidaknya Kakekmu mencerita tentang tempat ini?""Kakek melarangku keluar dari hutan ini. Dia bilang aku akan mati.""Berhenti berbicara tentangku. Sekarang apa rencamu?"Janu sedikit terusik dengan Nalini yang terus bertanya hal pribadinya."Jangan bilang kamu akan terus-terusan tinggal disini."Tenaga Nalini yang baru pulih langsung habis menghadapi Janu kalau seperti ini terus.Janu lebih mirip seperti anak yang menginjak masa remaja. Tidak mengenal lelah dan keseriusan.Padahal kalau Nalini perhatikan, sepertinya umur mereka tidak jauh beda atau bisa jadi sama."Baiklah, aku akan mengizinkan tinggal asal bantu aku cari bahan makanan. Itu pun untuk dirimu sendiri.""Aku tidak--""Setelah sehat!"Janu duduk dihadapan Nalini sambil menyodorkan satu buah sendok sup kedepan wajah."Aku tahu badanmu masih lemah. Jadi biar aku suapi.""Ini ikan dan kentang."Seolah Janu bisa membaca tatapan mata Nalini yang menelisik kedalam mangkukDalam pikiran Nalini terus saja terbayang pesan terakhir sang kakek.Bagaiman dia bisa menjalankan itu, jika pedang legendaris saja tidak berada padanya.Rencana apa yang harus disusunnya untuk kembali merebut pedang legendaris.Nalini juga merasa dirinya sendirian di dunia ini.Semua orang yang baik semasa hidup kakeknya kini menghilang bahkan orang yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.Nalini juga tidak tahu siapa itu lawan dan kawan.Selesai makan, Janu kembali sibuk dengan urusan beberesnya.Dari tempat Nalini bahkan bisa mendengar suara ribut yang ditumbulkan Janu."Aku hampir lupa. Di tubuhmu terlilit pedang ini."Pesang legendaris hanyut bersamanya.Tanpa memperdulikan apapun lagi, Nalini bangkit dan mengabil pedang lengedari sercara kasar.Bolak-Balik, Buka-tutup. Secermat itu Nalini memperhatikan pedang legendaris ditangannya.Pedang legendaris ini, asli."Jadi ini pedang yang menyakitimu atau milikmu?"Saking bersemangatnya Nalini melupakan kalau dia sedang sakit dan ada Janu disana."Ini satu-satunya harta peninggalan keluargaku." "Itu artinya kamu berasal dari kelurga pendekar."Kini giliran Janu yang bersemangat. Matanya berbinar-binar menatap Nalini. "Kamu tahu sesuatu tentang pendekar?" Nalini bertanya dengan penuh selidik."Kakekku pernah bercerita tentang perang dunia persilatan dimasa lalu.""Katanya ada seorang pendekar sakti yang enggak bisa di kalahkan siapapun." "Dia memiliki sebuah pedang yang selalu dibawanya, dia juga yang akhirnya mendamaikan peperangan dunia persilatan." "Jadi aku sangat kagum saat melihat pedang itu. Makannya kusimpan baik-baik." Nalini jadi penasaran ingin bertemu dengan kakek Janu. Mungkin dia salah satu pendekar yang mengenali dirinya sebagai keluarga Danadyaksa. Bisa gawat kalau identitas aslinya terbongkar bersama pedang legendaris. "Oh iya, keliatannya kamu sudah sehat. Besok aku ajak p
