Share

Bab 9

Penulis: Zaina Aulia
Mendengar pertanyaan seperti itu, air mata Dianti akhirnya tidak terbendung lagi. Dia menggeleng berulang kali sambil berucap, "Bukan begitu, aku nggak pernah berniat menyakiti Kakak. Dulu memang aku yang memecahkan mangkuk kaca, itu salahku. Tapi yang fitnah Kakak adalah Ratih ...."

Dianti berusaha keras untuk menjelaskan kepada Andini bahwa dia tidak pernah berniat menyakitinya. Namun, Andini hanya bersandar di pintu sambil bertanya dengan suara lembut, "Kalau begitu, kenapa tiga tahun lalu kamu nggak bilang?"

Dianti tertegun. Dia tidak langsung memahami apa maksud Andini. Namun, dia bisa melihat sudut bibir Andini terangkat. Kakaknya itu memperlihatkan senyuman penuh ejekan.

Andini melanjutkan, "Kamu bilang itu salahmu karena memecahkan mangkuk kaca, tapi kenapa tiga tahun lalu kamu nggak mengakuinya di depan Permaisuri dan Putri?"

Dianti seperti kehilangan keseimbangan. Dia melangkah mundur satu langkah sambil tergagap, "Aku ... aku nggak berani .... Itu pertama kalinya aku masuk istana, pertama kalinya aku bertemu dengan begitu banyak orang penting. Aku ... aku sangat takut waktu itu. Aku ...."

Andini lagi-lagi menyela Dianti, "Kalau begitu, sekarang kamu datang ke sini untuk bilang apa?"

Apa sebenarnya yang ingin Dianti katakan agar Andini bisa melupakan apa yang telah terjadi selama tiga tahun terakhir?

Dianti menangis tersedu-sedu. Dia menunduk tanpa berani menatap Andini, lalu berujar, "Selama Kakak mau memaafkanku, aku bersedia mengembalikan semuanya pada Kakak. Aku akan memberi tahu Ayah, Ibu, dan Kakak Abimana bahwa Kakak nggak pernah menindasku."

"Aku juga bersedia mengembalikan Paviliun Persik pada Kakak .... Bahkan Kak Rangga sekalipun, aku ... aku juga bersedia menyerahkannya kembali pada Kakak," tambah Dianti.

Mendengar sampai di sini, Andini akhirnya mengerti tujuan kedatangan Dianti hari ini. Dia menggeleng perlahan sambil mengembuskan napas berat yang terasa menyesakkan dada.

Andini menimpali, "Dianti, aku sudah bilang tadi. Ayah, ibu, dan kakakmu itu nggak ada hubungannya denganku."

"Paviliun Persik memang dibangun karena aku menyukainya, tapi semua itu adalah hasil kerja keras Adipati. Tempat itu seharusnya jadi milikmu. Bahkan kalau menginginkan Paviliun Ayana, kamu cuma perlu bilang kok," jelas Andini.

Mendengar itu, Dianti segera menjelaskan sambil menggeleng, "Aku nggak mau. Aku bukan datang untuk merebut tempat tinggal Kakak."

"Aku tahu." Andini tersenyum, tetapi ada ejekan yang jelas di dalamnya. "Kamu datang karena Rangga, 'kan?"

Apa yang disebut permintaan maaf dan memohon pengampunan, pada akhirnya semuanya hanya berputar-putar demi seorang pria.

Andini langsung menebak isi hati Dianti. Itu membuat wajah Dianti memerah seketika. Namun, dia tetap berbicara, "Aku nggak tahu apa yang kamu khawatirkan. Tiga tahun lalu sebelum aku dihukum masuk ke penatu istana, perjanjian pernikahan itu sudah jatuh padamu."

Andini melanjutkan, "Sekarang, aku masih tinggal di Kediaman Adipati cuma karena Nenek merasa kasihan padaku. Aku bahkan nggak pakai marga Biantara lagi."

"Di Kediaman Adipati ini, aku cuma orang luar. Perjanjian pernikahan antara Keluarga Maheswara dan Keluarga Biantara nggak akan pernah jatuh kepadaku," jelas Andini.

Andini menegaskan, "Selain itu barusan di hadapan Nenek, aku sudah bilang dengan sangat jelas bahwa aku nggak suka Rangga lagi. Kalau kamu datang ke sini cuma untuk memastikan hal itu, tindakanmu ini sungguh berlebihan."

