Happy ReadingNara berjalan melewati koridor kantornya dengan langkah cepat. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap detik terasa lambat, dan pikirannya terus menerawang ke sosok yang sudah berminggu-minggu tidak ia lihat.Ia melirik ponselnya. Tidak ada pesan dari Rehan. Tidak ada panggilan tak terjawab. Sama seperti beberapa hari terakhir.Sesampainya di apartemen, ia melempar tasnya ke sofa dan berjalan ke balkon. Angin malam menyentuh wajahnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaan yang tak menentu.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu menginterupsi pikirannya. Dengan sedikit enggan, Nara berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ia membeku di tempat.Di hadapannya, berdiri Rehan dengan senyum khasnya. Namun bukan hanya kehadirannya yang membuat Nara terdiam. Di belakang Rehan, seorang pria membawa sebuah bucket mawar raksasa—seribu tangkai, mungkin lebih. Warna merahnya begitu mencolok, hampir seperti lautan kel
Happy ReadingNara menatap Rehan dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin percaya, ingin meyakinkan dirinya bahwa kali ini berbeda. Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Rehan terasa seperti gema dari masa lalu yang terus menghantuinya."Tidak lama, hanya beberapa minggu," kata Rehan, seolah ingin meyakinkannya.Tapi Nara sudah sering mendengar janji-janji itu.Malam itu, mereka tetap tinggal di villa. Namun, tidak ada lagi tawa riang seperti sebelumnya. Nara mencoba menahan emosinya, tapi ia tidak bisa mengusir bayangan bahwa mungkin kali ini Rehan tidak akan kembali.Keesokan harinya, Rehan berangkat ke London. Nara tidak mengantarnya ke bandara, memilih untuk tetap tinggal di villa sendirian. Ia ingin menikmati sisa waktu di tempat yang seharusnya menjadi kenangan indah bagi mereka berdua.Namun, hanya beberapa hari setelah kepergian Rehan, sebuah kejadian aneh terjadi.Malam itu, Nara terbangun oleh suara ketukan di pintu villa. Ia melirik jam dinding—pukul dua dini hari.
Happy ReadingMalam itu, Nara duduk di ruang tamu dengan cahaya lampu yang temaram. Surat misterius itu masih tergenggam di tangannya. Pikirannya kalut, dadanya sesak oleh berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Siapa yang mengirimkan surat itu? Mengapa Rehan tidak menjawab teleponnya? Dan yang paling menakutkan—apakah Rehan benar-benar akan pergi dan tak kembali?Ponselnya bergetar di atas meja. Dengan cepat, Nara meraihnya dan melihat nama Rehan di layar. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.“Rehan, di mana saja kau? Aku sudah mencoba menghubungimu berkali-kali!” suara Nara terdengar putus asa.Rehan menghela napas dari seberang telepon. “Aku sibuk, Nara. Banyak urusan yang harus kuselesaikan.”“Kau bilang hanya pergi beberapa minggu, tapi sejak kepergianmu, aku merasa ada yang tidak beres. Dan sekarang—” Nara menggenggam surat hitam itu erat-erat, “—aku menerima surat ini.”Rehan terdiam sesaat. “Surat? Surat apa?”Nara membaca isi surat itu dengan suara gemetar. “Kau sehar
Happy ReadingNara menggenggam surat itu erat-erat, matanya terpaku pada kalimat yang tertulis dengan tinta hitam tebal. "Jangan menyesal ketika semuanya terungkap. Kau tidak akan bisa kembali." Jantungnya berdebar kencang, sementara pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Siapa pria tadi? Mengapa ia terus menerima surat misterius ini? Dan yang paling penting, apa yang sebenarnya terjadi dengan Rehan?Dengan tangan gemetar, Nara meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Rehan lagi, tetapi panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara. Ia merutuk pelan, merasa frustrasi dengan semua yang terjadi. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkan rasa takut menguasainya. Ia harus melakukan sesuatu.Nara kembali menatap surat di tangannya, lalu membandingkannya dengan surat pertama yang diterimanya. Ada sesuatu yang aneh—gaya tulisan pada kedua surat itu berbeda. Yang pertama lebih rapi, sedangkan yang baru ia terima terlihat tergesa-gesa, seolah-olah penulisnya tidak ingin ke
