Share

Bab 8

Author: Zaina Aulia
Di sisi lain, Andini baru saja membantu Ainun kembali ke kamar. Tiba-tiba, neneknya jatuh sakit. Seperti yang Kirana katakan sebelumnya, kondisi tubuh Ainun memang tidak sebaik dulu.

Meskipun hari ini Ainun sudah berusaha mengendalikan emosinya, kegembiraan dan kesedihan yang bertubi-tubi masih terlalu berat baginya. Setelah berbaring, napasnya langsung terdengar berat dan terengah-engah.

Untungnya pelayan Ainun, Farida, sudah mempersiapkan segalanya. Dia sebelumnya telah memanggil tabib kediaman untuk berjaga di luar kamar.

Begitu Ainun berbaring, tabib segera mulai memberikan terapi akupunktur dan pijatan. Setelah 30 menit, kondisi Ainun perlahan stabil kembali.

Meski tidak terlalu berbahaya, Andini tetap merasa panik melihat situasi itu. Dia berdiri di sisi ranjang dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Melihat wajah Andini yang penuh rasa cemas, Ainun yang sedang bersandar di kepala ranjang memanggilnya dengan lembut.

Hidung Andini memerah. Dia khawatir jika terlalu emosional, hal itu akan membuat Ainun kembali sakit. Dengan sekuat tenaga, dia menahan air matanya dan berjalan mendekat ke sisi ranjang.

Ainun bertanya sambil tersenyum lembut, "Takut ya?"

Andini menarik napas dalam-dalam. Dia menggenggam tangan Ainun erat-erat sambil berujar, "Nenek sudah berjanji akan panjang umur." Bagi Andini, kini hanya Ainun yang dia miliki.

Ainun memandang cucunya dengan tatapan penuh kasih sayang, lalu menimpali, "Nenek juga ingin panjang umur agar selalu bisa melindungi Andin ...."

Namun, Ainun sadar dirinya mungkin tidak akan mampu melindunginya lebih lama. Memikirkan hal itu, dia tiba-tiba bertanya, "Andin, gimana kalau Nenek mencarikanmu pasangan yang baik?"

Ainun ingin memanfaatkan sisa waktu ketika dirinya masih cukup sehat dan punya pengaruh di keluarga ini untuk mencarikan pasangan yang baik bagi Andini. Dengan begitu, dia bisa merasa tenang untuk meninggalkannya nanti.

Andini mengerti maksud Ainun, tetapi dia tetap menggeleng dan menunduk. Dia menjelaskan, "Aku cuma mau jaga Nenek."

Tiga tahun ini, Andini telah melihat banyak hal dengan jelas. Bahkan keluarga yang telah bersamanya selama 15 tahun bisa meninggalkannya dalam semalam. Bagaimana mungkin dia bisa memercayakan hidupnya pada seseorang yang asing, apalagi kepada seseorang yang disebut sebagai suami?

Andini berpikir, sepanjang hidupnya dia hanya ingin menemani Ainun. Ketika Ainun telah tiada, dia akan meninggalkan Kediaman Adipati. Bahkan jika dia harus menjalani hidup sendirian di biara, itu jauh lebih baik daripada terus terlibat dengan orang-orang di keluarga ini.

Ainun tahu bahwa Andini memiliki sifat keras kepala sejak kecil. Apa yang tidak dia inginkan, tidak ada yang bisa memaksanya. Akhirnya, dia hanya bisa menghela napas ringan dan tidak membicarakan hal itu lagi.

Andini terus menemani Ainun sampai dia tertidur, barulah dia meninggalkan kamar. Tidak lama setelah dia kembali ke Paviliun Ayana, Laras datang melapor, "Nona, Nona Dianti ingin bertemu denganmu."

Mendengar itu, alis Andini sedikit berkerut. Sebelum dia sempat menjawab, Laras melanjutkan, "Nona Dianti datang seorang diri."

Mendengar itu, Andini berujar sambil tersenyum sinis, "Dia yang menyuruhmu bilang begitu?"

Laras mengedipkan matanya dengan polos, lalu mengangguk sebelum menambahkan, "Kalau Nona nggak mau menemuinya, aku bisa langsung menolak."

Pelayan Andini bahkan tahu bahwa dia tidak ingin bertemu Dianti. Sayangnya, Dianti sendiri tidak menyadarinya. Bahkan, dia sengaja menyuruh Laras menekankan bahwa pelayan yang pernah memfitnah Andini menghancurkan mangkuk kaca tidak ikut datang kali ini. Sungguh konyol.

