Share

6 - Kembali Ke California

California, 02:00 P.M.

Xevia hanya membutuhkan kurang dari satu menit untuk mengubah angka-angka pada jarum-jarum jam di arlojinya, mengikuti zona waktu kota kelahirannya.

Lalu, difokuskan kembali atensi pada sosok sang putra kecil, Jevon Davis, berada dalam gendongannya.

Xevia menarik kedua ujung bibir yang tinggi hingga membentuk senyuman lebar.

Diperuntukkan untuk Jevon. "Sudah mengantuk, Nak?"

Xevia iseng saja bertanya karena melihat bagaimana sepasang mata sang putra mulai sayu dan memerah.

Namun, didapatkan gelengan kepala dari Jevon. Xevia pun tertawa. Gemas akan ketidakjujuran Jevon.

"Belum, Mommy."

Xevia lantas mengangguk, ingin ditunjukkan kepercayaan akan jawaban sang buah hati.

Kontras akan tindakannya yang menyandarkan kepala Jevon ke bahu kiri, dalam gerakan pelan-pelan saja.

Lalu, diusap-usap rambut putranya, untuk beberapa saat. Afeksi seperti ini akan mudah mengantar Jevon tidur.

Namun, tidak dapat lama Xevia lakukan sebab ia harus kembali mendorong kereta barang ke areal parkir bandara.

"Mommy ...,"

Baru saja, Xevia hendak bangun dari kursi, sudah pasti diurungkan sejenak karena panggilan sang putra.

"Ada apa, Sayang?"

"Apa tinggal di sini bagus seperti London?"

Xevia langsung terkekeh karena pertanyaan bernada polos buah hatinya yang berusia tiga tahun itu.

Walau, dalam suara manis Jevon, sangat kentara sang putra menyimpan sebuah kecemasan.

Jevon memang tipikal balita yang meiliki kepekaan cukup tinggi. Dan, perasaan juga lumayan sensitif.

"Bagus, Sayang. Akan menyenangkan."

"Seperti di London." Xevia menambahkan.

"California adalah kampung halaman, Mommy. Kita pasti akan senang tinggal di sini." Xevia berusaha meyakinkan.

Bukan perkara sulit bagi Xevia tahu bagaimana sang putra masih belum bisa menerima perubahan lingkungan.

Namun, Xevia akan tetap berupaya melakukan apa saja untuk menjamin Jevon suka dengan kehidupan di California.

Xevia ingin mengabaikan kekhawatirannya sendiri. Tak ada guna memiliki kecemasan yang berlebihan.

Sudah dipilih meninggalkan London untuk memulai semua awal yang baru di California.

Walaupun, jauh di lubuk hati terdalamnya, rasa cinta pada kota London besar karena tinggal di sana hampir tiga tahun.

Andai bisnis-bisnisnya tidak mengalami kebangkrutan, Xevia pasti enggan kembali ke California.

Beberapa alasan kuat menjadi indikasi-indikasi, kenapa sangat ingin dihindari kota kelahirannya sendiri.

"Mommy, apa Daddy tinggal di sini juga?"

Betul sekali. salah satu yang menyebabkan adalah karena tak ingin dekat-dekat dengan mantan suaminya, Argon Davis.

Hal apa pun berkaitan akan pria itu, begitu dapat berpengaruh Xevia sampai sekarang. Walau, berupaya keras juga melupakan setelah mereka bercerai.

Namun lagi-lagi, keinginanya tidak akan bisa dipenuhi, saat sudah memutuskan menetap di California kembali.

"Daddy tinggal di sini, Mommy?"

Meski enggan menjawab, Xevia harus tetap memberikan tanggapan atas pertanyaan sang putra. Jika tidak, maka Jevon akan terus menanyakan padanya.

Xevia mengangguk malas. "Iya, Dadddy tinggal di sini."

"Oke, Mommy. Akan bagus."

Tidak diberikan tanggapan apa-apa dalam bentuk kata-kata, hanya masih memamerkan senyumannya saja. Memang, tak akan dimiliki sahutan verbal yang tepat.

"B.J akan senang tinggal di sini, Mommy."

