Selamat malam, Kak. Lanjut update lagi, ya! Semoga berkenan, kalau ramai, dobel up.😊
Pov author Mereka terdiam tenggelam dalam pikiran masing-masing, setelah gagal mendapatkan donor darah yang sesuai untuk Agung. Stok PMI yang sedang kosong semakin menyulitkan. "Ka, coba tanya di grup keluarga besar Kusumo apa ada yang bisa membantu?" titah Sri pada Eka. Grup aplikasi berwarna hijau itu memang menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan keluarga mendiang suaminya. Golongan darah Agung sendiri menurun dari sang ayah, AB dengan rhesus negatif yang tergolong langka. Eka hanya menggeleng pelan. "Sudah, Bu! Tapi ndak ada yang cocok katanya!" Sri mengusap kasar wajahnya, "Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang mau menolong?" "Kau sudah hubungi para pegawai? Tetangga rumah?" "Sudah, Bu! Belum ada kabar!" "Bagaimana ini? Kelamaan kalau harus menunggu!" Sri masih mondar mandir di depan ICU. Melati hanya bisa melihat dari kejauhan, meski ibu mertua sudah mengusirnya. "Mela, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kasihan Aruna, dia pasti capek!" Anwar memegang p
pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant
Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi
Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be
"Pergi dari sini! Bawa anakmu yang sakit-sakitan itu!" Suara Sri, wanita yang disebut Melati sebagai ibu mertua, menggelegar bak petir. Bergema dari sudut demi sudut ruangan. "Susah payah aku membesarkan Agung sendirian, bukan untuk menikahi perempuan sepertimu. Sudah miskin, tak berpendidikan, cuih .... " Ibu mertua yang dihormatinya selama ini, membuang ludah tepat di hadapan Mela, begitu ia biasa dipanggil. "Ya Allah, Bu. Apa salahku? Aku menikah dengan Mas Agung karena kami saling mencintai. Aku juga tidak pernah memaksa anak ibu untuk menikahku." Bayi dalam gendongannya menangis kencang, mendengar suara seseorang yang harusnya dipanggil nenek. Tetapi sikap Sri kepada Aruna bukan sikap seharusnya nenek kepada cucu, apalagi kepada Mela, menantunya. "Ha ... ha ... ha. Cinta kau bilang?!" Tawa itu terdengar seperti ejekan. "Tahu apa kau soal cinta? Apa bisa kau makan pakai cinta? Yang ada uang anakku, kau habiskan." Kini telunjuk wanita paruh baya itu mengarah pada Mela
Bab 2 Pov Melati"Oe ... oe ... oe ...."Suara ribut dari tadi membangunkan Aruna, mata bulatnya mengerjap. Bening, suci tanpa dosa.Betapa cantiknya anak ini. Seperti pada anak perempuan lainnya, Aruna mewarisi setiap lekuk wajah sang ayah. "Maafkan ibu, Nak! Sekarang ibu belum bisa membelamu, tapi kelak kamu sendiri yang harus membela harga dirimu! Jangan takut sayang. Ibu tidak akan pernah ninggalin kamu." Kubisikkan kata demi kata di telinganya. Walau ia masih belum mengerti apa-apa, tapi aku yakin doa seorang ibu menembus pintu langit. "Selamat tinggal, Mas. Jika satu hari penyesalan itu datang, jangan pernah mencariku lagi!" Kutatap Mas Agung untuk terakhir kali.Tak kuhiraukan ibu mertua yang masih duduk melipat tangan di dada. Kutengok kembali rumah besar di belakangku, mungkin ini yang terakhir kalinya. Esok, takkan kulihat lagi tempat dimana pernah ada tawa dan tangis di berbagai sudutnya. ----------------------------------------------Langit diluar semakin menggela
Bab 3Kuseret langkah kaki yang terasa berat lalu mengetuk pintu pelan.Malam sudah semakin larut, ditambah suasana hujan menambah kenyamanan untuk tidur. Mungkin orang-orang di dalam juga, sampai aku mengetuk berkali-kali, pintu itu belum terbuka. " Mungkin sudah nasib kita, Nduk! Tidur di luar begini."Aku terkekeh menertawakan nasibku sendiri. Tapi takdir tidak selamanya buruk, lewat beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat.Krek...."Waalaikumsalam." Kini satu wajah muncul dari balik pintu sambil menjawab salam. Kulihat anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan aneh. Mungkin dia bingung bagaimana ada seorang perempuan datang malam-malam, sudah hujan membawa tas pula. "Cari siapa, ya?" tanyanya kemudian. Sepertinya dia penghuni baru di panti, saat aku meninggalkan tempat ini tiga tahun lalu, dia belum ada. Aku mengusap pelan rambutnya."Namamu siapa? Kamu anak baru ya, di sini?" Dia tersenyum, pandangannya beralih pada Aruna yang men
Bab 4Bu Ratmi melepaskan pelukannya, lalu menghapus airmata di pipi ini. " Sudah! Jangan menangis, kamu pasti lelah! Dimana cucu ibu tadi? Rendi adiknya dibawa ke sini," panggilnya pada anak laki-laki tadi. Entah kemana dia menggendong Aruna, yang pasti sudah tak terdengar lagi tangisannya. Tak lama, suara bayi yang sedang tertawa semakin terdengar. " Apa ya, Dik? Ibu ini panggil-panggil, kita kan lagi asyik mainan." Wajah lucu itu membuat Aruna tertawa lagi. Anak itu segera menyerahkan Aruna kepada Ibu. " Ini ya, cucu Nenek yang cantik? Apa sayang? Kamu pasti kedinginan ya, jalan-jalan ke sini." Ibu seakan bisa berbicara dengan Aruna sehingga bayi berumur sembilan bulan itu tergelak. " Lucunya cucu Nenek. Siapa namanya Mel?" Ibu menoleh kepadaku. " Namanya Aruna, Bu." Belum sempat aku menjawab, sudah di dahului anak yang tadi. " Kamu sendiri namanya siapa? Dari tadi Mbak tanya kok nggak dijawab?" Aku berdiri lalu duduk di sampingnya. " Namanya Rendi, Nduk. Baru setah