Share

REVENGE: DENDAM CINTA ELAN
REVENGE: DENDAM CINTA ELAN
Penulis: Aulia Lapan Bilan

Bab 1

Mataku mengedari seluruh isi ruangan, kamar lelaki ini lebih luas dibanding kamarku. Lelaki yang telah lama ku kenal, yang kini berlabel sebagai suamiku. Oh Tuhan, mimpi apa aku hari ini, aku seorang gadis yang bersuami, apa artinya aku bukan gadis lagi? Padahal nilai ujian nasionalku saja belum keluar.

Aku belum berani beranjak dari balik pintu. Sedangkan lelaki itu sudah melepas jasnya, tak peduli tentang kehadiranku. Sejujurnya aku tertarik mencuri pandang pada tubuhnya yang idaman para gadis itu. Aku pun kerap melirik-lirik perut roti sobeknya saat ia berenang dengan kakakku. Maklum hubungan persepupuan kami kian dekat saat kakakku sudah menikahi adiknya dan ia menanti waktu untuk mempersuntingku. Lalu kini susunan perut sempurna itu disuguhkan di hadapan kedua mataku? Hanya kedua mataku..

Sepertinya ini rezeki dari Tuhan? Toh Aku tidak berdosa jika memantenginya terus-terusan, aduh kotor otakku!

Suamiku adalah kakak kandung dari kakak iparku, yang juga sepupuku sendiri, rumit bukan? Yah ini memang bukan judul film televisi tapi hubungan kami berempat sangatlah rumit. Semua berawal dari kakakku yang terobsesi pada adik suamiku, yang waktu itu masih murni sepupu kami, hingga perbuatannya membuatku berakhir terdampar di ruangan ini dengan gaun pengantin masih melekat.

Kakakku memang gila, menjalin asmara dengan sepupunya, seperti tidak ada gadis lain saja. Parahnya, kakak yang selalu kuanggap penyayang itu memperkosanya hingga hamil, tapi ayah suamiku tak merestui mereka. Drama hidupku dimulai dari sini. Sudahlah mau bagaimana lagi.

Ah tidak! Dia melepas kemejanya. Oh Tuhan mataku tercemar bentuk tubuh sempurna itu. Sadarlah Dina, kamu sudah sepakat dengannya bukan? Tidak ada sentuhan hingga kamu siap melakukannya. Dia setuju.

Yah, aku masih ingin menikmati masa mudaku, kuliah dan ke sana kemari dengan kawan-kawanku. Lagi pula aku tidak akan pernah menyerahkan kesucianku untuk seseorang yang tidak kucintai. Suatu saat di waktu yang tepat aku akan berpisah darinya. Fondasi pernikahan ini cacat bukan? Lalu untuk apa dipertahankan?

"Berdirilah di situ sampai kamu puas memandangi tubuhku."

Dia mengagetkanku dengan ucapannya. Berarti dia sadar sedari tadi aku mencuri pandang pada proporsi tubuhnya? Aku malu dan membuang mukaku. Kesal. Ah tidak perlu bersikap ramah pada lelaki yang memaksakan diri untuk menikahiku bukan? Dia hanya suami di atas perjanjian.

"Aku akan mandi, mau ikut?"

Seringai seram terlihat di ujung bibirnya. Shit! Dasar lelaki mesum. Mataku memelototinya dengan kemarahan. Bercandanya itu terlalu tua untukku, pedofil!

"Jangan marah-marah di malam pertama Bocah."

Brengsek! Dia sengaja memakiku dengan sindirannya, kalau dia tahu aku adalah bocah kenapa masih menikahiku?? Guyonannya itu garing, tidak lucu.

Malam pertama tak akan pernah terjadi, aku akan berpisah darinya sebelum kesepakatan kami berakhir. Untung saja dia segera masuk ke kamar mandi.

***

Aku keluar kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangku. Ku lihat bocah itu sedang membongkar kopernya. Sempat ku lirik pakaian yang dibawanya masuk kamar mandi, lengkap seolah akan pergi wawancara kerja, gaun pengantinnya juga masih melekat sempurna, dasar bocah! Dia lupa bahwa ini adalah malam pertama. Akan ku kenalkan bocah itu pada dunia Elan.