Happy ReadingNara duduk di tepi ranjangnya, menatap lekat-lekat secarik kertas yang diberikan pria misterius itu. Semakin lama ia menatapnya, semakin banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang sebenarnya disembunyikan Rehan darinya? Dan mengapa pria itu bersikeras memperingatkannya?Malam semakin larut, tetapi kantuk tak juga datang. Kegelisahan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Ia tahu bahwa keesokan harinya, jika ia memutuskan untuk pergi menemui pria itu, hidupnya mungkin tak akan sama lagi.Setelah menghabiskan waktu berjam-jam dalam dilema, akhirnya Nara mengambil keputusan. Ia akan pergi. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, meskipun itu berarti menghadapi kemungkinan terburuk.****Keesokan malamnya, Nara berdiri di depan sebuah bangunan tua yang terlantar di pinggiran kota. Alamat yang tertulis di kertas membawanya ke tempat ini—sebuah rumah besar dengan jendela-jendela pecah dan dinding yang ditumbuhi lumut. Lampu jalan berkedip-kedip, menciptakan bayan
Happy Reading Keesokan harinya, Nara bangun dengan perasaan berat. Malam yang penuh dengan ketakutan dan kebingungannya masih membekas di pikirannya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi ponsel yang masih menggenggam rekaman video itu. Setiap kali ia mencoba untuk berpikir jernih, bayangan wajah Rehan yang penuh pesona dan perhatian terus muncul, seolah-olah tidak ada yang salah dengan dirinya. Tapi kini, setelah apa yang ia lihat, semuanya menjadi kabur. Rehan, pria yang selama ini ia cintai, ternyata bisa menyimpan kegelapan yang begitu dalam.Pagi itu, ia memutuskan untuk tetap menjalani hari seperti biasa. Menjaga jarak dengan Rehan bukanlah hal yang mudah, terlebih setelah ia mendengar percakapan yang mengerikan itu. Namun, ia tahu bahwa ini adalah langkah terbaik untuk melindungi dirinya sendiri, dan mungkin juga untuk melindungi orang lain.Setelah berjam-jam berlalu, Nara merasa cemas. Ia ingin mencari tahu lebih banyak, namun ia tahu resikonya. Damar sudah mengingatk
Happy ReadingMalam itu, setelah pertemuan dengan Damar, Nara memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia merasa terlalu banyak informasi yang harus diproses, dan pikirannya terus-menerus dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan buruk. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyimpan bukti tentang Rehan. Tangannya gemetar saat memegang benda itu, seolah-olah di dalamnya tersimpan nyawa yang sedang dipertaruhkannya.Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Saat Nara membuka pintu mobil, ia melihat sebuah mobil lain yang dikenalnya terparkir tidak jauh darinya. Mobil hitam dengan lampu yang redup, seakan sedang mengawasinya.Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan segera masuk ke dalam mobil. Namun, baru saja ia menyalakan mesin, ponselnya berbunyi. Nama Rehan muncul di layar.Ia ragu sejenak, lalu mengangkatnya dengan suara setenang mungkin. "Halo?""Nara, a
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingMatahari bersinar hangat di Zurich siang itu. Setelah berminggu-minggu penuh perjuangan, cemas, dan harapan, kini semuanya terbayar dengan manis. Nara sudah sepenuhnya pulih berkat pengobatan terbaik di Swiss. Wajahnya berseri, matanya bersinar penuh semangat yang baru, dan tawa kecilnya yang khas kembali memenuhi rumah.Hari itu, mereka semua berkumpul di halaman belakang villa kecil yang mereka sewa selama di Swiss. Sebuah perayaan kecil diadakan untuk merayakan kesembuhan Nara, keberhasilan Aiden dan Alea dalam ujian semester mereka, dan rencana besar yang mulai membentuk masa depan keluarga mereka.Alea berlarian kecil di taman, tertawa saat Aiden mengejarnya dalam permainan ringan mereka. Sesekali, Aiden dengan nakalnya mencolek pinggang Alea, membuat gadis itu berteriak geli sambil berusaha melarikan diri.Di bawah pohon apel yang rindang, Nara duduk di kursi rotan sambil menikmati teh hangat. Rehan duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut, se
