Share

4 - Perpisahan

"Apa kau yakin aku tidak perlu ikut terbang ke London? Aku mencemaskan kalian."

Pertanyaan Argon lekas mendapat respons dari Xevia berupa gelengan. Jawaban yang tetap sama ditunjukkan oleh wanita itu, sejak kemarin malam dikonfirmasinya.

"Maafkan aku terus menolak. Tapi, kau di sini juga punya kesibukan. Kalau, kau ikut berangkat, waktumu akan terbuang."

"Kenapa kau berpikiran begitu? Kalian lebih penting untukku dibanding bisnis."

Argon menanti segera jawaban dari Xevia, namun wanita itu hanya tersenyum. Argon pun menarik kesimpulan bahwa Xevia tak ingin terjadi perdebatan di antara mereka.

"Baiklah. Aku percaya." Argon pun berkata, kemudian.  Memilih mengalah.

"Aku percaya kau akan bisa menjaga Jevon dengan baik, tanpa diriku," imbuh Argon.

Dua puluh menit lagi.

Ya, jadwal keberangkatan ke London akan dimulai tepat pukul empat sore. Tersisa tak sampai setengah jam waktu Argon bersama Xevia dan juga bayi kecil mereka.

Sejak sampai di bandara, Argon tak pernah melepaskan gendongan dari Jevon. Putranya yang berusia enam bulan itu pun anteng saja. Tidak merengek dalam dekapannya.

Argon juga sesering mungkin menggenggam tangan Xevia. Tak ada penolakan dari wanita yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai mantan istrinya.

Ya, Argon menepati janji yang sudah dibuat dengan Xevia sebelum mereka menikah.

Perceraian dilakukan pun sesuai akan waktu yang sudah disepakati mereka berdua.

Argon jelas berat memilih jalan perpisahan ini. Ia ingin tetap menikah dengan Xevia.

Membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis. Apalagi, mereka sudah dikaruniai seorang anak. Kebahagiaan bagi Argon pun sempurna. Namun, tak bisa dipertahankan.

"Kau memikirkan apa? Mau ceritakan?"

Argon memang memandang Xevia terus, tapi pikirannya menerawang jauh. Sejumlah hal muncul di kepala bak benang kusut.

Setelah pengajuan pertanyaan dari sang istri dengan nada yang cemas, makan lamunan Argon pun seketika menghilang.

Lalu, diberikan tanggapan. Ia menggeleng. Tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tapi, tak akan cukup meyakinkan Xevia.

Wanita itu malah memandang semakin lekat dirinya. Mata sang istri pun menunjukkan jelas besar rasa ingin tahu yang masih ada.

Argon pun menimang apakah ia akan mau menuruti ucapan Xevia. Atau lebih baik tak mengatakan kerisauan hatinya.

Argon memang tidak cukup tenang untuk menyembunyikan beberapa hal pada Xevia. Namun, ia ingin melakukannya, kali ini.

"Aku hanya sedikit sedih."

"Sedih? Ada apa?" Xevia pun buru-buru saja menanggapi. Ia semakin penasaran.

"Kita akan tinggal di negara yang berbeda. Bahkan, benua yang tidak sama lagi."

Argon sendiri tak paham, kenapa luncuran kalimat demikian keluar dari mulutnya. Ia mengeluarkan dengan refleks begitu saja.

Kini, Argon mendapatkan reaksi dari Xevia yang bagi dirinya terlihat tak mengenakan. Sorot mata wanita itu memudar.

Sebelum Xevia berkata, Argon sudah lebih dulu menciumnya. Memagut dengan lembut. Namun, tidak lama.

"Aku berjanji, aku akan mengunjungimu dan Jevon, setiap satu bulan sekali."

Xevia enggan terbawa perasaan. Tapi, tidak bisa dicegah matanya berkaca-kaca. Ia tentu masih berupaya dalam mengendalikan diri agar tak mengeluarkan air mata lebih deras.

"Terima kasih untuk semua kebaikan yang kau lakukan selama ini." Xevia berujar lirih.

"Maaf, aku belum bisa membalas. Dan, aku rasa tidak akan pernah bisa melakukannya."

"Kau cukup harus bahagia dan semangat dengan bisnismu, Sayang. Itu akan menjadi balasan bagus untuk aku terima."

Argon mengeratkan dekapan. Tatapan pada Xevia terus intens. "Walaupun kita berpisah, kau akan selalu ada di hatiku, Xe."

"Aku selalu mencintaimu, Sayang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status