Yah setidaknya sekarang telingaku tidak akan risih oleh tuntutan ibuku yang meminta menantu, mulai hari ini aku sudah punya istri, yang juga sepupuku sekaligus adik dari adik iparku, rumit? Ceritanya panjang, mulai dari kakaknya yang memperkosa adikku, hingga nilai harga diriku sebagai kakak yang terlampau tinggi, yang tak akan rela adiknya disakiti.

Ah dia sudah keluar dari kamar mandi, dengan balutan piama bercelana panjang, rambutnya digelung handuk. Terlihat beberapa air mengalir ke lehernya. Damn! So sexy.. Mari kita mulai Bocah, kita mulai cerita malam pertama ini sebagai sejarah.

Aku menghampirinya yang duduk di sofa, saat dia menggerai rambutnya yang basah, sengaja menggoda atau bagaimana ini? Hahaha.

Matanya menyorot tajam ke arahku saat ku jatuhkan bokongku di sampingnya, menajam semakin kusempitkan jarak kami. Ia mulai beringsut.

"Menjauh!"

"Kemana?" Godaku menanggapi perintahnya.

"Kita sudah sepakat. Aku mau menikah denganmu asal kamu tidak menyentuhku."

"Menyentuh yang seperti ini hmm?"

Plakkk!

Dia menamparku saat ku remas dadanya yang ternyata cukup berisi. Sial, aku semakin tergoda oleh sikap garangnya. Ku remas kedua lengannya, seketika ku angkat tubuhnya ke pangkuanku, menghadapku. Responsnya? Tentu saja memberontak sekuat tenaga.

"Berontaklah, adikku Asya juga mengalami hal ini Bocah. Dia juga memberontak saat kakakmu memperkosanya. Jadi, ini saatnya bagiku membalas perbuatannya, merasakan liang senggama adik Raka yang perawan, kita lihat respon kakakmu besok bagaimana."

Dia menangis ketakutan, memberontak, menjerit, sayangnya dia tidak beruntung, kamarku kedap suara. Harusnya Raka melihat bagaimana aku menggagahi adiknya, seperti dulu ia melakukannya pada adikku. Tamatlah kamu Raka.

"Aku sudah tidak perawan! Jadi hentikan! Hiks.. Percuma, dendammu tak akan terbalas, hiks.. Lepaskan aku!"

"Baguslah, aku tidak perlu mengajari gadis tidak perawan cara memuaskanku, dan kamu tidak perlu kesakitan seperti adikku. Jadi kenapa harus menolak?"

"Aku tidak mencintaimu! Hiks.."

"Tidak butuh cinta untuk having sex Bocah.."

Sekuat tenaga ia mendorongku, semakin menggiurkan perlawanannya bagiku.

"Oh oh, ternyata adik Raka cukup garang ya? Aku suka Sweety.."

Aku menidurkannya di sofa, merobek piamanya, memelorot celananya tak sabar. Ah shit mengapa aku sangat bernafsu untuk segera merasakan tubuh bocah ini, padahal pacar-pacarku jauh lebih dewasa dan sexy.

"Lepas!! Jangan! Kita sudah sepakat! Hiks.."

"Hanya gadis bodoh yang percaya kesepakatan konyol itu! Aku ini suamimu Sweety.. Aku berhak menikmati tubuhmu kapanpun ku mau. Kamu harus selalu menyiapkan milikmu itu hmm.."

"BRENGSEK!! Kamu pikir aku sudi hahhh?? Juuuhhh!!"

"Kamu meludahiku Bocah?? Kamu akan menyesal pernah melakukannya. Simpanlah lidahmu itu di sini.."

Aku menyerbu rongga mulutnya yang nikmat, baru kurasakan nikmatnya, ternyata begini rasa ludah seorang bocah, manis sekali. Aku akan mendambanya setiap hari.

Membalaskan dendam atas kepedihan adikku.