Happy ReadingPagi yang cerah di Zurich terasa begitu sempurna. Aiden, yang biasanya serius dan terkadang terlihat sangat sibuk dengan pekerjaan dan urusan lainnya, tampak lebih santai hari ini. Setelah menikmati sarapan bersama Alea dan Nara, serta mendengarkan rencana liburan mereka yang semakin menyenangkan, Aiden merasa ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.Nara, yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi berbelanja dengan Alea, duduk di kursi ruang tamu, memandangi pemandangan luar jendela yang indah. Rehan, yang sedang mengatur jadwal pertemuannya lewat telepon, terlihat sibuk dengan pekerjaannya, namun tetap mencuri waktu untuk berbicara dengan keluarga.Aiden menatap Nara dan Rehan, dengan niat untuk meminta sesuatu yang cukup besar. Melihat momen yang pas, dia mengambil napas panjang dan akhirnya berkata, "Mami, papi, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."Nara yang baru saja selesai memeriksa ponselnya, menoleh dan tersenyum pada Aiden. "Ada apa, Nak? Kamu kelihatan serius,"
Happy ReadingMinggu pertama liburan mereka di Swiss dimulai dengan suasana yang penuh kebahagiaan. Setelah ujian semester selesai dan kabar baik tentang pemulihan Nara yang semakin membaik, Aiden, Alea, Nara, dan Rehan memutuskan untuk menikmati liburan panjang di negeri yang terkenal dengan pegunungannya yang megah dan pemandangan yang menakjubkan ini. Mereka memutuskan untuk menjelajahi keindahan alam Swiss, menikmati kebersamaan mereka setelah melewati banyak tantangan.Pagi itu, mereka tiba di Zurich, kota terbesar di Swiss, dan langsung disambut dengan cuaca yang cerah dan udara segar yang begitu menyegarkan. Rehan, yang selalu merencanakan setiap perjalanan dengan teliti, memesan penginapan di sebuah hotel mewah yang terletak di tengah kota, dekat dengan banyak tempat wisata terkenal. Setelah check-in dan beristirahat sejenak, mereka semua berkumpul untuk merencanakan petualangan mereka hari itu."Bagaimana kalau kita mulai dengan jalan-jalan di sekitar Zurich dulu?" Rehan meng
Happy ReadingAiden dan Alea duduk bersama di meja belajar, keduanya sangat fokus pada buku-buku mereka. Meskipun ujian semester sudah semakin dekat, mereka tidak bisa mengabaikan kabar bahagia yang baru saja mereka terima. Nara, yang sempat terbaring lemah di rumah sakit, kini mulai pulih berkat perawatan yang diterima di Swiss. Kabar ini membuat hati mereka sangat lega. Sejak mengetahui kondisi Nara membaik, mereka merasa seolah-olah beban yang ada di pundak mereka sedikit berkurang."Alea, kamu dengar kabar tentang Nara kan?" Aiden memecah keheningan sambil memandang wajah Alea, yang tampak lebih ceria dari biasanya.Alea mengangguk sambil tersenyum lebar. "Iya, aku senang sekali mendengar bahwa Mami Nara mulai pulih. Aku bahkan tidak sabar untuk bisa bertemu dengan dia lagi. Mami Nara benar-benar wanita yang kuat, Aiden. Aku percaya dia akan kembali sehat seperti sediakala."Aiden mengangguk, matanya tampak penuh dengan kehangatan. "Aku juga merasa lega mendengarnya. Setelah semua
Happy ReadingSetelah keputusan untuk membawa Nara ke Swiss, perjalanan pengobatan dimulai dengan penuh harapan. Nara, yang sebelumnya sangat terpuruk karena kondisinya, kini merasakan sedikit perubahan positif berkat pengobatan yang intensif dan tepat sasaran. Di bawah pengawasan dokter ahli di salah satu rumah sakit terkemuka di Zurich, setiap hari menjadi langkah kecil menuju kesembuhan.Rehan, yang selama ini setia menemani Nara, merasakan betapa beratnya perasaan sang istri, tetapi ia tidak pernah menunjukkan kelelahan atau keputusasaan. Ia selalu berusaha memberikan dukungan terbaik untuk Nara, bahkan ketika terkadang dirinya sendiri merasakan kelelahan luar biasa. Namun, melihat Nara perlahan mulai pulih membuat hatinya tenang. Proses pemulihan Nara tidak hanya mempengaruhi tubuhnya, tetapi juga hatinya. Sinar kebahagiaan kembali menerangi wajahnya, meski masih ada sisa-sisa kelelahan yang harus dihadapi.Hari-hari di Swiss bagi Rehan dan Nara terasa sangat berbeda. Di tengah k