"Ingatanku belum pulih jadi--""Kamu mungkin salah satu pendekar diluar sana." Janu memotong perkataan Nalini. "Walau kamu seorang wanita, tapi aku bisa merasakan tangan yang sering menggunakan pedang. Sama seperti tangan Kakek." Saat memikirkan jawaban yang harus diberikan pada Janu. Ranting yang berada ditangan Nalini bergerak. Membuat tubuhnya tertarik kearah sungai karena lengah. Jika tidak ditahan oleh Janu, mungkin Nalini akan jatuh kedalam sungai yang dingin. Takut terjatuh, Nalini juga membalas mengenggam tangan Janu agar tidak melepaskan dirinya. Dengan menggenggam tangan Janu, Nalini bisa merasakan denyut nadi Janu. Tenaga dalam yang sangat hebat mengalir disana. Bahkan melebihi dari milik kakak tertua perguruan Danadyaksa. Tubuh Janu akan sangat mudah untuk dilatih jurus apapun."Dalam hitungan ketiga, kita tarik bersama-sama" Ucapan Janu, mengembalikan Nalini dari pikirannya sendiri. "Satu.. dua.. tiga!" Janu menarik tangan Nalini kearahnya. Begitu pula Nalini
Keadaan di dalam memang tidak terlalu gelap. Ada beberapa celah yang membuat cahaya masuk. Walau begitu, Nalini masih belum terbiasa dengan pencahayaan yang minim. Dalam beberapa persimpangan jalan juga terdapat genangan air. Bahkan ada satu sisi yang cahaya tidak ada sama sekali, yang terdengar hanya suara air yang turun. Entah dari mana, mata Nalini tidak bisa menangkap keberadaan air tersebut. Janu juga bisa tahu kalau Nalini ragu dan ketakutan. Beberapa kali Janu merasakan tangannya dipeluk dengan kencang. Karena tubuh mereka sangat dekat. Degup jantung milik Janu mulai memacu dengan cepat. "Janu kenapa berhenti?" Nalini berpikir bahwa Janu mungkin tidak sesering itu untuk turun ke ruang bawah tanah. Mereka tersesat. Nalini seperti menebak Janu yang sedang berpikir untuk memilih jalan yang mana.Karena mereka cukup lama berdiri di persimpangan jalan. Sebenarnya yang terjadi, Janu mulai resah dengan reaksi tubuh yang sebelumnya tidak pernah seperti ini. Ruang bawah t
Nalini terbangun saat kepalanya terjungkal. Tertidur saat mengawasi Janu belajar menulis. Dilihatnya Janu juga tengah tertidur dengan posisi telungkup diatas meja. "Iya, lebih baik kita istirahat sejenak."Perhatian Nalini langsung teralihkan begitu melihat buku-buku kuno terbuka disekitar Janu. Tidak mungkin Janu bisa membaca buku-buku itu hanya dengan seharian belajar mengenal huruf.Nalini pun tergerak untuk membereskan terlebih dahulu benda-benda yang berserakan lainnya. Setelah itu, dia juga mengambil selimut untuk membalut tubuh Janu. Selesai semuanya, Nalini mulai membaringkan diri di ranjang yang sudah ditempatnya beberapa minggu. Nalini sudah menyamankan dirinya dan menganggap pondok sederhana ini seperti rumahnya sendiri. Beberapa jam kedepan.Seperti biasa, Janu sudah terbangun sebelum matahari terbit. Janu terkejut dengan dirinya berbalut selimut. Padahal semalam dirinya berniat memindahankan Nalini yang tertidur dihadapannya. Malah dia yang diurus oleh Nalini.