***

Dina memberontak, tenaganya cukup besar untuk mendorong tubuh Elan yang menindihnya. Ia bangkit dari sofa, hanya memakai pakaian dalamnya, berjalan mundur dengan nafas kembang kempis karena ketakutan. Sesekali menelan ludahnya yang terasa seret di kerongkongan.

Dina memutar otak untuk melarikan diri, tapi bagaimana?

"Kamu suka bermain-main dulu Sweety?"

"Jangan gila kamu!! Kamu sudah tanda tangan perjanjian!!" Dina masih tertatih mundur.

"Wah aku lupa, bagaimana ini, apa polisi akan menahanku? Hahaha.." Elan mengejek dengan kepura-puraannya.

Elan mendekati Dina selangkah demi selangkah, sementara Dina merasakan punggungnya sudah terbentur lemari. Nasibnya kian di ujung tanduk. Kini Elan hanya selangkah di depannya.

Dina bersimpuh, membelit kaki Elan longgar, tak berani menempelkan tubuhnya. Ia memohon, menurunkan harkat dan martabatnya di bawah kaki Elan.

"Aku mohon jangan lakukan ini.. Tolong penuhi kesepakatan kita.. Hiks.."

Lama Elan terdiam hingga Dina mendongak butuh jawaban dan kepastian. Ternyata mata mereka bertemu. Elan dengan senyum manisnya, menggetarkan hati Dina untuk meraih telapak tangan yang seakan memberi harapan. Sayang semua itu palsu, semu. Elan mengulurkan tangan bukan untuk membagi bantuan, melainkan membuangnya kasar.

Elan berjongkok di depan Dina yang melantai tanpa busana. Dagu gadis itu dijepit paksa untuk menghadapnya, dibalas Dina dengan picingan mata sinis, dengan air mata terbendung oleh emosi yang mulai merayapi pikirannya.

"Kamu bilang sudah tidak perawan kan? Aku pun sudah sering merasakan tubuh gadis lain, adil bukan?"

Hanya saja aku belum pernah merasakan bercinta dengan bocah ingusan.

Dina memalingkan wajah kasar, menghindari dominasi tatapan Elan. Ini sangat menyakitkan.

"Jangan sok jual mahal, adikku Asya masih perawan, saat itu dia ibarat mainan baru yang masih lugu di mata kakakmu, sedangkan kamu haha.. Hanya mainan bekas untukku."

Plakkk!!

Sebuah tamparan keras menyambar pipi Elan. Air mata Dina mulai menetes. Ia menyilangkan tangan menutupi bagian dadanya yang terekspos sebagian.

Elan mengusap pipinya yang memerah karena tamparan Dina, menikmati tamparan itu dengan senyum ironi yang menyeramkan. Ia paham gadis itu marah karena ucapannya tapi Dina lupa bahwa ‘suaminya’ bisa lebih marah karena perbuatannya.

Elan kalap, ia membuka pakaiannya sendiri dengan kasar, menyisakan celana panjang hitam. Dina yang menyadari hal itu semakin giat berdiri tapi Elan lebih sigap untuk membopongnya.

Perlawanan Dina pun semakin menjadi-jadi. Ia memukuli, mencakar, sekuat tenaga ingin melepaskan diri dari gendongan Elan.

"Aakkkhh!!"

Dina menjerit saat tubuhnya dijatuhkan kasar oleh Elan di atas kasur. Buru-buru ia bangkit tapi Elan lebih dulu menggagahinya, menghimpit tubuhnya hingga wajah mereka kian dekat. Tangan Dina dibuka dan ditekan di kasur. Elan mematikan pergerakan Dina.

"DIAM!!" Bentak Elan.

Telinga Dina terasa ditusuk mendengar Elan membentaknya sekasar dan sedekat itu. Ia merasa sudah diujung tanduk tapi mengapa masih harus direndahkan dan dibentak-bentak seperti itu. Ia tidak siap, air matanya berlinang.

"Menangislah, adikku pun menangis tanpa ada yang menolong sepertimu. Nikmati saja perlakuanku malam ini, sudah biasa menikmati barang lelaki kan?"