Memang benar bahwa pelayan yang memfitnahnya dulu adalah pelayan Dianti. Namun, orang yang benar-benar memecahkan mangkuk kaca itu tetapi tidak berani mengakuinya. Orang yang diam-diam menyetujui pelayannya untuk memfitnah dirinya adalah Dianti sendiri.

Jadi, Andini benar-benar tidak mengerti. Apa yang membuat Dianti berpikir bahwa dia akan mau menemuinya?

Andini pun berujar dengan nada dingin, "Bilang saja aku sudah tidur."

"Baik!" Laras segera keluar. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan ekspresi ragu dan sedikit merasa tidak enak.

Laras melaporkan, "Nona, Nona Dianti bilang dia datang khusus untuk minta maaf padamu. Kalau kamu nggak mau menemuinya, dia akan terus berdiri di luar sampai kamu bersedia. Tapi, sepertinya sebentar lagi akan turun salju."

Sebenarnya, Laras sendiri tidak tahu alasan Dianti begitu bersikeras ingin menemui Andini. Namun mengingat bahwa dia adalah kesayangan Keluarga Adipati, jika dia benar-benar terkena salju di luar, entah bagaimana gosip akan beredar di keluarga ini. Yang pasti, itu hanya akan merugikan Andini.

Andini mengernyit, lalu menghela napas lelah sebelum akhirnya berucap, "Ya sudah, suruh dia masuk."

"Baik." Laras segera pergi. Tidak lama kemudian, Dianti memasuki ruangan.

Saat itu, Andini sedang duduk di dekat meja teh di ruang luar sambil mengoleskan salep untuk radang dingin pada punggung tangannya.

Dianti langsung melihat tangan Andini yang membiru dan membengkak. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia maju beberapa langkah dan memberi salam dengan sopan, "Salam pada Kakak."

Andini bahkan tidak mengangkat matanya. Dia hanya membalas, "Duduklah." Nadanya terdengar lembut, tetapi ada dingin yang tajam di dalamnya.

Dianti tidak duduk. Sebaliknya, dia melangkah maju sambil berujar, "Aku akan bantu Kakak mengoleskan salep."

Sambil berbicara, Dianti mengambil salep dari meja dan hendak mengoleskannya pada tangan Andini. Namun, Andini menarik tangannya dan menyembunyikannya di dalam lengan baju.

Akhirnya, Andini mendongak untuk menatap Dianti. Dia mengejek sambil tersenyum, "Di tengah cuaca sedingin ini, Nona Dianti bukannya menetap di kamar sendiri, malah datang ke tempatku. Ada keperluan apa?"

Mungkin karena sikap dingin Andini, Dianti terlihat agak tertekan. Matanya sedikit memerah. Dia berdiri di tempat sambil berbicara dengan lembut, "Aku datang untuk minta maaf pada Kakak. Semua kesalahan di masa lalu adalah kesalahanku."

"Kalau aku nggak memecahkan mangkuk kaca itu, Kakak nggak akan mengalami begitu banyak penderitaan. Kakak boleh memarahi atau memukulku sesuka hati. Yang penting amarahmu bisa mereda," tambah Dianti.

Dianti terlihat seolah-olah ingin bersujud untuk memohon maaf. Kata-katanya begitu tulus dan penuh rasa penyesalan.

Namun, Andini hanya menatapnya dengan dingin. Baru setelah Dianti selesai berbicara, dia bertanya, "Menurutmu, kesalahanmu cuma karena memecahkan mangkuk kaca itu?"

Satu kalimat itu langsung membuat Dianti terdiam. Andini perlahan berdiri, lalu berjalan menuju pintu. Dia menatap ke arah kolam teratai yang sudah membeku di luar. Hanya ada beberapa batang kering yang tersisa berdiri di atasnya.

Andini menarik napas dalam-dalam. Udara dingin yang menusuk langsung masuk ke paru-parunya dan membuat auranya menjadi makin dingin.

Andini menjelaskan, "Kamu adalah putri sah Keluarga Adipati. Lima belas tahun sebelumnya, aku sudah rebut semua kemewahan dan kebahagiaanmu. Aku sadar akan hal itu dan merasa bersalah. Aku tahu bahwa Adipati dan Nyonya Kirana seharusnya menyayangimu."