"Kak, aku bukan datang untuk memastikan apa-apa," jawab Dianti dengan suara cemas. Dia merasa dirinya telah disalahpahami. "Aku benar-benar datang untuk minta maaf pada Kakak. Hanya saja ...."

Hanya saja memastikan sikap Andini memang juga salah satu tujuannya. Akan tetapi, Dianti harus mengakui ada sedikit rasa takut di hatinya.

Sikap Rangga hari ini membuatnya bingung. Dianti benar-benar khawatir bahwa pria itu sebenarnya ingin menikahi Andini sehingga dia merasa perlu segera datang ke tempat Andini.

Andini menimpali, "Bagaimanapun juga, sikapku sudah sangat jelas. Tubuh Nenek sudah jauh melemah dan aku cuma mau merawatnya dengan baik. Selain itu, aku nggak menginginkan apa pun lagi."

Andini mengutarakan sikapnya dengan tegas dan jelas kepada Dianti. Dia berharap wanita itu tidak akan terus mendekatinya lagi di masa depan. Selain Nenek, Andini tidak ingin melihat siapa pun di Kediaman Adipati ini.

Di sisi lain, Dianti berdiri di tempat. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa mengatakan apa pun. Air mata masih membekas di wajahnya, bahkan bulu matanya juga menggantungkan butiran air mata yang belum kering.

Andini berpikir jika Abimana datang pada saat ini, kemungkinan besar dia akan melakukan hal yang sama seperti tiga tahun lalu, yaitu mendorongnya ke dalam kolam teratai tanpa ragu-ragu.

Di musim dingin yang begitu dingin ini, siapa pun pasti akan sakit apabila tercebur ke dalam air. Bahkan, mungkin nantinya akan sakit selama beberapa hari.

Hanya dengan membayangkannya saja, Andini sudah merasa pusing. Dia pun menggosok pelipisnya. Kini, Andini hanya ingin segera mengusir pembuat onar ini dari hadapannya.

Andini segera berucap, "Hari ini, aku bangun terlalu pagi dan merasa sangat lelah sekarang. Kalau nggak ada urusan lain, aku nggak akan mengantarmu."

Dianti yang menyadari bahwa dirinya telah diusir, tentu saja tidak bisa tetap tinggal lebih lama lagi. Dia menjawab sambil mengangguk pelan, "Kalau begitu, Kakak istirahatlah dengan baik. Aku ... aku pamit dulu."

Setelah berbicara, Dianti memberi salam sopan lalu berbalik dan berjalan keluar. Tak lama setelah Dianti keluar, Laras masuk ke dalam ruangan.

Pelayan itu terlihat penasaran. Laras terus melirik ke arah punggung Dianti yang pergi sambil berujar, "Nona, apa yang tadi dibicarakan Nona Dianti padamu? Dia terlihat seperti habis menangis. Matanya merah banget."

Andini tidak ingin repot-repot menjawab Laras. Dia langsung berjalan ke dalam ruangan sambil berujar, "Kalau kamu begitu penasaran, kenapa nggak langsung tanya padanya saja?"

Namun, Laras langsung mengikutinya dengan sikap tidak tahu malu. Dia menjelaskan, "Aku ini pelayan Nona. Mana mungkin aku tanya langsung pada Nona Dianti?"

Begitu Laras selesai berbicara, langkah Andini langsung berhenti. Dia berbalik dan menatap Laras dengan serius. Di sisi lain, Laras terkejut. Matanya berkedip beberapa kali sambil bertanya, "Nona, ada apa?"

Andini memberi tahu, "Aku tahu majikanmu mengutusmu ke sini untuk melayaniku pasti dengan tujuan tertentu. Aku nggak akan mempersulitmu, tapi kamu juga nggak perlu terus mengingatkanku bahwa kamu adalah pelayanku. Karena aku tahu kamu bukan."

Andini yang telah bertahan tiga tahun di penatu istana, tahu bahwa di tempat itu, semua orang di sekitarnya adalah musuh. Itu sebabnya, dia sudah terbiasa berbicara dengan nada sedingin itu bahkan cenderung tajam.

Andini sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya akan menyakiti hati seorang pelayan. Mata besar Laras tiba-tiba dipenuhi air mata.

Berbeda dengan Dianti, entah kenapa hati Andini agak melunak ketika melihat Laras seperti ini. Namun, dia tidak tahu apakah sebaiknya dia menghiburnya atau tidak.

Akhirnya, Andini hanya berujar sambil mengernyit, "Aku mau tidur sebentar. Kamu lakukan saja pekerjaanmu!"