Dina masih memalingkan wajah, menangis sembari menggigit bibir dalamnya menahan pedasnya bahasa Elan. Berulangkali ia berpikir , menikah adalah hal gila yang tidak dipahaminya. Ia menyesal.

Dina bisa merasakan deru nafas Elan di telinganya. Kalimat pedas apalagi yang akan ia terima. Tidak! Bukan kalimat. Elan menjilati telinganya, membuat bulu kuduknya merinding, jijik bukan kepalang. Bahunya terangkat naik merasakan geli yang memuakkan diri.

"Hentikan!! Hiks.. Kak Raka toloong aku.. Hiks.." Pekik Dina lirih.

Elan tertawa, terpingkal hingga geli perutnya. Lelaki ini sangat menyeramkan di mata Dina. Kejam. Sebentar tertawa, sebentar mengancam, sebentar lagi kasar dan marah-marah.

"Bagus! Panggil Kakakmu itu, aku akan sangat bahagia melihatmu seperti ini tanpa bisa melakukan apapun. Panggil kakakmu sekuat tenaga Sweety.."

Elan semakin beringas. Kini jilatannya turun ke leher. Ia menghisap leher Dina bak vampir, kasar sembari sesekali menggigit kecil. Aroma tubuh Dina pun menyeruak rongga dadanya.

Wangi..

"Aakkk!! Pergiih!! Lepaskan akuuu!!" Dina terus memberontak.

Elan turun lagi ke dada Dina, menelusuri semakin turun hingga bibirnya berada di sekat kedua bukit Dina yang membentuk garis. Elan menjilatnya seperti anak kecil menjilat es krim.

Dadanya kenyal sekali..

Elan mulai menghisapi bagian atas dada Dina yang tak terbungkus bra. Gadis itu semakin terisak, memejamkan mata menahan diri, malu. Ia merasa inilah akhirnya, buruk dirinya.

Elan melepas tangan Dina yang buru-buru hendak mendorongnya. Dina mengangkat punggungnya untuk bangun dan melarikan diri tapi Elan justru memanfaatkan ini untuk mengakses kaitan bra di punggungnya. Lepas.

Lelaki itu berhasil membuang bra Dina, menyembul sudah dua bagian berisi yang sedikit bergoyang saat Elan mendorong tubuhnya hingga telentang kembali, mengunci kedua tangannya lagi.

"Dadamu cukup berisi Sweety, berapa banyak lelaki yang sudah menjamahnya hmm?"

"Hentikan ini... Kumohoon jangan lanjutkan.. Hiks.."

"Kenapa? Karena kamu takut tak bisa menolakku saat kuhisap begini?" Elan menjilat sekali dua kali kemudian menghisap puncak bukit Dina, sembari memainkannya dengan bibir yang nakal.

Dina tersentak. Kaget saat bisa merasakan bibir Elan menghisap dadanya. Ada rasa jijik yang aneh, yang membuatnya muak pada dirinya sendiri.

"Lepasshhh... aahhh.."

Lagi-lagi Elan tertawa, kali ini terdengar sangat merendahkannya.

"Gadis murahan memang lebih cepat mendesah.."

Perih sekali Dina mendengarnya. Murahan?

Elan berganti ke bukit satunya, mengulum puncaknya, sedang tangannya melepaskan kuncian, memainkan yang ia hisap sebelumnya.

Dina tidak tahan, ada serangan kotor di tubuhnya. Kedua puncak bukitnya menjadi sumber rasa geli yang bermuara pada miliknya.

"Hentikaaann.."

Tangan Dina yang bebas mencakari punggung Elan. Ia tak kuasa menahan serangan nikmat di kedua dadanya. Birahinya seolah dipaksa bangkit, sedangkan pikirannya malu mengakui.

Elan masih aktif menikmati sepasang bola barunya yang indah. Ia mengagumi dada Dina yang sekal, beirisi dengan puncak sedang berwarna merah jambu. Bahkan ini yang paling besar daripada milik pacar-pacarnya terdahulu.

