Elan masuk ke dalam apartemennya dengan senyum tak henti mengembang. Suasana hatinya sangat berbunga hari ini. Bagaimana tidak, selama beberapa jam di kantor pikirannya tak henti dihantui oleh wajah dan senyum Dina. Hasratnya hanya ingin menemui gadis itu dan berada di dekatnya, memeluknya, mendekapnya dalam perasaan selain kebutuhan yang semakin ia sadari.
"Sayang..." Panggil Elan lantang.
"Daisy.. Kamu di mana?"
Tak ada jawaban. Elan menengok dapur tapi tak menemui istrinya. Ia masuk ke kamarnya tapi juga belum menjumpai sosok Dina. Elan mulai resah. Ia buka kamar mandi tapi tak menemukan gerakan apapun di sana.
Terakhir, Elan membuka kamar Dina.
"Dai.." Elan memotong panggilannya seraya tersenyum kala menemukan istrinya sedang tertidur di ranjang.
Dibalik selimut Dina tampak pulas terpejam. Nafasnya teratur dan tenang. Rupanya ia kelelahan. Selama ditinggal Elan ia hanya tidur, mandi, makan sepotong roti, minum, ke
Kasih ulasan sama vote ya say, tenkiu
Elan mengamati wajah Dina serius, disambut bola mata Dina yang lari ke kanan. Gugup. Ia salah tingkah ditatap demikian. "Kamu tahu kenapa?" Dina menggeleng. "Karena aku menci.." Kring-kring.. Ponsel Elan berbunyi. Panggilan telepon dari kantor. Ia segera meraih ponsel itu dari meja. Menyingkirkan Dina dari pangkuannya seraya mengkode agar gadis itu mau menanti dengan telapak tangannya. Elan menjauhi Dina dan berjalan sembari membenahi ritsleting celananya ke arah dinding kaca, menghadap ke luar gedung. Rupanya ada seorangbuyerdari Jepang yang memintanya bertemu di Surabaya. Dina menarik nafas panjang. Ia menenangkan diri sendiri karena merasa diduakan oleh sebuah panggilan telepon. Merasa harus belajar sabar untuk menjadi pasangan dari manusia sibuk seperti Elan. *** Dina berjalan agak mengangkang, menahan ngilu di selangkangan. Bergerak menghampiri Elan yang duduk di sofa. Mereka b
Aku tak pernah segelisah ini sebelumnya. Dari kemarin yang ku pikirkan hanya pulang, pulang, dan pulang. Untung urusan denganbuyer bisa ku percepat, jadi aku bisa mengambil penerbangan pagi sekali. Dua hari di Surabaya, yah tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Macet. Apalagi tak ada istriku di sisi. Kalian tersenyum? Aku pun sudah sering tersenyum sendiri jika ingat menyebut bocah itu istriku. Ya karena memang dia istriku. Lebih dari hasrat ingin dipuaskan, aku sangat merindukan wajah ayunya. Senyumnya yang menggelontor tubuhku dengan kebahagiaan. Aku rindu, sangat rindu. Aku tak peduli lagi dengan rencana balas dendam sialan itu. Itu bukan lagi sebuah prioritas, sudah ku lempar jauh ke tempat yang tak seorang pun sanggup menemukan. Ku rasa aku jatuh cinta. Di usia yang sudah matang ini aku merasa jatuh cinta bak seorang remaja. Sudah lama tak ku rasakan sensasi jatuh cinta sebahagia ini. Mungkin usiaku mengecil menyesuaikan usianya. Ah a
Elan mengusap puncak kepala Dina. "Cepat katakan Kak!" Dina tak sabar. Lelaki itu berbisik lirih. Patahan katanya dibentuk agar gadisnya gemas dan merengek manja. "Aku.." Elan sengaja memotong ucapannya untuk membuat Dina semakin penasaran. "Ayolah Kak..Please.." Dina merengek sembari tersenyum gembira. Elan heran mengapa Dina bisa sebahagia ini hanya untuk mendengarnya bicara. Ia tertawa lalu mendekati telinga Dina untuk membisikkan niatnya. "Aku ingin mengajakmu bulan madu." "Oh.." Dina kecut. Hanya 'oh'. Ekspresi harap gadis itu seketika mengendur. Ternyata sebuah ajakan bulan madu, bukan ungkapan cinta yang sedari tadi mengitari otaknya, mendamba. Senyum kecut itu pun hampir raib jika saja Elan tak menyergahnya. "Tidak mau ya?" Elan kecewa. Dina buru-buru menggeleng. Ia tak mau Elan salah paham. "Mau kok.. Aku mau.. Ke mana?" Dina memaksakan senyumnya. Elan mene