B.J adalah singkatan dari Baby Jevon. Panggilan tersebut sudah disepakati bersama Argon, sejak dirinya mengandung. Usia kehamilan sekitar enam bulan.

Dan, buah hatinya sendiri baru bisa melafalkan dengan baik dan lancar, saat berumur satu setengah tahun.

Drrrtt ....

Drrrtt ....

Drrttt ....

Pikiran yang cukup melalang buana, langsung kembali ke dunia nyata karena handphone berdering.

Xevia langsung mengambil benda tersebut dari dalam tas. Sebelum diangkat panggilan, Xevia lebih dulu melihat nama si penelepon.

Argon.

Mata Xevia membelalak. Bukan kaget karena sang mantan suami yang menghubunginya. Namun, akibat pesan dikirim oleh pria itu. Tampak jelas di layar ponselnya.

Kau sudah tiba di bandara? Aku akan antar kau dan Jevon pulang. Tolong tunggu.

"Bagaimana bisa?" Xevia spontan loloskan tanya, selepas membaca chat Argon.

"Kenapa, Mommy?"

Xevia pun terkesiap besar. Wajar rasanya bereaksi demikian sebab tak menyangka jika sang mantan suami akan menjemputnya.

Memang, Xevia sempat memberi tahu Argon akan rencananya kembali ke California, mungkin sekitar satu minggu lalu.

Namun, Xevia tidak mengabari secara detail kapan hari keberangkatannya pada Argon.

Xevia jelas sangat terkejut mantan suaminya mengirimkan pesan yang seperti itu.

"Mommy? Kenapa?"

"Tidak apa-apa, Sayang." Xevia baru dapat menjawab, setelah dua kali dipanggil oleh sang buah hati. Digelengkan kepala juga.

Tentu, bukan hal yang mudah untuk Xevia membohongi Jevon dengan kepekaan putra kecilnya yang sedang bekerja.

Xevia nempertimbangkan soal kejujuran. Ia akan berterus terang pada buah hatinya.

"Daddy bilang akan jemput Mommy dan BJ di sini, Sayang." Xevia berucap lembut.

"Daddy jemput? Yeayyy!"

Xevia hanya membalas dengan senyuman yang lebar. Sementara, jari-jarinya mengetik pesan balasan untuk sang mantan suami.

Xevia memberi tahu lokasi dirinya dan juga Jevon tengah berada, dalam beberapa patah kata yang bisa dipahami oleh Argon.

"Mommyyy!"

"Itu Daddyy!"

Seruan senang sang buah hati, langsung saja dapat membuat perhatian Xevia teralih dari handphone. Kepala dan atensi terarah lurus ke depan. Ingin melihat mantan suaminya.

Tujuh detik lalu, pacu dari detakan jantung Xevia masih normal. Namun, saat melihat kegagahan sosok Argon, debarannya jadi semakin mengencang tanpa bisa dicegah.

"Daddyyy!"

"Haii, Baby Jevon! Jagoan Daddy!"

Xevia belum menunjukkan sambutan apa pun, baik lewat ekspresi atau kata-kata pada sang mantan suami. Hanya memerhatikan Argon yang tambah mendekat.

Bahkan, manakala pria itu mengambil Jevon dalam gendongannya, Xevia masih tak bisa menunjukkan sapaan. Menatap diam.

Barulah Xevia bisa sadar dari lamunan, saat Argon memeluk dirinya dan mendaratkan ciuman di salah satu pipi.

Sekujur tubuhnya merinding. Sedangkan, kedua mata mengerjap-ngerjap tak percaya.

Di lubuk hatinya, Xevia pun menggerutu akan kebodohannya yang menunjukkan reaksi memalukan harga diri saja.

"Terima kasih sudah kembali ke California."

Kalimat yang cukup singkat, namun entah mengapa terdengar begitu serius diucapkan oleh mantan suaminya. Apalagi, cara Argon memandang juga dengan begitu intens.

"Kita akan pulang ke rumah kita?"

Xevia segera menggeleng. "Tidak."

"Tidak ada rumah kita lagi." Xevia pun beri penekanan pada dua kata yang dijadikan sebagai penegasan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status