Happy ReadingHari-hari menjelang ujian semester semakin dekat, dan Aiden serta Alea semakin sibuk mempersiapkan diri. Meskipun banyak hal yang mereka hadapi dalam kehidupan pribadi, mereka tetap berfokus pada tujuan yang lebih besar—menyelesaikan ujian dengan hasil yang memuaskan. Alea, yang sudah beberapa kali terlibat dalam berbagai olimpiade, tahu betul bahwa persiapan yang matang adalah kunci. Sementara itu, Aiden, meskipun tertekan dengan keadaan keluarganya, tetap berusaha keras untuk belajar dan berfokus pada ujian.Setiap pagi, Aiden selalu menjemput Alea dengan mobil sport kesayangannya. Mobil itu, yang biasanya menjadi simbol kemewahan dan kesuksesan, kini menjadi alat untuk mendekatkan mereka berdua. Aiden tidak hanya mengandalkan mobilnya untuk mengantar Alea, tetapi juga untuk memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih banyak, bertukar pikiran, dan saling mendukung.“Alea, siap untuk belajar?” tanya Aiden sambil tersenyum, mengingatkan Alea tentang hari yang
Happy ReadingMalam itu, setelah seharian penuh menjalani perawatan untuk Nara di rumah sakit, Rehan akhirnya memutuskan untuk pulang lebih awal. Nara masih terbaring lemah, meskipun ada sedikit kemajuan. Rehan tahu bahwa mereka harus menghadapinya dengan sabar, meskipun terkadang rasa cemas itu begitu besar. Namun, hari esok adalah hari ujian semester bagi Aiden. Rehan merasa sudah waktunya Aiden untuk kembali pulang dan bersiap-siap. Sebelum berangkat, Rehan mendekati Aiden yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Rehan tahu betul betapa berat beban yang harus dipikul oleh Aiden, tetapi dia juga tahu, sebagai seorang anak, Aiden perlu waktu untuk menenangkan pikirannya."Aiden, pulanglah bersama Alea. Sudah saatnya kamu istirahat," kata Rehan dengan nada lembut, mencoba memberikan ketenangan. "Nara butuh dukungan kita, tapi kamu juga harus fokus pada ujian semester yang semakin dekat. Jangan biarkan perasaanmu menguasai,
Happy ReadingHari demi hari berlalu, namun keadaan Nara tak kunjung membaik. Meskipun telah mendapatkan perawatan terbaik yang bisa diberikan di Indonesia, kondisi tubuh Nara tetap lemah. Rehan dan Aiden semakin cemas, dan begitu banyak harapan yang terus digantungkan pada kesembuhan Nara. Namun, setiap pagi yang mereka lewati bersama Nara di rumah sakit semakin terasa berat. Nara masih terbaring lemah, tak banyak bergerak, dan wajahnya semakin pucat. Rehan bisa merasakan betapa tubuhnya tak lagi sekuat dulu.Suatu pagi, setelah berbicara dengan tim dokter di rumah sakit, Rehan merasakan ada sesuatu yang harus segera dilakukan. Dia tidak bisa terus berdiam diri menunggu perubahan yang tampaknya tak akan datang. Keputusan ini datang begitu mendalam, begitu mendesak. Dia tidak bisa hanya mengandalkan perawatan di Indonesia yang sepertinya sudah mencapai titik maksimal. "Saya rasa sudah waktunya kita mencari solusi lain," kata Rehan kepada Aiden, suaranya penuh dengan ketegasan dan kes
Happy ReadingSudah hampir seminggu Nara terbaring di rumah sakit, dan keadaan tubuhnya belum juga membaik. Rehan, Aiden, dan Alea tidak pernah meninggalkannya. Mereka bergantian menjaga Nara, selalu berada di sisinya, mendampingi setiap detik yang penuh kekhawatiran. Meski mereka berusaha tetap kuat di hadapan Nara, ada rasa cemas yang tak bisa mereka sembunyikan.Setiap kali Rehan melihat Nara terbaring lemah, hatinya terasa perih. Dia merasa seperti tidak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan ibunya. Walaupun sudah diberi penjelasan tentang penyakit yang diderita Nara, tetap saja tidak ada yang bisa menenangkan rasa takut di dalam dirinya. Nara adalah sosok yang selalu hadir dalam kehidupannya—wanita yang penuh kasih, yang selalu memberi dukungan. Namun kini, ia harus berjuang melawan kondisi tubuhnya yang semakin lemah.Pagi itu, Rehan berdiri di samping jendela rumah sakit, memandangi langit yang mulai cerah, namun hatinya tetap terasa gelap. Di luar sana, dunia berjalan seper