Dina melihat hamparan taman bunga di Hokkaido. Matanya berbinar-binar menyaksikan berbagai macam bunga mekar dengan indahnya. Warna mereka tegas, setegas warna lipstiknya yang merah spesial untuk bulan madu mereka. Meskipun terlihat lucu di mata Elan, tapi ia menghargai Dina untuk dandan. Lagi pula apapun wujud Dina akan tetap cantik di matanya. Hanya saja kali ini terlihat lebih menggoda. "Kamu suka?" Tanya Elan sembari melingkari perut Dina. Dina menoleh ke belakang dan mengangguk penuh keceriaan. Elan pun gemas dan menciumi tengkuk Dina tak sabar, juga tak peduli bahwa lagi-lagi ini adalah tempat umum. "Mari kembali ke penginapan, aku sudah ingin kamu lagi.." "Kita baru sampai masa sudah kembali sih?!" Protes Dina kesal. "Suamimu kan ingin Sayang, penuhi kewajibanmu.." Elan menuntut beralasan. "Tadi di pesawat juga bilang begitu, begitu sampai masuk kamar langsung aku layani. Masa sekarangme timesebentar saja ti
Dina melangkah menuju kamarnya. Cepat karena ingin segera menangis menumpahkan kecewa. Terluka. "Hey Bocah, Sandra akan kemari, mungkin lebih baik kamu pergi agar dia lebih nyaman berada di sini." Dina menelan bulat pil pahit yang sepertinya Elan jejalkan dengan sengaja. Ia paham ini bukan rumahnya tapi mengusirnya untuk berduaan atau mungkin bercinta dengan gadis lain sangat tidak manusiawi baginya. Setelah semua yang mereka jalani bersama, mengapa ia merasa didepak? Sebagai satu serpihan yang tak diharapkan hidup Elan. Bagaimanapun Dina merasa masih berstatus istri sah Elan. Ia ingin setidaknya dihormati, bukan hanya dianggap tak dianggap. Entahlah, Dina pun bingung dengan perasaannya sendiri. Mungkin ini cemburu, cemburu yang tak perlu. "Aku di dalam kamar saja, tidak perlu keluar tidak masalah kan?" Dina berusaha tenang. "Terserah, asal jangan keluar kamar sampai Sandra pulang." Dina tak merespons. Ia segera masuk ke dalam kamar. M
Kring kring.. "Halo.. Mama.." "Halo Sayang.. Kamu baik-baik saja? Suaramu serak? Batuk Nak?" "Bukan Ma, baru sarapan, belum minum saja. Ada apa Mama pagi-pagi telepon?" "Ah iya.. Asya bilang bulan-bulan ini padat-padatnya daftar kuliah. Kamu sudah daftar Sayang?" "Oh, emm.. Sudah.." "Kok ragu? Anak Mama tidak boleh menyerah, harus mencoba dulu, gagal di jalur nontes itu biasa. Asya bilang tidak ada salahnya mencoba semua jalur. Elan mendukungmu kan?" "Ah iya Ma, pasti, pasti dia mendukung." "Syukurlah.. Dia pernah bilang ke Mama kalau semua biaya kuliah kamu akan ditanggung. Awalnya Mama ingin menolak tapi Papamu bilang kalau kami menolak, khawatir dia tersinggung." "Ya, Ma." "Kok cuma ya?" "Mama tidak perlu khawatir, dia menanggung semua." "Ya sudah, itu dulu ya. Jangan kecewakan Elan, Mama tunggu kabar bahagianya. Anak Mama pasti
Dina menggerakkan tubuhnya untuk menjemput kesadaran. Matanya terbuka dan tersadar sedang tidur di kamar Elan. Ia menoleh ke kiri kanan tapi tak menemukan siapapun. Mungkin Elan sudah berangkat. Ia menatap cermin dari jauh. menemukan refleksi dirinya yang miris. Menjijikkan. Dina kembali menangis. Terisak-isak tanpa ada yang menolong. Setiap sendi di tubuhnya seakan lepas, tapi yang paling menyakitkan adalah harapan yang hilang, kepercayaan yang pudar. Berulang kali ia menyapu air mata dengan jari. Lelah rasanya menangis. Ini bukan gayanya. Namun tak ada cara lain untuk mengurangi kesedihan. Terbangun dalam tubuh telanjang tak berselimut sudah sangat membuktikan betapa Elan tak lagi peduli. Jangankan peduli, ia saja merasa diperlakukan tak manusiawi. Dina memungut lalu memakai pakaian dalam dan rok seragamnya. Punggung tangannya mengusap kasar pipi, berusaha mensterilkan dari air mata. Kriet.. Brak! Dina tersentak, refleks menyilang d
Berulang kali Dina mengambil nafas berat sebelum membuka pintu apartemen Elan. Berusaha menetralkan nafasnya yang tersengal. Sepanjang perjalanan ia terus dihantui rasa cemas. Menduga-duga kemarahan Elan karena dirinya pulang terlambat. Tapi apa salahku? Dia tidak berhak mengatur hidupku.. Dina masuk. Menyapu pandang ke seluruh sudut ruang. Refleks menunduk saat melihat Elan tengah menikmati santap malam di meja makan. Ia melangkah pasti, percaya diri untuk menuju kamarnya. "Makanlah!" Suara Elan memecah keheningan. Terdengar sangat dingin tapi tak tercemar emosi. Dina memberanikan diri, membelokkan langkah mendekati meja makan. "Duduklah!" Perintah Elan pendek, masih nihil pandang ke arah Dina. Perlahan Dina menyeret kursi ke belakang, lalu duduk dengan tenang. Ia berusaha menghilangkan rasa takutnya. Di hadapannya sudah terhidang makan malam yang sepertinya sengaja Elan siapkan untuknya. Dina belum mau menyen