Share

2 - Kabar Hamil

Xevia merasakan kegugupan besar. Debaran jantung sangat kencang. Padahal, ia belum bertemu dengan kekasih hatinya

Xevia sendiri tengah berdiri di depan pintu apartemen Argon. Ia sudah memencet bel agar kekasih hatinya itu segera keluar.

Argon ada di dalam. Namun, ia tidak tahu apa yang pria itu sedang lakukan sekarang.

Xevia pun tak memberi tahu Argon akan kedatangannya. Sebab, ia pun tidak ada niat untuk berkunjung hari ini.

Rencana menemui Argon dilakukan secara mendadak. Xevia ingin menyampaikan hal penting pada pria itu. Argon wajib tahu.

Xevia menarik napas panjang. Lalu, dibuang cepat, saat pintu apartemen dibuka Argon. Sang kekasih membelalakan mata.

Seakan tidak percaya jika dirinya datang. 

Memanglah sejak mereka bertengkar soal pernikahan, sekitar satu minggu lalu, agak sedikit berantakan komunikasi di antara mereka. Walau, ia dan Argon sudah saling berupaya membangun kemesraan kembali.

"Hai." Xevia menyapa lebih dulu.

"Apa kau sedang sibuk? Aku mengganggu?"

Argon menggeleng pelan. "Tidak. Aku malah baru bangun tidur, Sayang."

Argon mengembangkan senyuman sembari meraih tangan Xevia. Kemudian, dilakukan tarikan yang halus hingga sang kekasih masuk ke dalam apartemen.

Tepat setelah pintu ditutup, Argon segera saja memberikan dekapan yang erat. Sangat dirindukan sosok Xevia.

"Maafkan aku." Argon berucap dengan nada sungguh-sungguh. "Aku tidak akan ulangi."

"Aku tidak akan memaksamu menikah. Aku tidak mau hubungan kita berakhir."

Argon yang lebih dulu melepaskan pelukan. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Xevia dan jawaban dari wanita itu, tentunya.

Perasaan Argon semakin gugup. Ia tak mau mendapatkan jawaban yang tidak bagus. Misalkan, Xevia ingin berpisah dengannya. 

"Sayang?" Argon hendaki jawaban segera.

"Kita akan masih bersama."

Argon senang bukan main. Langsung saja dipeluk Xevia kembali. "Trims, Sayang."

"Aku mencintaimu." Argon berujar dalam nada sungguh-sungguh.

"Aku juga."

"Aku ingin minta maaf, mungkin jawabanku waktu ini membuatmu terluka. Aku cuma spontan bereaksi karena ketidaksiapan ak--"

Xevia harus berhenti berbicara sebab Argon menciumnya. Pagutan yang lembut. Namun, berlangsung seperkian detik saja. Argon yang menyudahi lebih dulu.

"Aku tidak akan pernah bisa marah dengan kau, Sayang. Tidak harus kau meminta maaf. Aku paham, kau pasti terkejut."

Xevia hanya memberikan balasan dengan anggukan sembari membalas dekapan dari Argon lebih kencang. 

Mata mereka berdua masih saling beradu. Menatap satu sama lain secara lekat dan mendamba. Terutamanya, Argon.

"Ada yang mau aku katakan padamu. Entah kau akan suka atau tidak kabar ini."

Argon menambahkan intensitas tatapan. Ia juga mengernyit. Tak karena kurang paham akan ucapan Xevia, melainkan merasakan penasaran apa yang hendak disampaikan.

"Katakan, Sayang. Aku ingin tahu."

Argon terus memerhatikan Xevia, ia pun tak berkedip barang satu detik. Ingin dilihat perubahan ekspresi sang kekasih.

Andai Xevia berniat sembunyikan sesuatu darinya, maka lewat mimik wajah wanita itu akan dapat diketahui dengan mudah.

Termasuk juga, tatapan sang kekasih. Argon tahu kapan Xevia berbohong melalui sorot mata wanita itu nantinya.

"Ternyata aku hamil."

Argon sudah tidak memfokuskan pandangan ke Xevia, melainkan amplop warna cokelat yang wanita itu berikan. Ada di tangannya kini. Argon ingin segera membuka.

Langsung dilakukannya.

"Di dalam ada hasil USG bayi kita. Usia dari kehamilanku baru delapan minggu."

"Hmm, mengenai calon bayi kita. Aku sudah memutuskan membesarkannya sendiri. Aku harus tetap berangkat ke London.

"Tidak bisa." Argon menjawab tegas.

"Kita menikah saja bagaimana, Xe? Aku ingin bertanggung jawab juga atas bayi kita. Dan caranya dengan menikahimu."

"Soal pernikahan kita, tidak akan bersifat permanen." Argon menjelaskan.

"Kita akan berpisah setelah usia bayi kita enam bulan. Kau dapat meneruskan bisnis di London. Dan, hak asuh akan jatuh pada dirimu, Xe. Apa kau setuju?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status