Share

5. Penolong Tak Dikenal

Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut di wajah Nalini.

Menggelitik pipi, membuat dia terbangun.

"Ah, apakah ini surga?" Ucap Nalini dalam hati.

Dirinya tengah terbangun di sebuah pondok kecil yang menghadap hamparan padang rumput sejuk.

Seingat Nalini siang tadi terkena tusukan pedang pengawal putra mahkota.

Begitu dia hendak bangun, seluruh badanya terasa sakit.

Apalagi pada bagian dada sebelah kiri.

"Eh, kamu jangan bangun dulu!"

Seorang pria asing membantu Nalini untuk tetap berbaring diatas ranjangnya.

"Akhirnya sadar juga. Sudah lima hari sejak aku menemukan mu di pinggir sungai."

Penjelasan pria tersebut membuat Nalini terkejut.

"Racun di luka mu juga semakin membaik."

Otomatis Nalini melotot pada pria itu. Jika dia mengobati lukanya berarti dia juga membuka baju Nalini.

*Ah, maaf kurang ajar. Tapi kalau enggak diobati, kamu akan demam dan luka itu menimbulkan infeksi."

"Heh, apa kamu juga bisu? Dari tadi aku ngomong sendirian."

"Apa kamu tidak punya tatakrama ketika berhadapan seorang wanita?" Nalini langsung menyolot.

"Ternyata bisa bicara. Apa itu tatakrama, aku terbiasa hidup di alam liar."

Nalini langsung saja melihat sekitar dan tidak ada siapa pun selain mereka berdua.

"Namaku Janu. Sejak kecil aku sudah hidup di gubuk buatan Kakek."

"Lalu kemana Kakekmu? Sejak tadi aku tidak melihatnya."

"Ah, jangan tanya, dia selalu datang dan pergi sesuka hatinya."

Nalini kembali terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi setelah dia dibawa ke kediaman putra mahkota.

Walau dia tidak sadarkan diri, tapi dia bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan putra mahkot di sana.

Bersama bawahannya, raja dan permasuri serta Arkana yang turut hadir.

"Jadi asal mu dari mana dan bagaimana ceritanya kamu bisa hanyut di sungai?"

Nalini merasa kurang sopan tidak memperkenalkan diri.

"Na--"

"Na?"

"Nanda. Aku berasal dari barat dan... Ah aku tidak ingat. Mungkin kepalaku terbentur bebatuan."

Waktu yang singkat untuk Nalini menyadari keputusannya merahasiakan identitas asli.

Lebih waspada setelah beberapa kejadian yang dia alami belakang ini.

"Ahey, aku memang liar tapi aku enggak bodoh. Dikepalamu enggak ada luka."

Pria itu memang bodoh. Nalini setidaknya tahu aliran sungai yang mengairi empat negara.

Tidak ada yang mengalir dari wilayah barat ke utara.

Sumber mata air berawal dari negara bagian timur yang akan mengalir ke dua bagian negara, utara dan selatan.

Kemudian bermuara di wilayah negara bagian barat.

"Aku minum terlalu banyak air. Iya oleh sebab itu ingatanku melemah."

"Iyakah?"

Dengan memasang wajah yang meyakinkan Nalini membuat perdebatan diantara mereka meredam.

"Baiklah aku akan membuat obat dan makanan dulu."

Janu masuk sambil menenteng kantung yang terbuat dari serat kayu kemudian dianyam rapih.

Benar dia berasal dari alam liar, semua yang ada disini sangat alami dan sederhana.

"Kalau boleh tahu, kita berada dimana?"

"Hutan terlarang perbatasan dari Utara dan timur."

Dulunya dijadian tempat peperangan terakhir dunia persilatan.

Banyak korban yang berjatuhan dan dibiarkan begitu saja.

Akibatnya tidak banyak orang yang berani menginjakan kaki di hutan ini.

Mereka mempercayai bahwa arwah yang penuh dendam telah menguasai hutan.

Tidak ada yang keluar hidup-hidup dari hutan tersebut.

"Selama kamu tinggal disini, apa pernah ada orang lain yang datang atau setidaknya Kakekmu mencerita tentang tempat ini?"

"Kakek melarangku keluar dari hutan ini. Dia bilang aku akan mati."

"Berhenti berbicara tentangku. Sekarang apa rencamu?"

Janu sedikit terusik dengan Nalini yang terus bertanya hal pribadinya.

"Jangan bilang kamu akan terus-terusan tinggal disini."

Tenaga Nalini yang baru pulih langsung habis menghadapi Janu kalau seperti ini terus.

Janu lebih mirip seperti anak yang menginjak masa remaja. Tidak mengenal lelah dan keseriusan.

Padahal kalau Nalini perhatikan, sepertinya umur mereka tidak jauh beda atau bisa jadi sama.

"Baiklah, aku akan mengizinkan tinggal asal bantu aku cari bahan makanan. Itu pun untuk dirimu sendiri."

"Aku tidak--"

"Setelah sehat!"

Janu duduk dihadapan Nalini sambil menyodorkan satu buah sendok sup kedepan wajah.

"Aku tahu badanmu masih lemah. Jadi biar aku suapi."

"Ini ikan dan kentang."

Seolah Janu bisa membaca tatapan mata Nalini yang menelisik kedalam mangkuk

Dalam pikiran Nalini terus saja terbayang pesan terakhir sang kakek.

Bagaiman dia bisa menjalankan itu, jika pedang legendaris saja tidak berada padanya.

Rencana apa yang harus disusunnya untuk kembali merebut pedang legendaris.

Nalini juga merasa dirinya sendirian di dunia ini.

Semua orang yang baik semasa hidup kakeknya kini menghilang bahkan orang yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

Nalini juga tidak tahu siapa itu lawan dan kawan.

Selesai makan, Janu kembali sibuk dengan urusan beberesnya.

Dari tempat Nalini bahkan bisa mendengar suara ribut yang ditumbulkan Janu.

"Aku hampir lupa. Di tubuhmu terlilit pedang ini."

Pesang legendaris hanyut bersamanya.

Tanpa memperdulikan apapun lagi, Nalini bangkit dan mengabil pedang lengedari sercara kasar.

Bolak-Balik, Buka-tutup. Secermat itu Nalini memperhatikan pedang legendaris ditangannya.

Pedang legendaris ini, asli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status