Setelah mengatakan itu, Andini berbalik dan masuk ke dalam kamar. Sementara itu, Laras hanya berdiri di tempat. Dia memandang Andini yang menghalangi dirinya dari luar. Akhirnya, air matanya pun jatuh.

Tidak lama kemudian, Laras menyeka air matanya. Wajah yang sebelumnya penuh dengan rasa sedih, kini kembali dihiasi ekspresi tidak peduli.

Laras berpikir, Andini telah mengalami banyak penderitaan di penatu istana selama tiga tahun. Jika sikapnya menjadi sedikit dingin, itu sebenarnya wajar. Luka Andini begitu banyak. Kalau dia tidak sedikit keras hati, mungkin dia tidak akan bisa bertahan hidup.

Meskipun telah disalahpahami, Laras tetap percaya bahwa selama dia tulus terhadap Andini, suatu hari nanti nonanya pasti akan melihat ketulusannya.

Dengan semangat baru, Laras berujar ke arah kamar, "Kalau begitu, Nona istirahatlah dengan baik. Aku akan berjaga di luar. Kalau ada apa-apa, panggil aku saja."

Mendengar kata-kata itu, langkah Andini sedikit terhenti. Di suatu tempat di hatinya, mengalir kehangatan yang lembut. Dia tidak tahu apa perasaan itu, tetapi kekesalan di hatinya karena Dianti tadi berangsur-angsur mereda.

Andini menarik napas panjang, lalu menuju ranjang untuk beristirahat. Namun, tiba-tiba terdengar teriakan panik dari luar. "Gawat! Cepat datang, Nona Dianti jatuh ke dalam air!"
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1097

    Sementara itu, Aiyla berdiri di samping, menatap Andini yang melangkah pergi dengan cemas. Keningnya pun tak sadar berkerut.Setelah berpikir sejenak, dia tetap merasa khawatir. Dia buru-buru berkata kepada Laras, "Aku juga pergi dulu!"Dia harus memberi tahu Kalingga soal ini.Saat Andini memasuki istana, matahari hampir terbenam. Sisa sinar senja di langit berwarna merah darah, memantul di atas jalan batu, membentuk retakan yang menyerupai jaring laba-laba berwarna merah.Andini melangkah di atas pola-pola itu, hatinya semakin gelisah. Dia buru-buru masuk ke kamar Haira, lalu melihat Harafah sedang berlutut di luar. Tubuhnya yang tua sedikit bergoyang, entah sudah berlutut berapa lama.Andini mengerutkan kening. Sementara itu, seorang pelayan masuk dan melapor. Tak lama kemudian, terdengar suara Haira memanggil. "Cepat biarkan Nona Andini masuk!"Seolah-olah baru menyadari kedatangan Andini, Harafah menoleh dan memandangnya. Andini menatapnya sejenak, lalu masuk ke kamar.Putri Kecil

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1096

    Aiyla menarik Andini dan berbicara panjang lebar. Mungkin karena selama lebih dari sepuluh tahun di suku Tru dia selalu mengajak orang-orang di sekitarnya berbicara, jadi sekarang saat bersama Andini, dia selalu punya banyak topik untuk dibicarakan.Mereka berbicara tentang ternak di suku Tru, lalu beralih ke bintang-bintang di langit. Mereka juga membahas tentang kakak laki-laki yang memaksanya menikah demi aliansi, hingga membicarakan Kaisar Negara Darsa.Dalam pembicaraan itu, wajar jika kadang ada sedikit ucapan yang tidak sopan. Namun, untungnya tempat ini adalah Kediaman Pangeran Surya. Selama Surya pergi meninggalkan ibu kota, semua orang yang tidak relevan di kediamannya sudah disingkirkan.Bahkan jika ada yang mendengar obrolan mereka, itu sama sekali tidak masalah. Keduanya berbincang dari satu topik ke topik lain selama empat jam penuh dan Aiyla sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pergi.Andini juga ingin membuat Aiyla tinggal lebih lama, agar malam itu mereka bi