"Aku tahu bahwa Tuan Abimana seharusnya melindungimu. Bahkan paviliun yang paling aku sukai, Paviliun Persik, seharusnya milikmu. Dianti, saat kamu kembali ke kediaman ini, aku merasa sangat bersalah padamu," ujar Andini.

Andini melanjutkan, "Aku bahkan berpikir untuk kembali ke tempat orang tua kandungku. Tapi, Adipati bilang orang tua kandungku sudah meninggal dan memintaku untuk tinggal di sini. Karena itu, aku sangat berterima kasih padanya."

"Aku berjanji dalam hati untuk hidup berdamai denganmu. Meski merasa nggak adil, aku tetap berusaha ...." Berbicara sampai di sini, Andini berbalik dan menatap Dianti. Dia menambahkan, "Coba tanya dirimu sendiri, apa aku pernah menyakitimu?"

Mata Dianti memerah, seolah-olah air matanya bisa jatuh kapan saja. Untuk sesaat, Andini merasa lelah. Apabila anggota keluarga Adipati yang lain melihat ini, mereka pasti akan berpikir bahwa dia telah menindas Dianti.

Sebelumnya, Abimana langsung menendangnya hingga jatuh dari tangga hanya karena sikap Dianti yang seperti ini. Padahal, Andini sama sekali tidak melakukan apa-apa.

Hati Andini pun terasa makin dingin. Dia memandang wanita yang hampir menangis itu dengan tatapan dingin, lalu bertanya dengan tegas, "Kalau begitu, kenapa kamu harus menyakitiku?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1187

    Putra Mahkota menurunkan pandangan menatap Andini, lalu mendengus dingin. "Kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?"Andini mengangguk sopan. "Saya tahu, ini tentang urusan pertukaran darah untuk Putri Safira."Nada suara Putra Mahkota menjadi lebih berat. "Aku dengar dari Permaisuri, katanya kamu menjamin dengan nyawamu sendiri bahwa hal ini sama sekali nggak berbahaya?"Mendengar itu, Andini tampak sedikit terkejut. Dia mendongak cepat, menatap Putra Mahkota.Putra Mahkota menyadari perubahan ekspresinya, lalu mengernyit. "Kenapa?"Andini akhirnya menjawab pelan, "Saya nggak berani menipu. Yang saya katakan sebenarnya adalah pertukaran darah ini memang berisiko, tapi saya memiliki 90% keyakinan kalau semua akan berjalan lancar."Sisa 10% yang tersisa adalah kemungkinan kecelakaan. Bagi Putra Mahkota, bagaimana mungkin dia bisa menerima adanya kemungkinan kecelakaan? Wajahnya langsung menegang.Andini melanjutkan, "Tapi benar, saya memang berkata akan menjamin dengan nyawa sendiri. P

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1186

    Mendengar itu, wajah Putra Mahkota seketika menunjukkan ketidakpercayaan. Dia menatap Permaisuri untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya bertanya dengan suara rendah, "Jadi, di hati Ibu, aku nggak sebanding dengan Safira?"Permaisuri tertegun, seolah-olah baru menyadari apa yang telah dia katakan barusan. Dia menarik napas dalam-dalam, suaranya pun melembut tanpa sadar. "Anakku, Ibu nggak bermaksud begitu. Tapi Andini telah bersumpah dengan nyawanya sendiri bahwa pertukaran darah itu aman! Masa kamu tega melihat Safira mati begitu saja?""Nggak perlu Ibu lanjutkan!" Putra Mahkota memotong ucapan Permaisuri, memalingkan wajahnya tanpa menatap sang ibu lagi. "Aku ingin bertemu dengan Andini."Permaisuri paham, Putra Mahkota telah setuju untuk melakukan pertukaran darah. Hanya saja, dia ingin menemui Andini terlebih dahulu untuk memastikan semuanya. Permaisuri pun perlahan mengangguk. "Baiklah."Setelah itu, dia berbalik dan pergi. Pintu ruang kerja kekaisaran terbuka, lalu kembali tertut