Satu bulan kemudian."Perbanyak latihan pernapasan. Kamu kesulitan bernapas." Ucap Janu sambil menyodorkan air minum. Nalini benar-benar tertinggal.Sejak menyadari potensi tenaga dalam yang dimiliki Janu. Seharusnya Nalini bisa mengukur kemampuan dirinya sangat jauh dengan Janu. Dia hanya membatu Janu mengenal huruf dan membaca. Hasilnya Janu maju lebih pesat. Sekali diberi pemahaman suatu gerakan jurus.Janu langsung mengerti dan berlatih dengan sempurna. Sedangkan Nalini harus beberapa kali berlatih untuk menguasai satu jurus saja. Nalini dan Janu kelelahan, mereka gunakan waktu dari pagi hingga siang untuk berlatih. "Aku akan isi air dan membawa beberapa makanan." Nalini hanya mengangguk sebagai jawabannya.Untuk sarapan, mereka akan memetik dedaunan atau buah yang mereka temui di hutan. Dalam tumpukan buku yang berisi jurus-jurus langka. Ada satu buku yang berisikan ilmu pengetahuan tentang dunia pengobatan. Serta informasi tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat. Sayang buku
Sudah hampir malam Nalini berjalan menyusuri jalan setapak setelah keluar dari hutan terlarang. Sepanjang jalan Nalini juga mengumpulkan berbagai tanaman obat yang dia temui.Sadar dirinya tidak memiliki uang sepeser pun dan satu-satunya kemampuan yang Nalini punya harus dia gunakan dengan maksimal.Niat Nalini mengumpulkan tanaman obat agar bisa dijual di desa terdekat agar bisa mendapatkan uang.Setelah langit benar-benar gelap. Nalini baru bisa melihat cahaya diujung jalan sana. Menandakan kalau dia sudah dekat dengan pemukiman warga.Alih-alih langsung memasuki desa. Nalini memilih pohon yang nyaman untuk dia jadikan tempat tidur. Dengan jurus ilmu meringankan tubuh, Nalini tidak kesulitan untuk memanjat keatas pohon. Cabang yang dirasa kuat menopang tubuh, akhirnya menjadi tempat Nalini tidur malam ini. Dengan posisi duduk berselonjor kaki diatas cabang pohon dan badan yang bersandar pada batang pohon.Nalini menyamankan diri untuk mulai tidur.Hal tersebut dilakukan, agar
Janu terduduk lemas saat membaca surat yang ditulis Nalini. Padahal dia baru sekejap memejamkan mata. Nalini sudah pergi meninggalkannya. "Katanya beberapa bulan lagi. Kenapa malah secepat ini." Kesal, Janu pun meremas dan menghempaskan surat tersebut. Sekarang Janu kembali ke rutinitas sendirinya. Seperti biasa, dia mulai mempersiapkan diri untuk latihan. Tapi diurungkannya. "Lebih baik aku berburu saja." Pikirnya itu bagus untuk mengatasi rasa marahnya. Bukannya mendapat hasil, Janu malah mengacaukan semuanya. Suara langkah yang berisik hingga membuat keberadaanya diketahui oleh para hewan.Anak panah yang terus meleset, serta jerat yang tidak ada hasil membuat Janu tambah kesal. "Argh! Kenapa enggak ada yang berjalan lancar." Janu jadi memutuskan kembali ke rumah. Memilih duduk sambil memandang hamparan rumput di depan sana.Berharap Nalini pergi hanyalah sebuah mimpi dan dia akan datang sambil membawa buruan dari arah hutan. Ditunggu sampai siang pun. Janu yang malah t
Untunglah kereta kuda dan beberapa kuda termasuk milik si tiga laki-laki brandal tadi, tidak kabur.Mereka yang terluka parah diberangkatkan dengan menggunakan kereta kuda.Menuju desa yang paling terdekat dari hutan ini.Sementara sisanya, Janu membuatkan gerobak dari kayu yang mengorbankan beberapa pohon untuk di tebang.Kemudian gerobak yang sudah jadi, Juna ikatkan pada kuda yang tersisa. Untuk orang yang masih bisa berjalan, mereka akan menyusul dibelakang. Karena jumlah kuda yang tidak kuat menarik semua orang. Harus ada yang sedikit berkorban. Mereka jadi berjalan bersama Janu.“Terima kasih ya Nak, jika tidak ada dirimu mungkin kami sudah mati di tengah-tengah hutan.”“Agar jadi karma baik. Kakek selalu mengajariku untuk berbuat kebaikan dimana dan kapan pun aku berada.”“Kalau boleh tahu, asalmu dari negara mana?”Janu terdiam, tidak mungkin dia bilang bahwa dia berasal dari hutan dibelakang sana. “Saya, hanya seorang pengelana biasa yang singgah dari satu tempat ke tempa