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1095

    Tubuh Kresna yang tampak agak bungkuk tiba-tiba mematung, bahkan napasnya pun ikut tertahan sesaat. Kemudian, dia menjawab pelan, "Mm."Sementara itu, Andini sudah lebih dulu melangkah pergi. Ucapannya tadi terdengar seperti sekadar sopan santun kepada orang yang lebih tua, tetapi hal itu justru membuat Kresna berlinang air mata.Sesudah meninggalkan Kediaman Adipati, Andini pun kembali ke Kediaman Pangeran Surya. Dia pernah berjanji pada Surya, selama Surya meninggalkan ibu kota, dia akan tinggal dengan patuh di kediaman, tidak ke mana-mana.Karena itu, hari ini Aiyla datang menemuinya. Dia mengenakan pakaian khas Negara Darsa. Gaun panjang berwarna putih dilapisi dengan kain tipis kuning muda, membuat kulitnya yang memang seputih salju tampak semakin lembut dan menawan. Dari kejauhan, dia tampak seperti bidadari.Andini pun tak bisa menahan diri untuk berdecak kagum. Wanita suku Tru ini memang cantik sekali!"Andin!" Aiyla berlari kecil dengan gembira menghampiri Andini."Aku bawakan

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1094

    "Andin!" Kirana memanggil sambil melangkah cepat menuju Andini. Ternyata dia benar-benar mengenali putrinya.Andini merasa linglung untuk sesaat. Bagaimanapun, sudah lama sekali Kirana tidak bisa mengenali orang. Kali ini, Kirana bisa mengenalinya.Saat Andini masih dalam kebingungan, Kirana sudah mendekat, lalu menggenggam erat tangannya. "Andin, akhirnya kamu pulang! Selama kamu nggak ada di rumah ini, Ibu sangat merindukanmu!"Andini berniat mencari tahu tentang keadaan Kirana, jadi dia bertanya, "Kenapa aku nggak berada di rumah?"Mendengar itu, Kirana tertegun. Sepertinya dia lupa alasannya, kedua matanya tampak kosong. Ya, dia memang tidak ingat.Andini lalu bertanya lagi, "Bukankah kamarku dulu di Paviliun Persik? Kenapa sekarang aku harus tinggal di Paviliun Ayana?"Kirana refleks menoleh ke belakang, seakan-akan dia sendiri tidak tahu apakah tempat ini Paviliun Ayana atau Paviliun Persik."Dianti di mana?"Kirana mengerutkan kening, wajahnya penuh kebingungan. "Di ... Dianti?"

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1093

    Begitu bangun tidur, Andini sudah mendengar Laras berkata bahwa Surya sejak pagi-pagi sekali telah meninggalkan ibu kota. Hatinya seketika merasa agak kehilangan. Namun mengingat semalam mereka sudah saling mencurahkan perasaan, hatinya kini sedikit terhibur.Setelah selesai sarapan, Andini pergi ke kediaman Adipati Kresna bersama Laras.Adipati Kresna sudah berangkat menghadiri sidang pagi di istana. Abimana yang kini telah menjabat sebagai komandan dan memimpin pasukan besar, tentu harus tetap berada di lapangan pelatihan.Maka di kediaman ini, hanya tersisa Kirana yang kini sudah tidak lagi waras.Mungkin karena keadaan kediaman Kresna kini sudah tak lagi semegah dulu, oleh sebab itu ketika sang kepala pelayan tua melihat Andini, matanya langsung memerah. "Nona ... Nona akhirnya pulang!"Andini paling tidak tahan melihat orang tua yang meneteskan air mata. Dia pun buru-buru berkata, "Aku datang untuk memeriksa nadi Nyonya Kirana."Mendengar panggilan Andini yang tetap terasa asing,

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1092

    Mendengar itu, Andini girang bukan main. "Benarkah?! Lembah Raja Obat sudah berhasil menemukan penawar Racun Es? Bagus sekali! Aku akan segera berkemas!"Sambil berkata demikian, dia pun hendak bergegas keluar.Namun, Surya tiba-tiba bangkit berdiri dan memanggilnya, "Aku akan pergi sendiri."Langkah dan senyum Andini langsung terhenti. Dia menoleh pada Surya dengan penuh keterkejutan dan kebingungan. "Pergi sendiri?""Ya," Surya dengan tenang. "Medan di Lembah Raja Obat sangat rumit. Kalau aku sendiri yang pergi, akan jauh lebih mudah."Andini menatapnya, lalu berkedip beberapa kali. "Apakah itu berbahaya?"Surya sempat terdiam. Dia tidak menyangka, hanya dengan kalimat singkat itu, Andini langsung menangkap maksudnya.Sebenarnya memang tak sulit ditebak. Surya tidak pernah menganggapnya sebagai beban atau masalah. Namun, ucapannya kali ini justru menyiratkan bahwa membawa Andini ikut serta hanya akan menambah risiko. Itu berarti, memang berbahaya.Melihat wajah Andini yang dipenuhi r

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status