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1185

    Mendengar itu, Permaisuri tak kuasa mendengus. "Apa lagi yang bisa menjadi pertimbangannya? Baru beberapa hari duduk di posisi itu, dia sudah merasa hebat sampai berani melawanku?"Selesai berkata, Permaisuri tiba-tiba berdiri. "Aku ingin lihat seberapa sibuk dia sebenarnya!"Tak lama kemudian, Permaisuri beserta orang-orangnya datang ke ruang kerja kekaisaran. Tanpa menunggu pengumuman, mereka langsung mendorong pintu masuk.Suara mendadak itu mengejutkan "Kaisar" yang sedang mengurusi urusan negara. Harko yang melayani di samping juga tercengang, lalu secara naluriah menoleh ke arah Kaisar dan mundur ke samping."Kaisar" berdiri, dahinya berkerut tidak senang. Permaisuri hanya membawa pelayan senior masuk, meninggalkan yang lain di luar ruang kerja. Karena itu, keempat orang di dalam ruangan itu tahu bahwa "Kaisar" sebenarnya adalah Putra Mahkota.Meskipun begitu, Putra Mahkota tetap bertanya dengan nada berat, "Permaisuri, apa maksud kedatanganmu?"Mendengar panggilan itu, kemarahan

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1184

    Permaisuri tiba-tiba mengerutkan kening. "Lalu, bagaimana? Pelayan senior memang nggak paham ilmu pengobatan, juga nggak mungkin bisa membuat racun yang mirip dengan Racun Klenik! Apa pun yang kamu katakan, aku nggak akan percaya kalau pelayan senior akan berkhianat padaku!"Berbeda dari kemarahan Permaisuri, Andini tampak sangat tenang. Ditambah lagi dengan sikapnya yang tampak lemah, justru membuat Permaisuri merasa Andini sama sekali tidak bersedih atas kejadian ini.Andini perlahan mengangguk dan berkata, "Permaisuri memiliki seseorang yang begitu bisa dipercaya, tentu itu hal yang baik. Hanya saja, saya nggak mengerti hubungan kepercayaan antara Permaisuri dan pelayan senior. Tapi di saat genting seperti ini, berhati-hati sedikit lebih baik daripada menyesal di kemudian hari."Kemarahan Permaisuri sedikit mereda. Dia mengangguk pelan. "Aku mengerti maksudmu. Insiden keracunan yang menimpa sang Putri pasti akan kuselidiki. Tapi sekarang yang paling penting adalah kesehatan sang Put

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1183

    Andini menghela napas pelan. "Hamba sudah memikirkannya semalaman. Putri Safira memang keras kepala dan manja, tapi racun dari Lembah Raja Obat bukanlah sesuatu yang mudah diperoleh.""Siapakah orang yang mampu mendapatkan racun seperti itu dan sekaligus memiliki kebencian begitu dalam terhadap sang Putri, sampai tega ingin menghabisi nyawanya? Atau ... mungkinkah tujuan orang itu sebenarnya bukan sang Putri?"Mendengar perkataan itu, mata Permaisuri yang semula letih tiba-tiba memancarkan cahaya tajam. Nada bicaranya berubah, menyiratkan bahaya yang tersembunyi. "Maksudmu, orang yang meracuni Putri sebenarnya menargetkanku?"Andini mengangguk perlahan, berpura-pura berwibawa sambil melirik sekeliling. Permaisuri segera mengerti maksud pandangannya dan mengisyaratkan semua pelayan untuk mundur. Namun, dia tetap membiarkan pelayan senior yang selalu berada di sisinya tetap tinggal.Andini pun menatap pelayan senior itu dengan sengaja. Pelayan itu langsung menunjukkan wajah tak senang da

  • Putri Pengganti Untuk Keluarga Adipati   Bab 1182

    Malam itu, Andini bersandar di tempat tidur. Dia menatap ke luar jendela sembari mendengarkan langkah tergesa-gesa yang sesekali lewat di luar, hingga fajar menyingsing.Ketika Andini keluar dari kamar, barulah dia mendengar kabar bahwa Hasan telah dihukum mati oleh Permaisuri pada malam sebelumnya.Semuanya karena penawar racun yang diberikan kepada Racun Klenik adalah hasil bujukan Hasan kepada Permaisuri. Meskipun di antara yang membujuk juga ada seorang pelayan senior, pelayan itu dibawa langsung oleh Permaisuri dari Keluarga Wiryono. Bagaimana mungkin dia bisa dibandingkan dengan Hasan?Terlebih lagi, pelayan itu tidak mengerti ilmu pengobatan, kata-katanya bisa dianggap sebagai omong kosong. Sedangkan Hasan seharusnya tahu jelas. Justru karena statusnya sebagai "tabib istana", Permaisuri jadi percaya pada perkataannya.Maka dari itu, Permaisuri menimpakan seluruh kesalahan kepadanya.Ketika Andini tiba di tempat itu, dia masih melihat darah berceceran di lantai. Dikabarkan bahwa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status