"Dadamu cukup mengenyangkan Sweety.."

"Hentikan!! Lepaskan akuu!! Aku tidak mauuu hiks.."

Elan turun ke perut rata Dina, menjilatinya, semakin turun perlahan hingga sampai ke sela paha. Ia menggigit kecil bagian itu dari luar celana dalam.

"Jangaannn!!"

Dengan kedua tangannya yang bebas, Dina berusaha mendorong kepala Elan di area selangkangannya. Sulit. Elan justru lebih cepat beraksi, celana dalam Dina ditarik paksa hingga telanjang sudah tubuh istrinya.

Sembari duduk meremas sprei, Dina berusaha menarik tubuh saat kakinya dibuka lalu dijamah intinya. Dina menggelinjang, susah payah mundur menjaraki lidah Elan dengan miliknya. Sayang, kedua pahanya sudah dicengkeram kedua tangan Elan, dikunci. Semakin mudah lelaki itu memanjakan lidahnya di area bawah Dina.

"Hentiii, kaaanhhh... "

Dina memberontak tetapi juga mendesah. Tubuhnya tak lagi sanggup mengelak kenikmatan foreplay yang Elan suguhkan. Ini tidak logis baginya, tapi tubuh merespon sebaliknya.

"Ini manis, tidak rugi aku menikahimu.. Kamu menikmatinya bukan?" Seringai jahat muncul di bibir Elan.

"Hentikan! Aahh.. Cukup! Kumohon jangaannn.. Aahhhh.."

Elan semakin bernafsu menikmati milik Dina dengan pengecapnya, terutama memainkan benda kecil di sela-selanya. Kaki Dina diletakkan di atas pundak, dikunci lagi dengan lengannya, ditambah kedua tangannya memainkan puncak bukit Dina.

Gadis itu pun luluh, tak sanggup melawan. Tubuhnya sudah telentang dengan serangan nikmat menjalari setiap inti sel tubuhnya. Ia memejamkan mata seraya meremas sprei, menahan desahan setahan-tahannya.

Elan semakin rakus merasakan cairan Dina yang banjir. Rasanya manis, gurih, ah sulit diungkapkan, yang pasti dia akan ketagihan. Ia pun semakin aktif bekerja hampir di semua titik sensitif Dina. Hingga tak lama kemudian, Elan merasakan ada aliran cairan hangat keluar dari tubuh istrinya. Dina mendapat pelepasan. Lelaki itupun menyambut santapan barunya dengan rakus.

Elan melihat kondisi lemas istrinya, mengambil kesempatan untuk menurunkan celana dan celana dalamnya, mengeluarkan senjata kebanggaannya yang keras sedari tadi.

Mata Dina yang semula terpejam sontak terbelalak saat miliknya yang masih ngilu kembali disentuh. Dina melirik ke bawah dan betapa kagetnya menyaksikan sebuah benda panjang yang kerap ia jumpai di film biru sedang menari-nari di sela miliknya.

Sekuat tenaga Dina memberontak. Ia tidak mau. Ini akan berujung pemerkosaan baginya, tapi justru itu yang Elan harapkan. Ia menggagahi Dina, menindihnya hingga tak sanggup bergerak. Wajah Elan kian dekat dengan wajahnya. Sengaja memeriksa tangisnya.

"Hiks.. Lepas! Kasihani aku kumohoonn.. Hiks.."

"Lalu siapa yang mengasihani adikku saat itu? Tanyakan pada kakakmu siapa yang mengasihani adikku hah?"

"Kumohon jangan.. Hiks.."

Elan mulai berusaha memasuki tubuh Dina.

"Aakkkk... Sakiiittt.." Dina memejamkan mata sangat erat, meremas sprei kuat-kuat, menariknya.

"Jangan berlagak seperti perawan Sweety.."

"Kumohon hiks.. Hentikan ini.. Hiks.."

Elan tak peduli, ia tetap memaksakan ujung kepala miliknya yang panjang untuk masuk, slep! Berhasil.

"Aaaakkkk..." Dina menangis, meringis menahan sakitnya. "Jangaaaann... sakiiitt... Hiks.."

Elan tersenyum penuh keberhasilan, ia menghentak pinggangnya lagi tapi..

Apa ini? Kenapa tertahan? Apa ini?? Gadis ini? Ya Tuhan.. Istriku masih perawan?

Dina mengkerut saat Elan mencoba menghentakkan pinggangnya lagi untuk memastikan segel gadis ini benar-benar belum terbuka. Bibirnya tak sanggup berucap apapun, hanya terkatup erat menahan sakit yang teramat, jarinya menarik sprei mengalirkan ketidakberdayaan.

Elan berbisik di telinga Dina. Ada penyesalan yang tertutup kepuasan.

"Aku belum pernah merasakan perawan sebelumnya, katakan apa kamu masih perawan?"

"Hiks.. Hiks.. Jangaann..."

"Katakan!"

Dina mengangguk di sela hujan tangisan. Ia menahan sakit hati, sekaligus perih yang menyengat sekujur tubuh. Elan buta. Kalap. Untuk pertama kalinya ia bercinta dengan perawan. Lorong istrinya begitu nikmat padahal baru kepala miliknya yang masuk. Ia ingin lebih. Segera ia hentak kuat pinggangnya.

Kreekk...

"AAAAKKKKKK.. HUAAAAHAA.. AAAKKK.."

Elan berhasil menembus benteng,  merasa miliknya sendiri ngilu. Ia menghentak lagi dan benda tumpul itu sepenuhnya terhisap.

Dina sadar tak sadar merasakan perih di selangkangan. Sakit yang paling sakit selama hidupnya. Itu pun Elan hanya sejenak berhenti, miliknya telah dikoyak kembali. Keluar masuk dengan teratur, sakit yang ia rasa pun teratur, perih sekali.

"Damn! Pantas kakakmu menggilai adikku yang saat itu masih perawan.."

Dina menoleh ke kanan kiri dengan lemah. Ia tak kuat. Sakitnya menajam hingga ubun-ubun tapi Elan masih bergerak seenak hati. Air matanya mengalir tiada henti.

"Sakiitt.. Jangan bergerak lagiihh.. Hiks.. Sakiiit.."

Hanya kalimat itu yang bisa ia ungkapkan dengan lemah, parau menyayat hati tapi Elan tak peduli. Dendamnya terwujud dengan sempurna. Ia tergila-gila dengan rasa istrinya. Bisa jadi ia akan menggilainya sebagaimana Raka -kakak Dina- menggilai Asya -adiknya-.

Dina tak merasakan kenikmatan apapun. Sakit, perih, sakit, perih, itu saja yang mengisi otaknya. Bahkan saat Elan bergerak naik turun lebih cepat sembari menghisapi dadanya, ia hanya menangis, meringis, sakitnya luar biasa.

"Shit! Kamu harus melihat ini Raka!!"

Setengah jam berlalu, Elan masih menusuki Dina yang sudah sangat tak berdaya, antara sadar dan tidak. Dina kepayahan. Gerakan Elan sangat menyakitinya hingga mati rasa. Ia hanya bisa menarik-narik sprei, membuangi bantal di bawah hujaman Elan. Jemari Elan meraih jemarinya, meremasnya agar semakin pasti rasa nikmatnya.

Milik Dina terlalu memanjakan. Elan tak sempat mengeluarkan miliknya yang semakin membesar menuju pelepasan. Ia menyirami taman bunga dengan air yang cukup deras. Entah ada biji yang tersiram atau tidak di sana. Hanya Tuhan yang tahu.

Hari ini dendam Elan terbalaskan. Ia ambruk di atas tubuh istrinya yang setengah sadar, tapi Dina masih bisa mendengar dengan jelas kalimat Elan yang akan membunuhnya perlahan.

"Sepertinya aku akan memasukimu setiap hari, siapkan dirimu untuk itu istriku. Tidurlah, aku akan memulainya lagi nanti.."

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
laut
kak, pengen cerita Raka .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status